Prinsip Kehati-hatian pada Perusahaan
Perasuransian
Oleh : Kardi Pakpahan*
Beberapa
tahun terakhir, institusi yang terkait dengan pembinaan dan pengawasan usaha
pada sektor keuangan secara berkesinambungan melakukan penataan melalui
beberapa paket kebijakan. Kalau
dicermati konten dari kebijakan itu, dapat dikatakan, adalah bagian dari upaya
untuk menjadikan usaha sektor keuangan untuk bertumbuh dan berkembang dengan
dukungan pilar yang kokoh. Lembaga finansial yang seperti itu, pada akhirnya
yang dapat memberi peran yang signifikan pada kegiatan ekonomi, khususnya
kepada masyarakat sebagai pihak yang menggunakan produk dan jasa berbagai perusahaan
di sektor keuangan.
Salah
satu kebijakan yang dimasudkan adalah melalui kehadiran PP No.39/2008 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Didalam Peraturan Pemerintah (PP) tersebut
dipertegas tentang pengaturan yang terkait dengan beberapa prinsip
kehati-hatian atau prudential.
Melalui implementasi prinsip prudential
yang dimaksudkan maka diharapkan disamping dapat membuat perusahaan asuransi
berdiri dengan dukungan pilar yang kokoh, juga perusahaan asuransi yang ada di
sini bisa berperan dengan baik pada pasar tunggal ASEAN (Asean Economic Integration) tahun 2015.
Beberapa ketentuan prinsip kehati-hatian yang
diatur pada PP No.39/2008 akan dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, fungsi utama dalam organisasi.
Berdasarkan pasal 3c PP No.39/2008, perusahaan asuransi wajib memiliki fungsi
pengelolaan resiko, fungsi pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan.
Kedua,
tenaga ahli. Pada pasal 3d PP
No.39/2008, disyaratkan supaya perusahaan asuransi, baik asuransi jiwa maupun
asuransi umum untuk mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahannya
dalam jumlah yang cukup untuk mengelola kegiatan usahannya.
Ketiga, komisaris independen. Perusahaan
asuransi, menurut pasal 3e PP No.39/2008,
harus memiliki komisaris independen, dengan tugas pokok untuk menyuarakan
kepentingan pemegang polis. Komisaris yang dimaksudkan bukan merupakan afiliasi
pemegang saham, direksi atau komisaris dan hanya dapat menjadi komisaris independen
paling banyak pada 2 perusahaan asuransi. Ketentuan ini dapat dikatakan melengkapi
ketentuan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.421/KMK.06/2003 tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatuhan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian.
Keempat, penerapan
GCG. Sama dengan usaha finansial lainnya, seperti perbankan, perusahaan asuransi,
berdasarkan pasal 3g PP No.39/2008, diwajibkan melaksanakan prinsip tata kelola
perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG). Penerapan GCG pada perusahaan
asuransi akan mendorong terjadinya keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
independensi dan kewajaran.
Kelima, larangan penempatan investasi. Sebagian besar sumber dana pada perusahaan
asuransi akan disalurkan ke instrumen investasi. Menurut pasal 13a PP
No.39/2008, Perusahaan Perasuransian dilarang memberikan pinjaman kepada atau
menempatkan kekayaan pada pemegang saham dan afiliasinya. Pola seperti itu pada
masa lalu diduga banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi yang terhimpun dalam
satu group. Sehingga kalau terjadi klaim dari tertanggung atu pemegang polis misalnya,
maka sulit mendapat pelayanan yang baik.
Keenam, modal pendirian. Sama dengan lembaga
usaha keuangan lainnya, seperti perbankan, Perusahaan Asuransi juga didorong
untuk meningkatkan permodalan. Pada pasal 6 PP No.39/2008
dikatakan bahwa modal disetor minimum bagi pendirian asuransi adalah Rp 100
Miliar.
Ketujuh,
modal sendiri. Modal sendiri merupakan penjumlahan dari modal disetor minimum,
agio saham, saldo laba, cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan
nilai surat berharga, dan selisih penilaian aktiva. Besarnya modal sendiri
perusahaan asuransi, menurut pasal 6 a PP No.39/2008 adalah paling sedikit
sebesar modal disetor minimum. Dengan demikian, kalau modal sendiri berkurang karena kerugian yang
besar, perusahaan asuransi yang bersangkutan harus menambah modal.
Adapun tahapan pemenuhan modal
sendiri perusahaan asuransi, berdasarkan pasal 6 B PP No.39/2008 adalah a)
paling sedikit Rp 40 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2008; 2) paling
sedikit sebesar Rp 70 miliar paling lambat 31 Desember 2009; 3) paling sedikit
sebesar Rp 100 miliar paling lambat 31 Desember 2010.
Kedelapan, dana jaminan. Berdasarkan pasal 7 PP
No.39/2008, Perusahaan Asuransi harus memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya 20%
dari modal disetor minimum. Dana jaminan itu merupakan jaminan terakhir dalam
rangka melindungi kepentingan pemegang polis. Melalui peningkatan modal disetor
minimum, berarti besarnya dana jaminan perusahaan asuransi juga meningkat.
Efektifitas
Masih
diperlukan berbagai upaya supaya penerapan prinsip kehati-hatian pada
perusahaan asuransi berlaku efektif. Sebagian dari upaya yang dimaksudkan, pertama, peningkatan modal intelektual. Dalam
rangkaian reformasi sektor keuangan,
aspek modal finansial diharuskan mengalami peningkatan. Peningkatan modal
finansial perusahaan asuransi bisa kurang bermakna manakala tidak diikuti
dengan peningkatan modal intelektual atau human
capital. Pada pasal 29 ayat 1 KMK No.426/KMK.06/2003 disebutkan :”Perusahaan Asuransi wajib menganggarkan dana
untuk pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sekurang-kurangnya 5% dari jumlah
biaya pegawai, Direksi dan Komisaris, untuk meningkatkan ketrampilan,
pengetahuan, dan keahlian di bidang usaha perasuransian bagi karyawannya”.
Oleh karena itu, dalam membangun human
capital, untuk meningkatkan kinerja perusahaan asuransi, maka perlu
dilakukan kegiatan pengembangan bagi seluruh SDM (Sumber Daya Manusia) sesuai
dengan kebutuhan organisasi, baik SDM yang terkait dengan pelayanan,
pengelolaan resiko maupun pengelolaan keuangan.
Kedua, peraturan pelaksana. Beberapa
peraturan pelaksana masih diperlukan dalam rangka menjalankan prinsip
kehati-hatian pada perusahaan asuransi, seperti, Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) tentang Good Corporate Governance,
terutama yang terkait dengan pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan
direksi.
Ketiga, pemenuhan permodalan. Supaya
perusahaan asuransi dapat berkembang
dengan baik, dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, serta dapat menuai manfaat dari integrasi ekonomi
ASEAN 2015, maka dukungan permodalan adalah sangat penting. Untuk pemenuhan
permodalan pada perbankan, baik untuk bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat,
sudah berjalan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan. Perusahaan asuransi
sebaiknya memiliki komitmen untuk memenuhi permodalan yang ditentukan dengan
berbagai upaya yang dapat dilakukan, termasuk melalui strategi Merger, Konsolidasi atau Akuisisi.
Keempat, pengawasan. Kinerja pengawasan yang
efektif dari instansi yang terkait diperlukan untuk mendukung pelaksanaan prinsip
kehati-hatian dan sekaligus mendukung tercapainnya target reformasi sektor
keuangan, yang karenanya bisa membuat perusahaan asuransi kian bermakna pada kegiatan pembangunan. Karena
sebagian besar kekayaan ditempatkan di pos Investasi di sisi Aktiva Neraca perusahaan
asuransi, maka daftar nominatif dan rasio investasi untuk setiap instrumen, ada
baiknya diperiksana secara langsung
secara berkala oleh instansi terkait sebagaimana yang diatur dalam KMK
No.424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi.
( *Kardi Pakpahan adalah Training Leader pada JFI dan CTC, serta Praktisi Hukum di Bidang
Keuangan; Alumnus Program Kekhususan Hukum Kegiatan Ekonomi, Fak. Hukum Universitas Indonesia; E-mail = kardipakpahan@gmail.com;
PIN BB = 24EC43D2 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar