Sabtu, 17 Agustus 2013

Kolom Kardi Pakpahan : Penerapan MRO dalam Transaksi e-Banking

Penerapan MRO dalam Transaksi e-Banking


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Perkembangan e-Banking (elektronic-Banking) dalam beberapa tahun terakhir ini sudah semakin luas dan dalam. Masyarakat dan pengelola perbankan sama-sama mendapatkan banyak manfaat. Berbagai transaksi yang dapat dilakukan dengan adanya e-Banking, seperti untuk melakukan pembayaran aneka keperluan,  jasa transfer, kartu kredit. Bagi bank sendiri pengembangannya,   difokuskan untuk meningkatkan pendapatan di luar bunga (fee base income). Waktu yang digunakan untuk melakukan transaksi perbankan atau usaha finansial lainnya sudah semakin singkat melalui kehadiran e-Banking dan pada umunya berbagai transaksi dapat berlangsung 24 jam di berbagai wilayah secara terintegrasi.
            Dalam kontek produk perbankan atau produk usaha keuangan lainnya, penerapan e-Banking, ada yang menjadi nama produk bank, seperti Credit Card, Visa Money Transfer, Remittance, atau aplikasinya sebagai fasilitas atau manfaat tambahan kepada produk yang ada, misalnya, untuk produk tabungan dilengkapi dengan fasilitas ATM, Kartu Debet, SMS Banking, Phone Banking, transfer, menjadi alat pembayaran untuk berbagai produk atau jasa.
            Di tengah-tengah perkembangannya, implementasi e-Banking masih kerap diperhadapkan dengan berbagai masalah. Masalah tersebut terkait dengan  upaya yang mengkomunikasikan perlunya perlindungan kepada nasabah. Banyak keluhan atau komplein masyarakat pengguna ATM atau Kartu Kredit menghiasi rubrik Surat Pembaca di media massa. Sedangkan masalah lainnya yang menonjol adalah praktek cyber crime dan modus pencurian melalui mesin ATM.
            Beberapa tahun yang lalu misalnya, untuk mendapatkan nomor kartu kredit orang lain (carding), ada hacker yang membeli situs yang mirip dengan milik salah satu bank nasional. Kepala Departemen Forensik RSMH Palembang, dr Junus Wijaya, SpF, pernah menjadi korban cyber crime (Sumatera Ekspres, 19 Agustus 2008). Dua kartu kreditnya dibobol hacker untuk transaksi on line, dengan modus operandi pelaku menelepon pemilik kartu kredit seolah-olah dari call center penerbit kartu, untuk mendapatkan nomor kartu kredit.
            Untuk pengembangan dan aplikasi e-Banking saat ini maupun pada masa yang datang, sekaligus untuk mengatasi masalah-masalah yang mengemuka, sehingga kehadiranya kian bermakna, maka penerapan Manajemen Resiko Operasional (MRO) didalamnya perlu dijadikan menjadi budaya atau kultur. Implementasi MRO pada e-Banking berfokuskan pada pengelolaan resiko operasional. Resiko operasional merupakan resiko bank atau perusahaan jasa keuangan yang tidak dapat melakukan kegiatan operasionalnya secara normal, yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia atau SDM (Sumber Daya Manusia), gangguan dan kegagalan sistem informasi manajemen dan komunikasi, ketidakpastian ketentuan, kelemahan struktur pengendalian, dan adanya problem eksternal.
            Menjadikan MRO sebagai budaya dalam penerapan e-Banking, adalah hal yang fundamental dan kalau tidak dilaksanakan secara baik, dapat berpengaruh negatif kepada hal lainnya, seperti, pada sisi resiko hukum, resiko reputasi. Mesin ATM yang sering mengalami transaksi gagal misalnya, dapat menurunkan reputasi sebuah bank. Dalam pada itu, e-Banking yang tidak dikendalikan dengan sebuah MRO yang baik dan konsisten serta kontiniu, dapat menimbulkan kerugian, yang pada akhirnya berpengaruh negatif pada permodalan Bank atau Perusahaan Jasa Keuangan.
            Dalam rangka penerapan MRO pada transaksi e-Banking paling tidak perlu diperhatikan 4 hal utama. Pertama, faktor SDM. Pengelola perbankan memastikan tersedia Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu, dalam jumlah memadai,  kompeten, terlatih, memiliki motivasi dan sikap kerja positif dalam menjalankan operasional e-Banking. Termasuk tentunya  SDM dari mitra bank. Misalnya jangan sampai di pusat perbelanjaan kepada customer, selaku pemilik kartu kredit, yang berbelanja misalnya disampaikan pegawai pusat perbelanjaan bahwa pembelian barang dikenakan bunga 0%, tetapi kenyataan tidak demikian. Jadi, harus ada standar pelayanan antara penerbit kartu kredit dengan mitra usahannya, seperti para pedagang atau pengelola pusat perbelanjaan.
