Penerapan MRO dalam Transaksi e-Banking
Oleh : Kardi Pakpahan*
Perkembangan
e-Banking (elektronic-Banking) dalam
beberapa tahun terakhir ini sudah semakin luas dan dalam. Masyarakat dan pengelola
perbankan sama-sama mendapatkan banyak manfaat. Berbagai transaksi yang dapat
dilakukan dengan adanya e-Banking,
seperti untuk melakukan pembayaran aneka keperluan, jasa transfer, kartu kredit. Bagi bank
sendiri pengembangannya, difokuskan untuk
meningkatkan pendapatan di luar bunga (fee
base income). Waktu yang digunakan untuk melakukan transaksi perbankan atau
usaha finansial lainnya sudah semakin singkat melalui kehadiran e-Banking dan
pada umunya berbagai transaksi dapat berlangsung 24 jam di berbagai wilayah
secara terintegrasi.
Dalam
kontek produk perbankan atau produk usaha keuangan lainnya, penerapan
e-Banking, ada yang menjadi nama produk bank, seperti Credit Card, Visa Money
Transfer, Remittance, atau
aplikasinya sebagai fasilitas atau manfaat tambahan kepada produk yang ada,
misalnya, untuk produk tabungan dilengkapi dengan fasilitas ATM, Kartu Debet,
SMS Banking, Phone Banking, transfer, menjadi alat pembayaran untuk berbagai
produk atau jasa.
Di
tengah-tengah perkembangannya, implementasi e-Banking masih kerap diperhadapkan
dengan berbagai masalah. Masalah tersebut terkait dengan upaya yang mengkomunikasikan perlunya
perlindungan kepada nasabah. Banyak keluhan atau komplein masyarakat pengguna
ATM atau Kartu Kredit menghiasi rubrik Surat Pembaca di media massa. Sedangkan
masalah lainnya yang menonjol adalah praktek cyber crime dan modus pencurian melalui mesin ATM.
Beberapa
tahun yang lalu misalnya, untuk mendapatkan nomor kartu kredit orang lain (carding), ada hacker yang membeli situs yang mirip dengan milik salah satu bank
nasional. Kepala Departemen Forensik RSMH Palembang, dr Junus Wijaya, SpF, pernah
menjadi korban cyber crime (Sumatera Ekspres, 19 Agustus 2008). Dua
kartu kreditnya dibobol hacker untuk
transaksi on line, dengan modus
operandi pelaku menelepon pemilik kartu kredit seolah-olah dari call center penerbit kartu, untuk
mendapatkan nomor kartu kredit.
Untuk
pengembangan dan aplikasi e-Banking saat ini maupun pada masa yang datang,
sekaligus untuk mengatasi masalah-masalah yang mengemuka, sehingga kehadiranya
kian bermakna, maka penerapan Manajemen Resiko Operasional (MRO) didalamnya
perlu dijadikan menjadi budaya atau kultur. Implementasi MRO pada e-Banking
berfokuskan pada pengelolaan resiko operasional. Resiko operasional merupakan
resiko bank atau perusahaan jasa keuangan yang tidak dapat melakukan kegiatan
operasionalnya secara normal, yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan
atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia atau SDM (Sumber
Daya Manusia), gangguan dan kegagalan sistem informasi manajemen dan
komunikasi, ketidakpastian ketentuan, kelemahan struktur pengendalian, dan
adanya problem eksternal.
Menjadikan
MRO sebagai budaya dalam penerapan e-Banking, adalah hal yang fundamental dan
kalau tidak dilaksanakan secara baik, dapat berpengaruh negatif kepada hal
lainnya, seperti, pada sisi resiko hukum, resiko reputasi. Mesin ATM yang
sering mengalami transaksi gagal misalnya, dapat menurunkan reputasi sebuah
bank. Dalam pada itu, e-Banking yang tidak dikendalikan dengan sebuah MRO yang
baik dan konsisten serta kontiniu, dapat menimbulkan kerugian, yang pada
akhirnya berpengaruh negatif pada permodalan Bank atau Perusahaan Jasa
Keuangan.
Dalam
rangka penerapan MRO pada transaksi e-Banking paling tidak perlu diperhatikan 4
hal utama. Pertama, faktor SDM.
Pengelola perbankan memastikan tersedia Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu,
dalam jumlah memadai, kompeten,
terlatih, memiliki motivasi dan sikap kerja positif dalam menjalankan
operasional e-Banking. Termasuk tentunya
SDM dari mitra bank. Misalnya jangan sampai di pusat perbelanjaan kepada
customer, selaku pemilik kartu
kredit, yang berbelanja misalnya disampaikan pegawai pusat perbelanjaan bahwa
pembelian barang dikenakan bunga 0%, tetapi kenyataan tidak demikian. Jadi,
harus ada standar pelayanan antara penerbit kartu kredit dengan mitra
usahannya, seperti para pedagang atau pengelola pusat perbelanjaan.
Kedua, teknologi. Karakteristik
teknologi untuk mendukung e-Banking yang digunakan Perbankan paling tidak
memiliki reliability, integrity, dan continuity yang tinggi. Penggunaan teknologi yang out of date dan rancang bangun teknologi
informasi yang kurang applicable,
demi penghematan biaya haruslah dihindari. Pengembangan dan penerapan teknologi
ini tetap diupayakan memberi nilai tambah bagi nasabah. Perlindungan kepada
pemegang Kartu ATM misalnya, ada yang diberikan sebuah bank kepada nasabahnya
dengan cara keharusan melakukan otorisasi untuk setiap tahapan transaksi yang
dilakukan. Dengan demikian, walapun kartu ATM misalnya tertinggal di mesin ATM,
tidak dapat digunakan oleh orang lain.
Ketiga, proses. Lazimnya, proses bermasalah pada penerapan e-Banking terjadi
karena disain proses yang tidak tepat, prosedur yang tidak tegas dan jelas,
terlalu kompleks dan sulit dimengerti, penetapan atau pemberian kewenangan yang
tidak terkendali. Hal-hal tersebut perlu dikendalikan dengan baik.
Keempat, ekternal. Faktor eksternal yang sangat perlu dikendalikan terutama dalam pencegahan dan
pengendalian segala bentuk modus-modus
operandi yang dilakukan oleh para hacker. Karena masih kerap terjadi pencurian melalui
mesin ATM, maka masih perlu dilakukan upaya pengendalian yang baik, supaya
eksistensi Anjungan Tunai Mandiri atau tempat ATM benar-benar aman dan nyaman.
Sebagai sebuah budaya, dalam aktivitas MRO pada
penyelenggaraan e-Banking, maka haruslah
dilakukan penilaian dan mitigasi pada setiap bagian resiko operasional yang
mungkin terjadi secara berkala. Dengan mitigasi yang dilakukan maka seluruh
resiko operasional yang ada dapat dipetakan ke dalam empat hal utama, yaitu
dihindari, dikurangi, dipindahkan, diterima. Misalnya, setelah diukur transaksi
gagal seluruh ATM sebuah bank secara nasional sebesar 20% dari seluruh
transaksi dalam periode tertentu, maka perlu dilakukan penilaian maupun mitigasi
dalam rangka mengurangi transaksi gagal melalui ATM. Resiko transaksi gagal
ATM, tidak hanya mempengaruhi resiko operasional, tetapi hal seperti itu bisa
mengurangi reputasi sebuah bank atau perusahaan jasa keuangan.
Penerapan
dan pengembangan e-Banking supaya semakin baik pada masa selanjutnya, maka
segala regulasi yang terkait didalamnya haruslah diterapkan secara baik.
Diantara regulasi yang dimaksudkan adalah pelaksanaan PBI No.7/6/2005 tentang
Transparansi Produk Bank, PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah. Aspek transparansi produk bank dan penyelesaian komplein nasabah yang
mengarus ke media massa, khususnya dengan produk bank yang terkait dengan
e-Banking, tampaknya kadang kala masih
belum kondusif dan kerap merugikan nasabah. Padahal, seperti yang telah
diketahui, salah satu pilar Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) adalah program peningkatan perlindungan nasabah, yang
didukung dengan 4 unsur utama, yaitu 1) penyusunan standar mekanisme pengaduan
nasabah; 2) pembentukan lembaga mediasi yang independen; 3) penyusunan
transparansi informasi produk; 4) mempromosikan edukasi untuk konsumen.
Sesunggungnya, menjalankan MRO pada penyelenggaraan e-Banking dan menjadikannya
sebagai budaya, adalah memiliki makna yang sama dengan upaya peningkatan
perlindungan nasabah.
( *Penulis adalah Training Leader pada CTC – COMPETENCY
TRAINING CENTRE dan JFI – JAKARTA FINANCIAL INSTITUTE serta praktisi hukum di bidang Keuangan; Email : kardipakpahan@gmail.com; PIN BB : 24EC43D2 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar