Menyoal Kebijakan di Bidang Industri
(Perlu, Mendukung Kestabilan Usaha Finansial)
Oleh : Kardi Pakpahan*
Sejatinya supaya dapat memberikan dampak
yang signifikan kepada kegiatan pembangunan, sudah semestinya terjadi
kesetimbangan pada kegiatan Pertanian sebagai bidang usaha primer dengan
kegiatan industri sebagai bidang usaha
sekunder, dan Kegiatan usaha jasa sebagai bidang usaha tersier, seperti
kegiatan usaha jasa finansial, baik bank maupun non bank. Apapun jenis bidang usahanya, aspek finansial
sangat perlu, ia bagai kaki meja yang keempat. Oleh karena itu, sangat
diperlukan pertumbuhan dan perkembangan usaha finansial dengan tingkat
kestabilan yang terkendali, termasuk tentunya dari bidang industri.
SEKTOR atau bidang Industri memiliki arti
yang penting dan strategis dalam pembangunan, baik untuk saat ini maupun pada
masa yang akan datang. Ada beberapa alasan dikatakan demikian, sebagian di
antaranya akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, pemulihan dari gejolak krisis ekonomi. Kegiatan
pembangunan di sektor industri dapat digunakan sebagai bagian yang penting
dalam upaya pemulihan ekonomi dan menjaga kestabilan kegiatan ekonomi. Dikatakan
demikian, dikarenakan kegiatan dalam bidang industri membutuhkan bergeraknya
serta masuknya kegiatan investasi, terutama investasi langsung (direct investment). Lazimnya kegiatan
investasi, disamping dapat meningkatkan akselerasi dalam pencapaian tujuan
pembangunan, juga menghasilkan multiplier effect, seperti penyerapan
tenaga kerja.
Kedua, meningkatkan pendapatan negara. Aktivitas kegiatan
usaha di berbagai sektor industri bisa meningkatkan pendapatan negara, yang
dipergunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan. Kontribusi pendapatan negara
dari sektor industri dapat dikatakan relatif besar, termasuk produk industri
untuk tujuan ekspor. Dengan demikian,
pembenahan yang lebih baik di sektor industri, disamping dapat memulihkan dan
menjaga kestabilan kegiatan ekonomi, juga bisa meningkatkan perolehan devisa
bagi negara, baik melalui instrumen tata niaga ekspor, implementasi perpajakan
maupun melalui instrumen lainnya.
Ketiga,
meningkatkan daya saing. Bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya,
khususnya dengan negara yang ada di Asia Pasifik, daya saing negara kita masih
termasuk lemah. Jika sektor industri
bisa diberdayakan dan dikembangkan, maka akan besar artinya dalam upaya
membangun daya saing negara kita.
Keempat, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun tahun terakhir ini masih
berada pada ukuran yang rendah. Melalui pembenahan sektor industri nasional,
akan cenderung meningkatkan nilai dan volume ekspor dan menekan nilai dan
volume impor. Volume dan nilai ekspor yang semakin meningkat, pada akhirnya
akan bisa berpengaruh positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Kelima, meningkatkan pendapatan
perkapita. Lazimnya, kegiatan industri,
akan mampu mendorong eskalasi pendapatan perkapita, yang pada akhirnya dapat
mendorong kian tingginya kualitas kehidupan masyarakat.
Arah Kebijakan
Tak dapat dipungkiri,
kebijaksanaan sektor industri pada masa lalu, khususnya selama rezim orde baru,
banyak yang kurang sepadan dengan upaya pengembangan industri nasional.
Misalnya saja, pengembangan industri pesawat terbang, yang telah menelan mega
dana dalam beberapa tahun , belum membuahkan hasil yang signifikan dalam
pembangunan.
Contoh lain dari kebijaksanaan industri pada masa
lalu yang kurang mendukung pada pengembangan industri nasional adalah industri
pembuatan mobil nasional (mobnas), yang diatur melalui Keppres No. 42/1996.
Pembuatan mobnas,, disamping diduga tidak melaksanakan ketentuan program
pembuatan mobnas yang sebenarnya, juga disinyalir sarat dengan dugaan praktek
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan dugaan pelanggaran hukum perpajakan.
Akhirnya, kebijakan pembuatan mobnas itu tidak membuahkan hasil bagi
pembangunan nasional, dan keberadaan Keppres No. 42/1996 telah dinyatakan tidak
berlaku lagi melalui Keppres No. 20/1998.
Kebijaksanaan sektor industri pada masa lalu,
khususnya selama rezim orde baru, menggunakan pendekatan Broad Base Spectrum (BBS). Prioritas BBS didasarkan atas pencapaian
peningkatan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan tenaga kerja seoptimal atau
semurah mungkin dan upaya yang dilakukan menggerakan sektor industri bertumpu
pada pemasukan devisa sebanyak mungkin (melalui ekspor) untuk kepentingan
pembangunan nasional, termasuk
memperkuat struktur industri yang dirasa masih lemah.
Benar memang pendapat yang menyatakan bahwa Kebijakan
BBS mungkin tepat pada masa lalu, dimana sumber daya nasional memadai atau
stabil, sedang globalisasi dan persaingan belum menggejala. Namun, dengan
semakin tajamnya persaingan perdagangan dunia dan maraknya isu globalisasi,
seperti melalui implementasi APEC, AFTA, WTO, perlu dilakukan perubahan
kebijakan. Mengingat hal tersebut, maka pendekatan kebijakan BBS yang telah
diimplementasikan beberapa waktu yang lalu, perlu digantikan dengan kebijakan
baru yang menggunakan pendekatan klaster industri, yaitu pengelompokan industri
yang saling terkait intensif secara vertikal dan horizontal, serta merupakan
aglomerasi perusahaan-perusahaan yang membentuk positive partnership,
baik dengan supporting industry
maupun related industry. Sedangkan
manfaat dari kluster industri adalah untuk mendorong keunggulan komparatif
menjadi keunggulan kompetitif, yaitu dengan cara meningkatkan efisiensi,
mengurangi biaya transportasi dan transaksi, memanfaatkan aset sumber daya
untuk mendorong diversifikasi produk dan meningkatkan terciptanya inovasi.
Mengingat masih diperlukannya kebijakan baru di
sektor industri, maka diperlukan pengkajian terhadap berbagai kebijakan
industri yang ada saat ini. Kebijakan yang masih relevan diteruskan, dan jika
sebaliknya perlu direvisi dan/atau memformulasikan kebijakan yang baru. Proses
formulasi kebijaksanaan di sektor industri, disamping bertujuan untuk
merealisasikan akselerasi tujuan-tujuan pembangunan nasional yang diharapkan
dari sektor industri, juga perlu untuk keperluan kualitas pelaksanaan otonomi
daerah, sebagaimana telah diatur pada UU No.22/1999.
Pada era pelaksanaan otonomi daerah, institusi
pemerintah pusat yang terkait dengan sektor industri, seperti instansi Menteri
Perindustrian, sangat besar peranannya
pada aspek kekuasaan pembuatan atau formulasi kebijaksanaan (policy making
power), sedangkan proses budget allocation dan proses perizinan di
sektor industri sudah sebaiknya dialihkan ke Pemerintah Daerah. Hanya saja,
Pemerintah Daerah perlu mempersiapkannya secara baik, supaya bisa melahirkan
akselerasi dalam kegiatan usaha atau investasi di bidang industri.
Proses formulasi pembuatan kebijakan di sektor
industri adalah termasuk dalam
wilayah kebijakan publik. Oleh
karenanya, berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan di sektor industri haruslah
memperhatikan kepentingan publik atau kedaulatan masyarakat banyak. Sedangkan
produk-produk kebijakan publik di sektor industri, dapat diwujudkan dalam
bentuk Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Pemerintah (PP), Undang-undang
maupun bentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan.
Formulasi kebijakan di sektor industri supaya
berdampak positif dan efektif terhadap tujuan pembangunan nasional, haruslah
dipersiapkan secara baik. Untuk itu, pembuatan kebijaksanaan (publik) yang baik
disektor industri perlu memperhatikan lima hal berikut ini.