            Kedua, teknologi. Karakteristik teknologi untuk mendukung e-Banking yang digunakan Perbankan paling tidak memiliki reliability, integrity, dan continuity yang tinggi. Penggunaan teknologi yang out of date dan rancang bangun teknologi informasi yang kurang applicable, demi penghematan biaya haruslah dihindari. Pengembangan dan penerapan teknologi ini tetap diupayakan memberi nilai tambah bagi nasabah. Perlindungan kepada pemegang Kartu ATM misalnya, ada yang diberikan sebuah bank kepada nasabahnya dengan cara keharusan melakukan otorisasi untuk setiap tahapan transaksi yang dilakukan. Dengan demikian, walapun kartu ATM misalnya tertinggal di mesin ATM, tidak dapat  digunakan oleh orang lain.
            Ketiga, proses. Lazimnya, proses  bermasalah pada penerapan e-Banking terjadi karena disain proses yang tidak tepat, prosedur yang tidak tegas dan jelas, terlalu kompleks dan sulit dimengerti, penetapan atau pemberian kewenangan yang tidak terkendali. Hal-hal tersebut perlu dikendalikan dengan baik.
            Keempat, ekternal. Faktor eksternal  yang sangat perlu dikendalikan  terutama dalam pencegahan dan pengendalian  segala bentuk modus-modus operandi yang dilakukan oleh para hacker.  Karena masih kerap terjadi pencurian melalui mesin ATM, maka masih perlu dilakukan upaya pengendalian yang baik, supaya eksistensi Anjungan Tunai Mandiri atau tempat ATM benar-benar aman dan nyaman.
            Sebagai sebuah budaya, dalam aktivitas MRO pada penyelenggaraan e-Banking, maka  haruslah dilakukan penilaian dan mitigasi pada setiap bagian resiko operasional yang mungkin terjadi secara berkala. Dengan mitigasi yang dilakukan maka seluruh resiko operasional yang ada dapat dipetakan ke dalam empat hal utama, yaitu dihindari, dikurangi, dipindahkan, diterima. Misalnya, setelah diukur transaksi gagal seluruh ATM sebuah bank secara nasional sebesar 20% dari seluruh transaksi dalam periode tertentu, maka perlu dilakukan penilaian maupun mitigasi dalam rangka mengurangi transaksi gagal melalui ATM. Resiko transaksi gagal ATM, tidak hanya mempengaruhi resiko operasional, tetapi hal seperti itu bisa mengurangi reputasi sebuah bank atau perusahaan jasa keuangan.
            Penerapan dan pengembangan e-Banking supaya semakin baik pada masa selanjutnya, maka segala regulasi yang terkait didalamnya haruslah diterapkan secara baik. Diantara regulasi yang dimaksudkan adalah pelaksanaan PBI No.7/6/2005 tentang Transparansi Produk Bank, PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Aspek transparansi produk bank dan penyelesaian komplein nasabah yang mengarus ke media massa, khususnya dengan produk bank yang terkait dengan e-Banking,  tampaknya kadang kala masih belum kondusif dan kerap merugikan nasabah. Padahal, seperti yang telah diketahui, salah satu pilar  Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah program peningkatan perlindungan nasabah, yang didukung dengan 4 unsur utama, yaitu 1) penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah; 2) pembentukan lembaga mediasi yang independen; 3) penyusunan transparansi informasi produk; 4) mempromosikan edukasi untuk konsumen. Sesunggungnya, menjalankan MRO pada penyelenggaraan e-Banking dan menjadikannya sebagai budaya, adalah memiliki makna yang sama dengan upaya peningkatan perlindungan nasabah.

 (  *Penulis adalah Training Leader pada CTC – COMPETENCY TRAINING CENTRE dan JFI – JAKARTA FINANCIAL INSTITUTE  serta praktisi hukum  di bidang Keuangan; Email : kardipakpahan@gmail.com; PIN BB : 24EC43D2  )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar