Minggu, 20 Oktober 2013

Kolom Kardi Pakpahan :"Meningkatkan Kualitas Investasi Dana Pensiun"

Meningkatkan Kualitas  Investasi Dana Pensiun
Oleh : Kardi Pakpahan*
          Dana pensiun merupakan bagian dari industri finansial, yang hingga kini memiliki volume usaha sekitar Rp 76 Triliun.       Kekayaan terbesar dari Dana Pensiun terdapat pada pos investasi yang dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang pas untuk pertumbuhan dan perkembangannya, baik untuk Dana Pensiun dengan model Pemberi Kerja maupun  Lembaga Keuangan.
Berangkat dari kegiatan investasi dana pensiun selama ini, maka masih diperlukan berbagai strategi supaya dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan dana pensiun. Strategi itu diharapkan tetap mengacu kepada ketentuan yang berlaku, seperti UU No.11/1992 (khususnya pasal 29 s/d 32); Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 19/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 tentang Investasi Dana Pensiu; Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER-05/BL/2012 tentang Penyusunan Laporan Keuangan dan Dasar Penilaian Investasi Bagi Dana Pensiun;  Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 20/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 509/KMK.06/2012 tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun; Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 21/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.06/2002 tentang Pendanaan Dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja; Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 22/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2007 tentang Laporan Teknis Dana Pensiun; Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 50/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 tentang Iuran Dan Manfaat Pensiun; Peraturan Dana Pensiun.
Dalam kerangka menjadikan investasi dana pensiun didukung dengan fundamental yang kuat dan memberikan nilai tambah, maka masih diperlukan beberapa upaya. Diantara upaya yang dimaksudkan, dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, perluasan segmentasi pasar investasi. Disamping secara demografik, perluasan secara geografik, untuk kegiatan investasi dana pensiun perlu dilakukan untuk setiap instrumen investasi yang diperkenankan. Saat ini instrumen investasi dana pensiun ada 16 jenis, diantaranya Surat Berharga Negara, Tabungan pada Bank, Deposito berjangka pada Bank, Deposito on call pada Bank, Sertifikat Bank Indonesia, Saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, Obligasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Dalam 4 tahun terakhir mulai bergeser tempat utama investasi dana pensiun, yang sebelumnya fokus pada Deposito di Bank,  juga semakin  tersebar di Surat Berharga Negara dan Obligasi.
Kedua, sisdur investasi.  Sistem dan Prosedur untuk kegiatan investasi  dana pensiun perlu dibuat pengurus yang disahkan oleh pengawas. Dengan demikian, ada pegangan yang kuat dan pasti dalam kegiatan investasi. Dengan sisdur investasi yang ada, diharapkan unsur transparansi dan akuntabilitas akan semakin mengemuka.
Ketiga,  Komite Investasi. Sebelum pengurus dana pensiun menempatkan asetnya di instrumen investasi, maka analisa investasi hendaknya diputuskan melalui sebuah Komite Investasi, supaya setiap penempatan investasi yang dilakukan aman, bernilai tambah bagi dana pensiun atau peserta dana pensiun.
Keempat,  penerapan manajemen resiko.  Pada prinsipnya, setiap instrumen investasi dan institusi usaha dana pensiun memiliki resiko. Oleh karena itu perlu diterapkan manajemen resiko yang terkait dengan dana pensiun secara konsisten dan berkesinambungan, seperti resiko operasional, resiko pasar, resiko hukum, resiko terkonsentrasinya transaksi investasi.
Cakupan penerapan  manajemen resiko pada dana pensiun, antara lain, identifikasi, pengukuran, mitigasi dan pelaporan. Dengan penerapan manajemen resiko yang dimaksudkan, maka fundamental kegiatan investasi dana pensiun akan semakin kokoh dengan nilai tambah yang semakin meningkat.
Kelima, pengetahuan produk instrumen investasi. Para pengurus maupun pengawas dana pensiun, perlu secara berkesinambungan sama-sama meng-up grade pengetahuan di bidang produk-produk  investasi yang diperkenankan. Dengan demikian, disamping resiko bisa semakin dapat dikendalikan, keputusan investasi pun akan kian cepat.

( *Penulis adalah Advokat di bidang Keuangan & Perbankan, Trainer pada JFI dan CTC; BBM = 24EC43D2 )

Kamis, 17 Oktober 2013

Kolom Kardi Pakpahan :"Komplain sebagai Pencetus Perbaikan Kualitas Pelayanan"

Komplain sebagai Pencetus Perbaikan Kualitas Pelayanan
Oleh : Kardi Pakpahan*
Komplain dalam pelayanan memiliki beberapa dimensi penting. Pertama, demensi pemasaran. Kompain adalah bagian dari sistem pemasaran. Marilah kita ikuti pengertian pemasaran yang dikedepankan oleh William Stanton (1984) berikut. Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditunjukan untuk merencanakan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan baik pada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Sementara konsep pemasaran menurut Philip  Kotler (1994), adalah suatu orientasi manajemen yang menekankan pada tugas pokok organisasi yaitu menentukan kebutuhan dan keinginan dari target pasar dan menyesuaikan organisasi dengan tujuan untuk memberikan keputusan yang diharapkan dapat berjalan lebih efektif dan efisien dari pada yang bisa diberikan oleh pesaing. Sedangkan keputusan merupakan tingkat keadaan perasaan seorang yang merupakan hasil perbandingan antara penilaian kinerja (atau hasil akhir) produk dalam hubunganya dengan harapan orang-orang. Berdasarkan hal tersebut, maka wajar ada komplain dari nasabah atau Customer. Untuk kelangsungan sebuah perusahan tidak dapat melepaskan dari diri kegiatan pemasaran. Oleh kerena itu, komplain dari nasabah haruslah direspon dengan baik dan harus dijadikan menjadi faktor pencetus perbaikan.
Kedua, demensi koherensi antara visi dan budaya (value). Komplain dalam aktivitas pelayanan  dapat menjadi pencetus perbaikan koherensi antara visi, misi , nilai maupun motto organisasi, sehingga hal yang sama tidak perulang lagi. Perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja yang baik dan memiliki masa kelangsungan usaha yang panjang, biasanya memiliki koherensi yang baik antara visi misi, value ( kultur organisasi), strategi maupun stuktur organisasi.
Ketiga, dimensi  pengendalian manajemen resiko operasional. Manajemen resiko operasional merupakan pendekatan sistematis yang mengidentifikasi, mengukur, dan memprioritaskan serta mengurangi resiko-resiko operasional.
Dalam sebuah perusahaan, seperti perusahaan pembiayaan, perbankan dan perasuransian, dan lain-lain, sumber-sumber resiko operasional biasanya dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu 1) sumber daya manusia atau (SDM) seperti availability, keahlian, pelatihan, motivasi, perilaku;  2) teknologi, seperti reliability, integrity, continuity; 3) proses, seperti prosedur, jumlah, otorisasi, limit control; 4) eksternal seperti kerusuhan, force majeure, regulasi, dan lain-lain.
Memang tak dapat dipungkiri masalah komplein memiliki titik taut utama  dengan resiko operasional, tetapi juga sekaligus dapat berpengaruh pada eskalasi pada resiko lainnya, seperti resiko reputasi maupun resiko hukum. Dengan demikian menangani komplain dengan baik serta proaktif mencegah adanya Komplain, khususnya melalui jajaran organisasi di front office,  adalah merupakan bagian dari pengendalian manajemen resiko secara keseluruhan. Misalnya, peningkatanan kualitas pelayanan, biasanya menyebabkan frekuensi Komplain cenderung menurun dan index reputasi perusahaan  semakin baik.

(*Penulis adalah Training Leader di JFI dan CTC)

Minggu, 13 Oktober 2013

Kolom Kardi Pakpahan tentang Keterkaitan Produk Asuransi dengan BPR

Keterkaitan Produk Asuransi dengan BPR
Oleh : Kardi Pakpahan*

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu bisnis institusi keuangan yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan, khususnya dalam enam tahun terakhir. Mengingat hal tersebut, maka diperlukan berbagai upaya supaya bisnis BPR dapat bertumbuh dan berkembang secara lebih baik lagi. Salah satu upaya lain yang dapat ditempuh untuk mengwujudkan hal tersebut adalah semakin meningkatkan keterkaitan (linkage) bisnis BPR dengan bisnis lembaga-lembaga keuangan lainnya, seperti asuransi misalnya.  Karena tak dapat dipungkiri keterkaitan bisnis Asuransi dan BPR masih belum maksimal dilakukan selama ini.
            Bila dicermati keterkaitan antara Bank Umum dan Asuransi dapat dikatakan sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Sebagian besar penyaluran dana premi dari nasabah asuransi, baik dari asuransi jiwa maupun dari asuransi umum atau kerugian,  ditempatkan pada instrumen Deposito pada Bank Umum. Keterkaitan produk bank umum dengan asuransi selama ini di sini dikenal dengan istilah bancassurance.
            Apa saja keterkaitan bisnis yang dapat dilakukan perusahaan asuransi dengan BPR, khususnya dalam membentuk rantai nilai (value chain) yang saling menguntungkan.  Pertumbuhan kredit yang disalurkan BPR dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan. Untuk untuk pertumbuhan portofolio kredit yang relative besar  itu, tentu diperlukan juga prospek bisnis asuransi, baik dalam produk asuransi jiwa kredit maupun asuransi jaminan kredit. Sudah sebaiknya potensi yang baik tersebut dapat digarap oleh industri asuransi.
            Produk asuransi, seperti asuransi jiwa kredit maupun asuransi untuk menjamin agunan kredit, memang diperlukan oleh BPR dalam rangka mengelola resiko kredit bagi BPR. Hanya saja selama ini, masih belum begitu tinggi penetrasi promosi produk asuransi kepada BPR.  Mengingat hal tersebut, maka untuk menciptakan keterkaitan usaha yang produktif, sudah sebaiknya perusahaan asuransi dengan baik menangani  implementasi produk asuransi bagi BPR. Disamping itu, seiring dengan perkembangan yang semakin kentara pada BPR, para pekerja BPR tentunya membutuhkan produk asuransi, seperti asuransi jiwa, ansuransi pensiun, asuransi kesehatan, dan lain-lain.
Terganjal KMK        
Dari sisi BPR, apa kira-kira produk yang dapat dipergunakan oleh perusahaan asuransi. Tentu, jawabnya adalah produk yang terkait dengan produk funding, seperti Deposito berjangka.  Hanya saja, hubungan mesra antara perusahaan asuransi dengan BPR saat ini terganjal dengan salah satu Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu  KMK No : 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, sebagaimana disempurnakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 135/PMK.05/2005. Ketentuan tersebut kurang mendukung perusahaan asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR, yaitu tidak diperhitungkan dalam penentuan Risk Base Capital (RBC) asuransi, karenanya sampai saat ini, perusahaan asuransi belum leluasa menempatkan dananya pada BPR. Marilah kita simak isi pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003. Disana dikatakan :”Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perbankan”. Jadi, pengertian bank pada KMK tersebut, tidak termasuk BPR. Dalam KMK yang dimaksudkan, diatur batasan penempatan Deposito perusahaan asuransi yang diikutkan dalam perhitungan RBC adalah penempatan Deposito perusahaan asuransi pada Bank Umum. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003,  kalau perusahaan asuransi menempatkan deposito pada BPR tidak diiuktsertakan dalam perhitungan RBC (sejenis CAR diperbankan).
            Untuk mendukung keterkaitan sistem finansial, maka menteri keuangan ada baiknya menyempurnakan ketentuan pembatasan bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan dananya di BPR. Tentu, ada beberapa alasan yang berkenaan dengan hal tersebut. Pertama, ditengah-tengah telah berlakunya ketentuan Lembaga Penjaminan Simpanan  (LPS) di perbankan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 24/2004, maka ketentuan KMK No.424/KMK.06/2003  membatasi perusahaan asuransi melakukan penempatan dalam bentuk deposito di BPR sebaiknya segera diperbaharui. Saat ini, dana simpanan di Bank Umum dan BPR sudah sama-sama dijamin.
Kedua, kecenderungan semakin baiknya pengawasan BPR oleh Bank Indonesia, khususnya melalui Direktorat pengawasan BPR. Disamping terus meningkatkan penagawasan BPR, saat ini Bank Indonesia, juga aktif mendukung pengaturan untuk semakin efektifnya penagawasan BPR, seperti melalui PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor : 7/51/PBI/2005 jo Surat Edaran Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia Nomor : 8/7/DPBPR/2006 tentang Laporan Bulanan BPR, sudah disampaikan secara elektronis kepada Bank Indonesia. Dalam pada itu, untuk mendukung transparansi keuangan BPR, semenjak 5 Oktober 2006 yang lalu Bank Indonesia, telah mengundangkan PBI No 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan BPR.  Dalam pada itu, system akuntansi pada BPR sudah menerapkan pedomanan akutansi yang baru melalui penerapan SAK ETAP dan PA BPR.
Pada masa lalu, memang ada BPR yang sulit melakukan pencairan Deposito para nasabahnya, tetapi untuk saat ini, hal seperti itu sudah tipis kemungkinan terjadinya, apalagi dengan berlakunya lembaga pejaminan simpanan (LPS), PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Diperkirakan ketika pengawasan BPR beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka pengawasan pada usaha BPRberpotensi  cenderung semakin baik.
Ketiga, suku bunga. Suku bunga deposito di BPR, masih cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan bank umum. Dengan demikian, return investasi deposito di BPR masih cenderung lebih menarik.
Keempat, untuk mendukung terciptanya kesetimbangan volume usaha diantara industri finansial, maka perlu diberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk dapat menempatkan deposito di BPR. Fakta emperik menyatakan, ketika sebagian besar bank umum bermasalah di penghujung tahun 1997 sampai tahun 1998 yang lalu, menimbulkan krisis ekonomi yang relatif lama. Saat itu volume usaha industri finansial berada di tangan bank umum.
Akhirnya,  penempatan dana  perusahaan asuransi akan cenderung lebih besar ke BPR  kalau ketentuan KMK No.424/KMK.06/2003 yang membatasi perusahaan asuransi membatasi penempatan depositonya pada BPR dapat diperbaiki. Untuk hal tersebut, sudah sebaiknya Menteri Keuangan dapat menyempurnakan ketentuan pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003 yang berisi batasan  bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR. Bila hal tersebut dapat dilakukan, penyebaran portofolio investasi pada industri keuangan akan kian tersebar dengan, sehingga resikonya pun cenderung lebih mudah dikendalikan secara nasional.
            Supaya keterkaitan antara perusahaan asuransi dengan BPR dapat menciptakan rantai nilai yang saling menguntungkan, maka masing-masing para pihak haruslah menyajikan pelayanan prima dan saling menguntungkan. Misalnya, kalau muncul resiko yang diasuransikan BPR, maka diharapkan perusahaan asuransi dengan cepat dapat melayaninya sesuai dengan kontrak polis asuransi. Begitu juga BPR yang mengelola portofolio deposito perusahaan asuransi misalnya, sudah sebaiknya melakukan penghitungan dan pembayaran bunga secara akurat dan tepat waktu.
            Peningkatan keterkaitan perusahaan  asuransi dengan BPR akan besar artinya dalam mendukung peningkatan volume usaha perusahaan asuransi dan BPR. Oleh karena itu, instansi yang terkait dengan pembinaan dan penagawasn asuransi, sudah seharusnya melakukan berbagai kebijakan yang positif dan konstruktif untuk mendukung peningkatan keterkaitan perusahaan asuransi dengan BPR. Semoga.