Pertama,
pembuatan kebijakan di sektor industri haruslah bisa mengakomodir seluruh
peserta atau komponen dan pelaku perindustrian dalam perencanaan. Formulasi
atau pembuatan kebijaksanaan sektor industri yang berfokus demi kepentingan keluarga penguasa, kroni
penguasa, seperti kerap terjadi di rezim orde baru, sudah tidak tepat lagi saat
ini. Bila hal-hal seperti itu masih
terjadi, maka cenderung terjadi perlambatan dalam pencapaian tujuan-tujuan
pembangunan di sektor industri, padahal sebagai konsekuensi dari rencana
implementasi liberalisasi perdagangan dan investasi, serta untuk pemulihan ekonomi
dari dampak krisis yang dibutuhkan adalah percepatan atau akselerasi. Oleh
karena, itu pembuatan kebijakan publik di bidang industri yang berorientasi
kepada kepentingan kroni penguasa atau penguasa tertentu haruslah dihindari.
Kedua,
pengembangan sumber daya manusia. Supaya
kebijakan di bidang industri dapat efektif terhadap pencapaian tujuan
pembangunan, maka perlu melaksanakan pengembangan sumber daya manusia, baik
pada institusi yang menformulasikan kebijakan maupun pada institusi yang
melaksanakan dan mengawasi kebijakan itu. Pengembangan SDM ini, perlu juga
diikuti dengan pembenahan institusi yang terkait langsung maupun tidak
langsung. Dengan demikian,
hambatan-hambatan yang mungkin ada pada suatu institusi berarti dapat
dihindari.
Ketiga, pendekatan holistik atau
tinjauan lintas sektoral. Formulasi kebijakan di bidang industri haruslah
menggunakan pendekatan holistik atau tinjauan lintas sektoral. Artinya,
kebijakan di bidang industri perlu memperhatikan beberapa aspek sekaligus,
seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik.
Keempat, implementasi kebijakan. Pada
tataran pelaksanaan kebijakan di bidang industri haruslah diikuti dengan
koordinasi, sinkronisasi, dan konsistensi oleh institusi-institusi yang
terkait, seperti Menteri Perindustrian,
Menteri Perdagangan, Menteri
Pertanian, Menteri Tenaga Kerja, BPKM/BKPMD, Menteri Keaungan, Menteri Perekonomian,
unsur Pemerintahan Daerah terkait, BI (Perbankan).
Kelima, pelaksanaan fungsi pengawasan,
evaluasi dan law enforcement. Fungsi pengawasan, evaluasi dan law
enforcement pada kebijakan di bidang
industri memiliki arti yang penting dalam upaya mengefektifkan kebijakan
terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang diharapkan. Fakta empirik menyatakan,
lemahnya pengawasan, evaluasi maupun law
enforcement terhadap sebuah kebijakan di bidang industri pada masa lalu,
seperti kebijakan mobnas dan beberapa kebijakan di bidang industri lainnya,
membuat kebijakan-kebijakan itu tidak bisa berpengaruh positif terhadap
pencapaian tujuan pembangunan, malahan diantaranya ada yang sampai berpengaruh
secara negatif.
Keenam, upaya kemitraan. Untuk mendukung
pertumbuhan dan sekaligus pemerataan serta dapat menjadi kondusif pada
implementasi kebijakan peningkatan pendapatan negara, termasuk dalam menekan eskalasi
pinjaman luar negeri/penerbitan Surat Utang Negara, dan termasuk melalui penerapan kebijakan fiskal
yang efektif, maka kebijakan industri dalam format klaster sudah sepantasnya
mengakomodir untuk dapat melahirkan sembiosa mutualisma (kemitraan) di bidang
usaha yang terlibat, baik antara usaha besar, menengah dan kecil pada satu atau
lebih klaster industri. Seperti kemitraan yang terpola pada industri otomotif
di Jepang, antara pelaku industri utama dan pendukung, seperti penyedia suku
cadang sudah berada rantai nilai yang baik dan serasi .
Akhirnya,
supaya kebijakan di bidang industri semakin bermakna bagi kegiatan pembangunan
nasional, khususnya dalam mendukung kestabilan kegiatan ekonomi, termasuk
tentunya kelangsungan usaha finansial, maka perlu juga didukung dengan
deregulasi dan debirokratisasi kegiatan investasi serta dukungan dari
pengembangan teknologi oleh institusi terkait yang dapat dipergunakan untuk
kegiatan industri.
( *Penulis adalah Alumnus FHUI, Training
Leader pada JFI dan CTC, serta Praktisi Hukum di Bidang Keuangan. Email = kardipakpahan@gmail.com; PIN BB = 24EC43D2 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar