Minggu, 18 Agustus 2013

Kolom Kardi Pakpahan : Prinsip Kehati-hatian pada Perusahaan Perasuransian

Prinsip Kehati-hatian  pada Perusahaan Perasuransian


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Beberapa tahun terakhir, institusi yang terkait dengan pembinaan dan pengawasan usaha pada sektor keuangan secara berkesinambungan melakukan penataan melalui beberapa paket kebijakan.  Kalau dicermati konten dari kebijakan itu, dapat dikatakan, adalah bagian dari upaya untuk menjadikan usaha sektor keuangan untuk bertumbuh dan berkembang dengan dukungan pilar yang kokoh. Lembaga finansial yang seperti itu, pada akhirnya yang dapat memberi peran yang signifikan pada kegiatan ekonomi, khususnya kepada masyarakat sebagai pihak yang menggunakan produk dan jasa berbagai perusahaan di sektor keuangan.
            Salah satu kebijakan yang dimasudkan adalah melalui kehadiran PP No.39/2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Didalam Peraturan Pemerintah (PP) tersebut dipertegas tentang pengaturan yang terkait dengan beberapa prinsip kehati-hatian atau prudential. Melalui implementasi prinsip prudential yang dimaksudkan maka diharapkan disamping dapat membuat perusahaan asuransi berdiri dengan dukungan pilar yang kokoh, juga perusahaan asuransi yang ada di sini bisa berperan dengan baik pada pasar tunggal ASEAN (Asean Economic Integration)  tahun 2015.
Beberapa ketentuan prinsip kehati-hatian yang diatur pada PP No.39/2008 akan dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, fungsi utama dalam organisasi. Berdasarkan pasal 3c PP No.39/2008, perusahaan asuransi wajib memiliki fungsi pengelolaan resiko, fungsi pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan.
Kedua, tenaga ahli.  Pada pasal 3d PP No.39/2008, disyaratkan supaya perusahaan asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi umum untuk mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahannya dalam jumlah yang cukup untuk mengelola kegiatan usahannya.
Ketiga, komisaris independen. Perusahaan asuransi, menurut pasal 3e PP No.39/2008,  harus memiliki komisaris independen, dengan tugas pokok untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis. Komisaris yang dimaksudkan bukan merupakan afiliasi pemegang saham, direksi atau komisaris  dan hanya dapat menjadi komisaris independen paling banyak pada 2 perusahaan asuransi. Ketentuan ini dapat dikatakan melengkapi ketentuan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.421/KMK.06/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatuhan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian.
Keempat,  penerapan GCG. Sama dengan usaha finansial lainnya, seperti perbankan, perusahaan asuransi, berdasarkan pasal 3g PP No.39/2008, diwajibkan melaksanakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik  atau Good Corporate Governance (GCG). Penerapan GCG pada perusahaan asuransi akan mendorong terjadinya keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran.
Kelima, larangan penempatan investasi.  Sebagian besar sumber dana pada perusahaan asuransi akan disalurkan ke instrumen investasi. Menurut pasal 13a PP No.39/2008, Perusahaan Perasuransian dilarang memberikan pinjaman kepada atau menempatkan kekayaan pada pemegang saham dan afiliasinya. Pola seperti itu pada masa lalu diduga banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi yang terhimpun dalam satu group. Sehingga kalau terjadi klaim dari tertanggung atu pemegang polis misalnya, maka  sulit mendapat pelayanan yang baik.
Keenam, modal pendirian. Sama dengan lembaga usaha keuangan lainnya, seperti perbankan, Perusahaan Asuransi juga didorong untuk meningkatkan permodalan. Pada pasal  6 PP No.39/2008 dikatakan bahwa modal disetor minimum bagi pendirian asuransi adalah Rp 100 Miliar.