( *Penulis adalah Training Leader pada JFI dan CTC, Alumnus Program Hukum Kegiatan Ekonomi FH-UI,  PIN BBM = 24EC43D2, Email = kardipakpahan@gmail.com )

Minggu, 06 Oktober 2013

Kolom Kardi Pakpahan tentang Taksasi Kendaraan Second

Perihal  Taksasi  Agunan untuk Pembiayaan Kendaraan Second
Oleh : Kardi Pakpahan*
             Disamping membiayai kendaraan baru, baik roda empat maupun roda dua, beberapa perusahaan pembiayaan (multifinance) juga kerap melakukan pembiayaan kendaraan bekas (second) dan objek agunan yang digunakan adalah kendaraan yang dibiayai. Supaya resiko pembiayaan pemilikan kendaraan dapat diperhitungkan, khususnya untuk kendaraan bekas atau second, yang karenanya sekaligus berfungsi sebagai jaminan pengembalian kredit yang diberikan  kreditur atau perusahaan pembiayaan, maka sebaiknya dilakukan proses penilaian agunan yang menjadi kolateral secara baik. Proses  penilaian adalah tahapan - tahapan yang dilakukan oleh seorang Penilai sebelum sampai pada suatu kesimpulan nilai, didasarkan pada data-data yang diperoleh dari sumber yang otentik dan dapat dipercaya serta dilengkapi opini. Proses penilaian agunan yang baik akan menjadi filter pada kegiatan pembiayaan konsumen dengan agunan kendaraan yang dibiayai.
            Dalam melakukan proses penilaian, akan dilalui tahapan atau proses yang satu sama lain saling terkait. Tahapan yang dimaksudkan akan dikedepankan pada uraian berikut.
            Pertama, pembatasan masalah yang dinilai. Hal-hal yang termasuk dalam bagian ini antara lain : a) identifikasi agunan, seperti legalitas pemilik dari agunan; b) kepentingan dari penilaian yang dilakukan oleh Penilai adalah untuk agunan kredit; c)  tanggal penilaian harus ditetapkan mengingat perubahan nilai dapat terjadi dengan berubahnya waktu; d) penentuan jenis nilai yang dicantumkan pada laporan penilaian adalah nilai pasar dan nilai likuidasi.
Kedua, perencanaan taksasi. Lazimnya, cakupan kegiatan pada bagian ini adalah a) pengelompokan data yang dibutuhkan; b) sumber data; c) jadual kerja penilaian.
Ketiga, pengumpulan data. Kegiatan ini merupakan pengumpulan data umum maupun data khusus yang diperlukan dalam penilaian.
Keempat, verifikasi dan analisa data. Hal-hal yang diperhatikan pada kegiatan ini adalah  a) data harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, seperti Dealer, Asuransi Umum, dan lain-lain; b) harus dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dengan dokumen agunan  yang dinilai; c) data tersebut harus memenuhi syarat / asumsi dalam Nilai Pasar, yaitu : (1) Penjual dan atau Pembeli tidak dalam kondisi terpaksa, (2) penjual dan pembeli tidak mempunyai hubungan khusus, (3) Penjual dan pembeli memiliki pengetahuan yang cukup tentang objek  yang ditransaksikan, (4) Penjual dan Pembeli mempunyai waktu yang cukup, (5) tidak terdapat hal-hal yang khusus dalam transaksi tersebut.
Penilaian Kendaraan
Pada  bagian berikut akan dikedepankan penilaian kendaraan. Pertama, kelengkapan data dan bukti kepemilikan. Kelengkapan data dan bukti kepemilikan yang dimaksudkan adalah  Surat BPKB, STNK, faktur pembelian, KTP & KK (bila calon debitur adalah perorangan).
Kedua, pengecekan data-data dan bukti kepemilikan. Kegiatan penting pada bagian ini antara lain  : a) periksa seluruh dokumen, periksa masa berlaku STNK; b) cocokkan perihal yang ada di faktur pembelian dan BPKP dengan perihal yang ada pada STNK; c) periksa BPKB apakah sudah dibalik nama.
Ketiga, pengecekan lapangan dan teknik penilaian. Hal-hal yang lazim dilakukan pada kegiatan ini adalah a)   lakukan dialog dengan calon debitur dan pelajari tingkat intelektual, karakter pemilik agunan/calon debitur, selidiki tingkat kesadaran calon debitur atas resiko yang akan diterima; b) periksa dan cocokkan hal-hal yang ada pada BPKP dengan kondisi fisik kendaraan; c) periksa kondisi fisik kendaraan, catat kerusakan-kerusakan yang ada pada kendaraan; d) hidupkan mesin dan lakukan test jalan; e) periksa siapa yang menggunakan kendaraan tersebut dan dasar penggunaannya.; f) lakukan dokumentasi pada bagian-bagian penting pada kendaraan.
Keempat, pembuatan laporan. Proses terakhir dari taksasi atau penilaian adalah pada aspek pembuatan laporan sesuai dengan data yang diperoleh untuk kepentingan keputusan permohonan kredit oleh manajen atau Komite Kredit atau Loan Committee.
 Penilaian yang baik terhadap agunan, yang sekaligus objek yang dibiayai, merupakan hal yang penting dan strategis. Karena tak dapat dipungkiri, bagi perusahaan pembiayaan pemberian kredit adalah aset utama perusahaan dan sumber utama pendapatan. Kadangkala, yang kerap membuat perusahaan pembiayaan jatuh adalah karena kredit yang diberikan.  Oleh karena itu, proses penilaian yang baik, yang karenanya dapat meningkatkan kualitas kredit yang diberikan, perlu terus dikembangkan oleh perusahaan pembiayaan. Untuk mendukung hal tersebut, maka pengembangan kompotensi SDM perusahaan pembiayaan untuk melakukan penilaian atau taksasi yang efektif, ada baiknya perlu diupayakan secara kontiniu dan konsisten.
--------------------------
( *adalah Training Leader di JFI dan CTC, serta Advokat di bidang Keuangan - baik Usaha Bank maupun Non-Bank 

Senin, 09 September 2013

Kolom Kardi Pakpahan : Menyoal Kebijakan di Bidang Industri

Menyoal Kebijakan di Bidang Industri 

(Perlu, Mendukung Kestabilan Usaha Finansial)


Oleh : Kardi Pakpahan*
Sejatinya supaya dapat memberikan dampak yang signifikan kepada kegiatan pembangunan, sudah semestinya terjadi kesetimbangan pada kegiatan Pertanian sebagai bidang usaha primer dengan kegiatan  industri sebagai bidang usaha sekunder, dan   Kegiatan usaha  jasa sebagai bidang usaha tersier, seperti kegiatan usaha jasa finansial, baik bank maupun non bank.  Apapun jenis bidang usahanya, aspek finansial sangat perlu, ia bagai kaki meja yang keempat. Oleh karena itu, sangat diperlukan pertumbuhan dan perkembangan usaha finansial dengan tingkat kestabilan yang terkendali, termasuk tentunya dari bidang industri.
SEKTOR atau bidang Industri memiliki arti yang penting dan strategis dalam pembangunan, baik untuk saat ini maupun pada masa yang akan datang. Ada beberapa alasan dikatakan demikian, sebagian di antaranya akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, pemulihan dari gejolak krisis ekonomi. Kegiatan pembangunan di sektor industri dapat digunakan sebagai bagian yang penting dalam upaya pemulihan ekonomi dan menjaga kestabilan kegiatan ekonomi. Dikatakan demikian, dikarenakan kegiatan dalam bidang industri membutuhkan bergeraknya serta masuknya kegiatan investasi, terutama investasi langsung (direct investment). Lazimnya kegiatan investasi, disamping dapat meningkatkan akselerasi dalam pencapaian tujuan pembangunan, juga menghasilkan multiplier effect, seperti penyerapan tenaga kerja.
Kedua, meningkatkan pendapatan negara. Aktivitas kegiatan usaha di berbagai sektor industri bisa meningkatkan pendapatan negara, yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan. Kontribusi pendapatan negara dari sektor industri dapat dikatakan relatif besar, termasuk produk industri untuk tujuan ekspor.  Dengan demikian, pembenahan yang lebih baik di sektor industri, disamping dapat memulihkan dan menjaga kestabilan kegiatan ekonomi, juga bisa meningkatkan perolehan devisa bagi negara, baik melalui instrumen tata niaga ekspor, implementasi perpajakan maupun melalui instrumen lainnya.
Ketiga, meningkatkan daya saing. Bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, khususnya dengan negara yang ada di Asia Pasifik, daya saing negara kita masih termasuk lemah. Jika sektor industri bisa diberdayakan dan dikembangkan, maka akan besar artinya dalam upaya membangun daya saing negara kita.
Keempat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun tahun terakhir ini masih berada pada ukuran yang rendah. Melalui pembenahan sektor industri nasional, akan cenderung meningkatkan nilai dan volume ekspor dan menekan nilai dan volume impor. Volume dan nilai ekspor yang semakin meningkat, pada akhirnya akan bisa berpengaruh positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Kelima, meningkatkan pendapatan perkapita. Lazimnya,  kegiatan industri, akan mampu mendorong eskalasi pendapatan perkapita, yang pada akhirnya dapat mendorong kian tingginya kualitas kehidupan masyarakat.

Arah Kebijakan

                Tak dapat dipungkiri, kebijaksanaan sektor industri pada masa lalu, khususnya selama rezim orde baru, banyak yang kurang sepadan dengan upaya pengembangan industri nasional. Misalnya saja, pengembangan industri pesawat terbang, yang telah menelan mega dana dalam beberapa tahun , belum membuahkan hasil yang signifikan dalam pembangunan.
                Contoh lain dari kebijaksanaan industri pada masa lalu yang kurang mendukung pada pengembangan industri nasional adalah industri pembuatan mobil nasional (mobnas), yang diatur melalui Keppres No. 42/1996. Pembuatan mobnas,, disamping diduga tidak melaksanakan ketentuan program pembuatan mobnas yang sebenarnya, juga disinyalir sarat dengan dugaan praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan dugaan pelanggaran hukum perpajakan. Akhirnya, kebijakan pembuatan mobnas itu tidak membuahkan hasil bagi pembangunan nasional, dan keberadaan Keppres No. 42/1996 telah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui Keppres No. 20/1998.
                Kebijaksanaan sektor industri pada masa lalu, khususnya selama rezim orde baru, menggunakan pendekatan Broad Base Spectrum (BBS). Prioritas BBS didasarkan atas pencapaian peningkatan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan tenaga kerja seoptimal atau semurah mungkin dan upaya yang dilakukan menggerakan sektor industri bertumpu pada pemasukan devisa sebanyak mungkin (melalui ekspor) untuk kepentingan pembangunan nasional, termasuk  memperkuat struktur industri yang dirasa masih lemah.
                Benar memang pendapat yang menyatakan bahwa Kebijakan BBS mungkin tepat pada masa lalu, dimana sumber daya nasional memadai atau stabil, sedang globalisasi dan persaingan belum menggejala. Namun, dengan semakin tajamnya persaingan perdagangan dunia dan maraknya isu globalisasi, seperti melalui implementasi APEC, AFTA, WTO, perlu dilakukan perubahan kebijakan. Mengingat hal tersebut, maka pendekatan kebijakan BBS yang telah diimplementasikan beberapa waktu yang lalu, perlu digantikan dengan kebijakan baru yang menggunakan pendekatan klaster industri, yaitu pengelompokan industri yang saling terkait intensif secara vertikal dan horizontal, serta merupakan aglomerasi perusahaan-perusahaan yang membentuk positive partnership, baik dengan supporting industry maupun related industry. Sedangkan manfaat dari kluster industri adalah untuk mendorong keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, yaitu dengan cara meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya transportasi dan transaksi, memanfaatkan aset sumber daya untuk mendorong diversifikasi produk dan meningkatkan terciptanya inovasi.  
                Mengingat masih diperlukannya kebijakan baru di sektor industri, maka diperlukan pengkajian terhadap berbagai kebijakan industri yang ada saat ini. Kebijakan yang masih relevan diteruskan, dan jika sebaliknya perlu direvisi dan/atau memformulasikan kebijakan yang baru. Proses formulasi kebijaksanaan di sektor industri, disamping bertujuan untuk merealisasikan akselerasi tujuan-tujuan pembangunan nasional yang diharapkan dari sektor industri, juga perlu untuk keperluan kualitas pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana telah diatur pada UU No.22/1999.
                Pada era pelaksanaan otonomi daerah, institusi pemerintah pusat yang terkait dengan sektor industri, seperti instansi Menteri Perindustrian, sangat  besar peranannya pada aspek kekuasaan pembuatan atau formulasi kebijaksanaan (policy making power), sedangkan proses budget allocation dan proses perizinan di sektor industri sudah sebaiknya dialihkan ke Pemerintah Daerah. Hanya saja, Pemerintah Daerah perlu mempersiapkannya secara baik, supaya bisa melahirkan akselerasi dalam kegiatan usaha atau investasi di bidang industri.
                Proses formulasi pembuatan kebijakan di sektor industri adalah  termasuk dalam wilayah  kebijakan publik. Oleh karenanya, berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan di sektor industri haruslah memperhatikan kepentingan publik atau kedaulatan masyarakat banyak. Sedangkan produk-produk kebijakan publik di sektor industri, dapat diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Pemerintah (PP), Undang-undang maupun bentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan.
                Formulasi kebijakan di sektor industri supaya berdampak positif dan efektif terhadap tujuan pembangunan nasional, haruslah dipersiapkan secara baik. Untuk itu, pembuatan kebijaksanaan (publik) yang baik disektor industri perlu memperhatikan lima hal berikut ini.
                Pertama, pembuatan kebijakan di sektor industri haruslah bisa mengakomodir seluruh peserta atau komponen dan pelaku perindustrian dalam perencanaan. Formulasi atau pembuatan kebijaksanaan sektor industri yang berfokus  demi kepentingan keluarga penguasa, kroni penguasa, seperti kerap terjadi di rezim orde baru, sudah tidak tepat lagi saat ini.  Bila hal-hal seperti itu masih terjadi, maka cenderung terjadi perlambatan dalam pencapaian tujuan-tujuan pembangunan di sektor industri, padahal sebagai konsekuensi dari rencana implementasi liberalisasi perdagangan dan investasi, serta untuk pemulihan ekonomi dari dampak krisis yang dibutuhkan adalah percepatan atau akselerasi. Oleh karena, itu pembuatan kebijakan publik di bidang industri yang berorientasi kepada kepentingan kroni penguasa atau penguasa tertentu haruslah dihindari.
                Kedua, pengembangan sumber daya manusia. Supaya kebijakan di bidang industri dapat efektif terhadap pencapaian tujuan pembangunan, maka perlu melaksanakan pengembangan sumber daya manusia, baik pada institusi yang menformulasikan kebijakan maupun pada institusi yang melaksanakan dan mengawasi kebijakan itu. Pengembangan SDM ini, perlu juga diikuti dengan pembenahan institusi yang terkait langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, hambatan-hambatan yang mungkin ada pada suatu institusi berarti dapat dihindari.
                Ketiga, pendekatan holistik atau tinjauan lintas sektoral. Formulasi kebijakan di bidang industri haruslah menggunakan pendekatan holistik atau tinjauan lintas sektoral. Artinya, kebijakan di bidang industri perlu memperhatikan beberapa aspek sekaligus, seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik.
                Keempat, implementasi kebijakan. Pada tataran pelaksanaan kebijakan di bidang industri haruslah diikuti dengan koordinasi, sinkronisasi, dan konsistensi oleh institusi-institusi yang terkait, seperti Menteri Perindustrian,  Menteri Perdagangan,  Menteri Pertanian, Menteri Tenaga Kerja, BPKM/BKPMD, Menteri Keaungan, Menteri Perekonomian, unsur Pemerintahan Daerah terkait, BI (Perbankan).
                Kelima, pelaksanaan fungsi pengawasan, evaluasi dan law enforcement. Fungsi pengawasan, evaluasi dan law enforcement pada  kebijakan di bidang industri memiliki arti yang penting dalam upaya mengefektifkan kebijakan terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang diharapkan. Fakta empirik menyatakan, lemahnya pengawasan, evaluasi maupun law enforcement terhadap sebuah kebijakan di bidang industri pada masa lalu, seperti kebijakan mobnas dan beberapa kebijakan di bidang industri lainnya, membuat kebijakan-kebijakan itu tidak bisa berpengaruh positif terhadap pencapaian tujuan pembangunan, malahan diantaranya ada yang sampai berpengaruh secara negatif.
                Keenam, upaya kemitraan. Untuk mendukung pertumbuhan dan sekaligus pemerataan serta dapat menjadi kondusif pada implementasi kebijakan peningkatan pendapatan negara, termasuk dalam menekan eskalasi pinjaman luar negeri/penerbitan Surat Utang Negara,  dan  termasuk melalui penerapan kebijakan fiskal yang efektif, maka kebijakan industri dalam format klaster sudah sepantasnya mengakomodir untuk dapat melahirkan sembiosa mutualisma (kemitraan) di bidang usaha yang terlibat, baik antara usaha besar, menengah dan kecil pada satu atau lebih klaster industri. Seperti kemitraan yang terpola pada industri otomotif di Jepang, antara pelaku industri utama dan pendukung, seperti penyedia suku cadang sudah berada rantai nilai yang baik dan serasi .
                Akhirnya, supaya kebijakan di bidang industri semakin bermakna bagi kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam mendukung kestabilan kegiatan ekonomi, termasuk tentunya kelangsungan usaha finansial, maka perlu juga didukung dengan deregulasi dan debirokratisasi kegiatan investasi serta dukungan dari pengembangan teknologi oleh institusi terkait yang dapat dipergunakan untuk kegiatan industri.

( *Penulis adalah Alumnus FHUI, Training Leader pada JFI dan CTC, serta Praktisi Hukum di Bidang Keuangan. Email = kardipakpahan@gmail.com; PIN BB = 24EC43D2  )

Minggu, 18 Agustus 2013

Kolom Kardi Pakpahan :"Efektifitas Pengawasan Perusahaan Pembiayaan"

Efektifitas  Pengawasan Perusahaan Pembiayaan


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Pertumbuhan dan perkembangan Perusahaan Pembiayaan atau multifinance dalam beberapa tahun terakhir ini relatif baik di sini, yang ditandai dengan pertumbuhan volume usaha yang positif, misalnya sampai 31 Desember 2011, Total Aset Perusahaan Pembiayaan Nasional sebesar Rp 291,4 Triliun. Disamping sebagian besar Perusahaan Pembiayaan  dapat bertumbuh dan berkembang, ada juga beberapa yang  harus  gulung tikar.
            Di tengah-tengah pertumbuhan dan perkembangan perusahaan pembiayaan selama ini ada juga beberapa kalangan yang mulai mengingatkan supaya lebih hati-hati.  Misalnya, kondisi kredit sepeda motor di Indonesia jangan sampai  mengarah seperti kasus subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat.
Sinyal tersebut di atas sesungguhnya penting juga mengingat karakteristik usaha  Perusahaan Pembiayaan, yang membutuhkan prinsip kehati-hatian. Sebagian besar dana yang masuk ke sisi Pasiva Perusahaan Pembiayaan  adalah dana pihak lain, baik dari lembaga keuangan bank, lembaga non bank, atau sumber lainnya.
Berangkat  dari hal tersebut, maka perlu kehadiran  institusi pengawasan yang efektif bagi Perusahaan Pembiayaan. Dengan tema pengawasan, jangan mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah atau apa yang belum dapat berjalan sesuai dengan ketentuan dan bagaimana memperbaikinya dan mencegah supaya penyimpangan tidak terjadi lagi.
 Supaya dapat menyajikan pengawasan yang efektif pada perusahaan pembiayaan maka masih diperlukan beberapa perangkat ketentuan atau peraturan dan sistem/prosedur pengawasan (SOP). Beberapa hal yang perlu diatur akan dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, Pedoman Akuntansi dan Transparansi Laporan Keuangan  Perusahaan Pembiayaan. Pengaturannya dapat dibuat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketentuan ini menuangkan seluruh standar akuntansi yang lazim berlaku pada institusi keuangan, cara pengakuan pendapatan (apakah acrual atau cash basis), cara mencatat seluruh beban, juga didalamnya diatur seluruh bentuk standar laporan keuangan perusahaan pembiayaan, seperti Laporan Keuangan Bulanan, Laporan Keuangan Semester, Laporan Keuangan Tahunan, Laporan Keuangan Publikasi, Laporan Arus Kas serta segala bentuk Daftar Nominatif yang digunakan untuk mendukung Laporan Keuangan Perusahaan Pembiayaan. Dengan adanya ketentuan ini maka laporan keuangan Perusahaan Pembiayaan bisa tersaji menurut standar yang lazim berlaku yang disajikan secara konsisten dan transparan.
Kedua, prinsip kehati-hatian. Pelaksanaan prinsip kehati-hatian pada Perusahaan Pembiayaan, seperti 1) jumlah pinjaman bagi setiap Perusahaan Pembiayaan dibandingkan dengan jumlah modal sendiri (netrworth) dan Pinjaman Subordinasi dikurangi penyertaan (gearing ratio) ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10 kali; 2) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki Modal Sendiri sekurang-kuranya 50% dari Modal Disetor (paid in captital).
Karena sebagian besar  aset Perusahaan Pembiayaan ditempatkan  pada pos pinjaman yang diberikan atau piutang  pembiayaan, maka ada baiknya diatur secara lebih terperinci mengenai Kolektibilitas dan Penyisihan Penghapusan Piutang Pembiayaan.
Ketiga, penilaian tingkat kesehatan. Perlu standar penilaian kesehatan Perusahaan Pembiayaan. Kalau untuk perbankan penilaian tingkat kesehatan menggunakan metode CAMEL, perusahaan asuransi dengan RBC ( Risk Based Capital), maka pada Perusahaan Pembiayaan perlu diatur tentang penilaian tinggkat kesehatan. Karena karakteristik Perusahaan Pembiayaan adalah berdekatan dengan perbankan, maka pengaturan tingkat kesehatan bisa dengan memodifikasi CAMEL (Capital, Asset atau Aktiva Produktif, Management, Earning atau Rentabilitas, Liqudity atau Likuiditas). Pada bagian manajemen supaya diakomodir tentang penerapan manajemen resiko, seperti risiko kredit, resiko operasional, resiko hukum, dan penerapan risk based supervision.
Dalam konteks pelaksanaan pengawasan, baik pengawasan langsung (aktif) maupun pengawasan tidak langsung (pasif), perlu terlebih dahulu ditetapkan manual Sistem dan Prosedur (Sisdur) Pengawasan  Perusahaan Pembiayaan pada Institusi terkait, khususnya pada  OJK. Manual Pedoman atau Sisdur pengawasan itu merupakan manual pengawasan yang akan diterapkan.
Berbarengan dengan penyempurnaan Sisdur Pengawasan yang dimaksudkan maka yang tak kalah pentingya adalah mempersiapkan dan mengembangkan tim atau SDM (Sumber Daya Manusia) Pengawas atau Auditor, yang memiliki integritas, motivasi, kompetensi dan  pengetahuan yang mendukung.
Akhirnya pengawasan efektif yang berkesinambungan dan konsisten, searah dengan pertumbuhan dan perkembangan Perusahaan Pembiayaan sangat diperlukan, yang juga berarti resiko industri Perusahaan Pembiayaan semakin dapat dikendalikan dengan baik. Dengan demikian, makna Perusahaan Pembiayaan bagi kegiatan pembangunan menjadi kian bermakna, baik masa kini maupun masa yang akan datang.
----------------------

( *Kardi Pakpahan adalah Training Leader pada JFI & CTC, Praktisi Hukum di Bidang Keuangan; E-mail = kardipakpahan@gmail.com; PIN BB = 24EC43D2    Alumnus Program Kekhususan Hukum Kegiatan Ekonomi FH-UI))

Kolom Kardi Pakpahan : Prinsip Kehati-hatian pada Perusahaan Perasuransian

Prinsip Kehati-hatian  pada Perusahaan Perasuransian


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Beberapa tahun terakhir, institusi yang terkait dengan pembinaan dan pengawasan usaha pada sektor keuangan secara berkesinambungan melakukan penataan melalui beberapa paket kebijakan.  Kalau dicermati konten dari kebijakan itu, dapat dikatakan, adalah bagian dari upaya untuk menjadikan usaha sektor keuangan untuk bertumbuh dan berkembang dengan dukungan pilar yang kokoh. Lembaga finansial yang seperti itu, pada akhirnya yang dapat memberi peran yang signifikan pada kegiatan ekonomi, khususnya kepada masyarakat sebagai pihak yang menggunakan produk dan jasa berbagai perusahaan di sektor keuangan.
            Salah satu kebijakan yang dimasudkan adalah melalui kehadiran PP No.39/2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Didalam Peraturan Pemerintah (PP) tersebut dipertegas tentang pengaturan yang terkait dengan beberapa prinsip kehati-hatian atau prudential. Melalui implementasi prinsip prudential yang dimaksudkan maka diharapkan disamping dapat membuat perusahaan asuransi berdiri dengan dukungan pilar yang kokoh, juga perusahaan asuransi yang ada di sini bisa berperan dengan baik pada pasar tunggal ASEAN (Asean Economic Integration)  tahun 2015.
Beberapa ketentuan prinsip kehati-hatian yang diatur pada PP No.39/2008 akan dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, fungsi utama dalam organisasi. Berdasarkan pasal 3c PP No.39/2008, perusahaan asuransi wajib memiliki fungsi pengelolaan resiko, fungsi pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan.
Kedua, tenaga ahli.  Pada pasal 3d PP No.39/2008, disyaratkan supaya perusahaan asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi umum untuk mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahannya dalam jumlah yang cukup untuk mengelola kegiatan usahannya.
Ketiga, komisaris independen. Perusahaan asuransi, menurut pasal 3e PP No.39/2008,  harus memiliki komisaris independen, dengan tugas pokok untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis. Komisaris yang dimaksudkan bukan merupakan afiliasi pemegang saham, direksi atau komisaris  dan hanya dapat menjadi komisaris independen paling banyak pada 2 perusahaan asuransi. Ketentuan ini dapat dikatakan melengkapi ketentuan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.421/KMK.06/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatuhan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian.
Keempat,  penerapan GCG. Sama dengan usaha finansial lainnya, seperti perbankan, perusahaan asuransi, berdasarkan pasal 3g PP No.39/2008, diwajibkan melaksanakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik  atau Good Corporate Governance (GCG). Penerapan GCG pada perusahaan asuransi akan mendorong terjadinya keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran.
Kelima, larangan penempatan investasi.  Sebagian besar sumber dana pada perusahaan asuransi akan disalurkan ke instrumen investasi. Menurut pasal 13a PP No.39/2008, Perusahaan Perasuransian dilarang memberikan pinjaman kepada atau menempatkan kekayaan pada pemegang saham dan afiliasinya. Pola seperti itu pada masa lalu diduga banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi yang terhimpun dalam satu group. Sehingga kalau terjadi klaim dari tertanggung atu pemegang polis misalnya, maka  sulit mendapat pelayanan yang baik.
Keenam, modal pendirian. Sama dengan lembaga usaha keuangan lainnya, seperti perbankan, Perusahaan Asuransi juga didorong untuk meningkatkan permodalan. Pada pasal  6 PP No.39/2008 dikatakan bahwa modal disetor minimum bagi pendirian asuransi adalah Rp 100 Miliar.
Ketujuh, modal sendiri. Modal sendiri merupakan penjumlahan dari modal disetor minimum, agio saham, saldo laba, cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai surat berharga, dan selisih penilaian aktiva. Besarnya modal sendiri perusahaan asuransi, menurut pasal 6 a PP No.39/2008 adalah paling sedikit sebesar modal disetor minimum. Dengan demikian, kalau  modal sendiri berkurang karena kerugian yang besar, perusahaan asuransi yang bersangkutan  harus menambah modal.
Adapun tahapan pemenuhan modal sendiri perusahaan asuransi, berdasarkan pasal 6 B PP No.39/2008 adalah a) paling sedikit Rp 40 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2008; 2) paling sedikit sebesar Rp 70 miliar paling lambat 31 Desember 2009; 3) paling sedikit sebesar Rp 100 miliar paling lambat 31 Desember 2010.
Kedelapan, dana jaminan. Berdasarkan pasal 7 PP No.39/2008, Perusahaan Asuransi harus memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor minimum. Dana jaminan itu merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis. Melalui peningkatan modal disetor minimum, berarti besarnya dana jaminan perusahaan asuransi juga meningkat.
Efektifitas
            Masih diperlukan berbagai upaya supaya penerapan prinsip kehati-hatian pada perusahaan asuransi berlaku efektif. Sebagian dari upaya yang dimaksudkan, pertama, peningkatan modal intelektual. Dalam rangkaian  reformasi sektor keuangan, aspek modal finansial diharuskan mengalami peningkatan. Peningkatan modal finansial perusahaan asuransi bisa kurang bermakna manakala tidak diikuti dengan peningkatan modal intelektual atau human capital. Pada pasal 29 ayat 1 KMK No.426/KMK.06/2003 disebutkan :”Perusahaan Asuransi wajib menganggarkan dana untuk pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sekurang-kurangnya 5% dari jumlah biaya pegawai, Direksi dan Komisaris, untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, dan keahlian di bidang usaha perasuransian bagi karyawannya”. Oleh karena itu, dalam membangun human capital, untuk meningkatkan kinerja perusahaan asuransi, maka perlu dilakukan kegiatan pengembangan bagi seluruh SDM (Sumber Daya Manusia) sesuai dengan kebutuhan organisasi, baik SDM yang terkait dengan pelayanan, pengelolaan resiko maupun pengelolaan keuangan.
            Kedua, peraturan pelaksana. Beberapa peraturan pelaksana masih diperlukan dalam rangka menjalankan prinsip kehati-hatian pada perusahaan asuransi, seperti, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Good Corporate Governance, terutama yang terkait dengan pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.
            Ketiga, pemenuhan permodalan. Supaya perusahaan  asuransi dapat berkembang dengan baik, dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, serta  dapat menuai manfaat dari integrasi ekonomi ASEAN 2015, maka dukungan permodalan adalah sangat penting. Untuk pemenuhan permodalan pada perbankan, baik untuk bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat, sudah berjalan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan. Perusahaan asuransi sebaiknya memiliki komitmen untuk memenuhi permodalan yang ditentukan dengan berbagai upaya yang dapat dilakukan, termasuk melalui strategi  Merger, Konsolidasi atau Akuisisi.
            Keempat, pengawasan. Kinerja pengawasan yang efektif dari instansi yang terkait diperlukan untuk mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan sekaligus mendukung tercapainnya target reformasi sektor keuangan, yang karenanya bisa membuat perusahaan asuransi  kian bermakna pada kegiatan pembangunan. Karena sebagian besar kekayaan ditempatkan di pos Investasi di sisi Aktiva Neraca perusahaan asuransi, maka daftar nominatif dan rasio investasi untuk setiap instrumen, ada baiknya  diperiksana secara langsung secara berkala oleh instansi terkait sebagaimana yang diatur dalam KMK No.424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.  

 ( *Kardi Pakpahan adalah Training Leader pada JFI dan CTC, serta Praktisi Hukum di Bidang Keuangan; Alumnus Program Kekhususan Hukum Kegiatan Ekonomi, Fak. Hukum Universitas Indonesia;  E-mail = kardipakpahan@gmail.com; PIN BB = 24EC43D2   )

Sabtu, 17 Agustus 2013

Kolom Kardi Pakpahan : Penerapan MRO dalam Transaksi e-Banking

Penerapan MRO dalam Transaksi e-Banking


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Perkembangan e-Banking (elektronic-Banking) dalam beberapa tahun terakhir ini sudah semakin luas dan dalam. Masyarakat dan pengelola perbankan sama-sama mendapatkan banyak manfaat. Berbagai transaksi yang dapat dilakukan dengan adanya e-Banking, seperti untuk melakukan pembayaran aneka keperluan,  jasa transfer, kartu kredit. Bagi bank sendiri pengembangannya,   difokuskan untuk meningkatkan pendapatan di luar bunga (fee base income). Waktu yang digunakan untuk melakukan transaksi perbankan atau usaha finansial lainnya sudah semakin singkat melalui kehadiran e-Banking dan pada umunya berbagai transaksi dapat berlangsung 24 jam di berbagai wilayah secara terintegrasi.
            Dalam kontek produk perbankan atau produk usaha keuangan lainnya, penerapan e-Banking, ada yang menjadi nama produk bank, seperti Credit Card, Visa Money Transfer, Remittance, atau aplikasinya sebagai fasilitas atau manfaat tambahan kepada produk yang ada, misalnya, untuk produk tabungan dilengkapi dengan fasilitas ATM, Kartu Debet, SMS Banking, Phone Banking, transfer, menjadi alat pembayaran untuk berbagai produk atau jasa.
            Di tengah-tengah perkembangannya, implementasi e-Banking masih kerap diperhadapkan dengan berbagai masalah. Masalah tersebut terkait dengan  upaya yang mengkomunikasikan perlunya perlindungan kepada nasabah. Banyak keluhan atau komplein masyarakat pengguna ATM atau Kartu Kredit menghiasi rubrik Surat Pembaca di media massa. Sedangkan masalah lainnya yang menonjol adalah praktek cyber crime dan modus pencurian melalui mesin ATM.
            Beberapa tahun yang lalu misalnya, untuk mendapatkan nomor kartu kredit orang lain (carding), ada hacker yang membeli situs yang mirip dengan milik salah satu bank nasional. Kepala Departemen Forensik RSMH Palembang, dr Junus Wijaya, SpF, pernah menjadi korban cyber crime (Sumatera Ekspres, 19 Agustus 2008). Dua kartu kreditnya dibobol hacker untuk transaksi on line, dengan modus operandi pelaku menelepon pemilik kartu kredit seolah-olah dari call center penerbit kartu, untuk mendapatkan nomor kartu kredit.
            Untuk pengembangan dan aplikasi e-Banking saat ini maupun pada masa yang datang, sekaligus untuk mengatasi masalah-masalah yang mengemuka, sehingga kehadiranya kian bermakna, maka penerapan Manajemen Resiko Operasional (MRO) didalamnya perlu dijadikan menjadi budaya atau kultur. Implementasi MRO pada e-Banking berfokuskan pada pengelolaan resiko operasional. Resiko operasional merupakan resiko bank atau perusahaan jasa keuangan yang tidak dapat melakukan kegiatan operasionalnya secara normal, yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia atau SDM (Sumber Daya Manusia), gangguan dan kegagalan sistem informasi manajemen dan komunikasi, ketidakpastian ketentuan, kelemahan struktur pengendalian, dan adanya problem eksternal.
            Menjadikan MRO sebagai budaya dalam penerapan e-Banking, adalah hal yang fundamental dan kalau tidak dilaksanakan secara baik, dapat berpengaruh negatif kepada hal lainnya, seperti, pada sisi resiko hukum, resiko reputasi. Mesin ATM yang sering mengalami transaksi gagal misalnya, dapat menurunkan reputasi sebuah bank. Dalam pada itu, e-Banking yang tidak dikendalikan dengan sebuah MRO yang baik dan konsisten serta kontiniu, dapat menimbulkan kerugian, yang pada akhirnya berpengaruh negatif pada permodalan Bank atau Perusahaan Jasa Keuangan.
            Dalam rangka penerapan MRO pada transaksi e-Banking paling tidak perlu diperhatikan 4 hal utama. Pertama, faktor SDM. Pengelola perbankan memastikan tersedia Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu, dalam jumlah memadai,  kompeten, terlatih, memiliki motivasi dan sikap kerja positif dalam menjalankan operasional e-Banking. Termasuk tentunya  SDM dari mitra bank. Misalnya jangan sampai di pusat perbelanjaan kepada customer, selaku pemilik kartu kredit, yang berbelanja misalnya disampaikan pegawai pusat perbelanjaan bahwa pembelian barang dikenakan bunga 0%, tetapi kenyataan tidak demikian. Jadi, harus ada standar pelayanan antara penerbit kartu kredit dengan mitra usahannya, seperti para pedagang atau pengelola pusat perbelanjaan.
            Kedua, teknologi. Karakteristik teknologi untuk mendukung e-Banking yang digunakan Perbankan paling tidak memiliki reliability, integrity, dan continuity yang tinggi. Penggunaan teknologi yang out of date dan rancang bangun teknologi informasi yang kurang applicable, demi penghematan biaya haruslah dihindari. Pengembangan dan penerapan teknologi ini tetap diupayakan memberi nilai tambah bagi nasabah. Perlindungan kepada pemegang Kartu ATM misalnya, ada yang diberikan sebuah bank kepada nasabahnya dengan cara keharusan melakukan otorisasi untuk setiap tahapan transaksi yang dilakukan. Dengan demikian, walapun kartu ATM misalnya tertinggal di mesin ATM, tidak dapat  digunakan oleh orang lain.
            Ketiga, proses. Lazimnya, proses  bermasalah pada penerapan e-Banking terjadi karena disain proses yang tidak tepat, prosedur yang tidak tegas dan jelas, terlalu kompleks dan sulit dimengerti, penetapan atau pemberian kewenangan yang tidak terkendali. Hal-hal tersebut perlu dikendalikan dengan baik.
            Keempat, ekternal. Faktor eksternal  yang sangat perlu dikendalikan  terutama dalam pencegahan dan pengendalian  segala bentuk modus-modus operandi yang dilakukan oleh para hacker.  Karena masih kerap terjadi pencurian melalui mesin ATM, maka masih perlu dilakukan upaya pengendalian yang baik, supaya eksistensi Anjungan Tunai Mandiri atau tempat ATM benar-benar aman dan nyaman.
            Sebagai sebuah budaya, dalam aktivitas MRO pada penyelenggaraan e-Banking, maka  haruslah dilakukan penilaian dan mitigasi pada setiap bagian resiko operasional yang mungkin terjadi secara berkala. Dengan mitigasi yang dilakukan maka seluruh resiko operasional yang ada dapat dipetakan ke dalam empat hal utama, yaitu dihindari, dikurangi, dipindahkan, diterima. Misalnya, setelah diukur transaksi gagal seluruh ATM sebuah bank secara nasional sebesar 20% dari seluruh transaksi dalam periode tertentu, maka perlu dilakukan penilaian maupun mitigasi dalam rangka mengurangi transaksi gagal melalui ATM. Resiko transaksi gagal ATM, tidak hanya mempengaruhi resiko operasional, tetapi hal seperti itu bisa mengurangi reputasi sebuah bank atau perusahaan jasa keuangan.
            Penerapan dan pengembangan e-Banking supaya semakin baik pada masa selanjutnya, maka segala regulasi yang terkait didalamnya haruslah diterapkan secara baik. Diantara regulasi yang dimaksudkan adalah pelaksanaan PBI No.7/6/2005 tentang Transparansi Produk Bank, PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Aspek transparansi produk bank dan penyelesaian komplein nasabah yang mengarus ke media massa, khususnya dengan produk bank yang terkait dengan e-Banking,  tampaknya kadang kala masih belum kondusif dan kerap merugikan nasabah. Padahal, seperti yang telah diketahui, salah satu pilar  Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah program peningkatan perlindungan nasabah, yang didukung dengan 4 unsur utama, yaitu 1) penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah; 2) pembentukan lembaga mediasi yang independen; 3) penyusunan transparansi informasi produk; 4) mempromosikan edukasi untuk konsumen. Sesunggungnya, menjalankan MRO pada penyelenggaraan e-Banking dan menjadikannya sebagai budaya, adalah memiliki makna yang sama dengan upaya peningkatan perlindungan nasabah.

 (  *Penulis adalah Training Leader pada CTC – COMPETENCY TRAINING CENTRE dan JFI – JAKARTA FINANCIAL INSTITUTE  serta praktisi hukum  di bidang Keuangan; Email : kardipakpahan@gmail.com; PIN BB : 24EC43D2  )

Minggu, 11 Agustus 2013

ALBUM JFI ~ CTC BERSAMA DIREKTUR PENGAWASAN BANK BI

DI GEDUNG TIFICAL BANK INDONESIA (BI), JAKARTA, BEBERAPA WAKTU LALU, KARDI PAKPAHAN, SH, MBA ~ SELAKU TRAINING LEADER JFI - CTC, MELAKUKAN DIALOG DENGAN BPK. IRMAN DJAJA DALIMI, SALAH SATU DIREKTUR  DIREKTORAT PENGAWASAN BANK DI BI   DENGAN THEMA :"PENGASAWAN DAN PEMBINAAN BANK"