Ketujuh, modal sendiri. Modal sendiri merupakan penjumlahan dari modal disetor minimum, agio saham, saldo laba, cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai surat berharga, dan selisih penilaian aktiva. Besarnya modal sendiri perusahaan asuransi, menurut pasal 6 a PP No.39/2008 adalah paling sedikit sebesar modal disetor minimum. Dengan demikian, kalau  modal sendiri berkurang karena kerugian yang besar, perusahaan asuransi yang bersangkutan  harus menambah modal.
Adapun tahapan pemenuhan modal sendiri perusahaan asuransi, berdasarkan pasal 6 B PP No.39/2008 adalah a) paling sedikit Rp 40 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2008; 2) paling sedikit sebesar Rp 70 miliar paling lambat 31 Desember 2009; 3) paling sedikit sebesar Rp 100 miliar paling lambat 31 Desember 2010.
Kedelapan, dana jaminan. Berdasarkan pasal 7 PP No.39/2008, Perusahaan Asuransi harus memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor minimum. Dana jaminan itu merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis. Melalui peningkatan modal disetor minimum, berarti besarnya dana jaminan perusahaan asuransi juga meningkat.
Efektifitas
            Masih diperlukan berbagai upaya supaya penerapan prinsip kehati-hatian pada perusahaan asuransi berlaku efektif. Sebagian dari upaya yang dimaksudkan, pertama, peningkatan modal intelektual. Dalam rangkaian  reformasi sektor keuangan, aspek modal finansial diharuskan mengalami peningkatan. Peningkatan modal finansial perusahaan asuransi bisa kurang bermakna manakala tidak diikuti dengan peningkatan modal intelektual atau human capital. Pada pasal 29 ayat 1 KMK No.426/KMK.06/2003 disebutkan :”Perusahaan Asuransi wajib menganggarkan dana untuk pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sekurang-kurangnya 5% dari jumlah biaya pegawai, Direksi dan Komisaris, untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, dan keahlian di bidang usaha perasuransian bagi karyawannya”. Oleh karena itu, dalam membangun human capital, untuk meningkatkan kinerja perusahaan asuransi, maka perlu dilakukan kegiatan pengembangan bagi seluruh SDM (Sumber Daya Manusia) sesuai dengan kebutuhan organisasi, baik SDM yang terkait dengan pelayanan, pengelolaan resiko maupun pengelolaan keuangan.
            Kedua, peraturan pelaksana. Beberapa peraturan pelaksana masih diperlukan dalam rangka menjalankan prinsip kehati-hatian pada perusahaan asuransi, seperti, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Good Corporate Governance, terutama yang terkait dengan pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.
            Ketiga, pemenuhan permodalan. Supaya perusahaan  asuransi dapat berkembang dengan baik, dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, serta  dapat menuai manfaat dari integrasi ekonomi ASEAN 2015, maka dukungan permodalan adalah sangat penting. Untuk pemenuhan permodalan pada perbankan, baik untuk bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat, sudah berjalan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan. Perusahaan asuransi sebaiknya memiliki komitmen untuk memenuhi permodalan yang ditentukan dengan berbagai upaya yang dapat dilakukan, termasuk melalui strategi  Merger, Konsolidasi atau Akuisisi.
            Keempat, pengawasan. Kinerja pengawasan yang efektif dari instansi yang terkait diperlukan untuk mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan sekaligus mendukung tercapainnya target reformasi sektor keuangan, yang karenanya bisa membuat perusahaan asuransi  kian bermakna pada kegiatan pembangunan. Karena sebagian besar kekayaan ditempatkan di pos Investasi di sisi Aktiva Neraca perusahaan asuransi, maka daftar nominatif dan rasio investasi untuk setiap instrumen, ada baiknya  diperiksana secara langsung secara berkala oleh instansi terkait sebagaimana yang diatur dalam KMK No.424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.  

 ( *Kardi Pakpahan adalah Training Leader pada JFI dan CTC, serta Praktisi Hukum di Bidang Keuangan; Alumnus Program Kekhususan Hukum Kegiatan Ekonomi, Fak. Hukum Universitas Indonesia;  E-mail = kardipakpahan@gmail.com; PIN BB = 24EC43D2   )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar