Selasa, 10 November 2020

Sisi Kontrol dalam SOP Tabungan Bank (Berangkat dari Kasus Maybank-Winda Lunardi)

 Catatan Perbankan :

Sisi Kontrol dalam SOP Tabungan Bank
(Berangkat dari Kasus Maybank-Winda Lunardi)

Oleh : Kardi Pakpahan*


                Salah satu simpul informasi yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini adalah masalah tabungan Winda Lunardi di Maybank Cipulir. Sudah banyak informasi yang mengalir di media massa untuk memberitakan kasus tersebut. Kasus tersebut perlu dicermati dari sisi Kontrol dalam SOP Tabungan Bank yang lazim berlaku. Perlu dikedepankan, sebelum member izin operasional pembukaan kantor cabang bank, biasanya otoritas pengawasan dan pembinaan  perbankan, seperti OJK, sudah memastikan kecukupan sistem operasional prosedur (SOP), termasuk SOP tabungan bank.

   

                Apa saja substansi sisi control dalam SOP tabungan bank ? Pertama, pemisahan fungsi.  Berdasarkan SOP tabungan pada perbankan tak mungkin pembukaan rekening tabungan dilakukan satu orang petugas. Pembukaan rekening tabungan dilakukan mulai dari identifikasi dan verifikasi informasi serta dokumen nasabah pada Customer Service (CS), baik nasabah umum maupun nasabah prioritas.  Ada standar informasi yang harus diterima CS dalam penerimaan nasabah, antara lain namun tidak terbatas pada : a) Nama; b) alamat; c) Nomor Identitas; d) Nomor Telp; e) Pekerjaan; f) Sumber Dana; g) Penghasilan Rata-rata; h) tujuan pembukaan rekening. Pada prinsipnya 3 fungsi formulir penerimaan nasabah di awal pembukaan rekening tabungan, yaitu untuk mendapatkan nomor rekening; Customer Identification File (CIF) – yaitu data yang diperlukan untuk masuk ke aplikasi atau sistem bank; untuk kepentingan identifikasi dan verifikasi KYC (Know Your Customer) atau pelaksanaan APU & PPT (Anti Pencucian Uang & Pencegahan Pendanaan Terorisme).

                Ketika dalam identifikasi dan verifikasi pada proses pembukaan rekening, nasabah misalnya belum bekerja, karena status nasabah adalah  mahasiswa atau ibu rumah tangga, maka lazimnya CS melakukan identifikasi dan verifikasi BO (Beneficial Owner), yaitu pengendali transaksi, dan mengisi form BO pada formulir pembukaan rekening. Disamping, melakukan identifikasi dan verifikasi informasi atau data penabung, CS juga melakukan identifikasi dan verifikasi dokumen nasabah seperti identitas dan contoh tanda tangan nasabah serta membuat dokumentasi foto nasabah pada aplikasi Bank.

                Lazimnya, kalau produk tabungan murni untuk investasi atau kegiatan kantor, ada juga nasabah yang tidak memerlukan ATM. Biasanya ATM dalam produk tabungan adalah bersifat fakultatif, jadi tidak imperatif.

                Administrasi transaksi tabungan pada CS adalah Formulir Pembukaan Tabungan; Foto Copy KTP; Surat Kuasa (jika ada);   Persedian : Form, Kartu Contoh Tanda Tangan, buku tabungan, slip setoran dan penarikan.  Kalau  penerbitan buku Tabungan pada suatu bank diwajibkan sebagai tanda penggunaan produk bank, maka CS musti proaktif menghubungi nasabah penabung untuk mengambil buku tabungan atau mengantar buku tabungan ke alamat nasabah jika nasabah belum memperolehnya ketika membuka rekening tabungan.

                Fungsi lain dalam SOP Tabungan adalah Teller, Kepala Bagian/Pimpinan Cabang, Internal Audit. Teller akan melakukan transaksi keuangan setoran dan penarikan tabungan. Untuk transaksi keuangan pada Teller, sekaligus menjadi bagian dari kontrol, ada limit Teller, misalnya untuk penarikan tabungan dalam jumlah tertentu diwajibkan Teller  otorisasi kepada kepala bagian atau pimpinan cabang bank. Sebelum Teller menerima setoran atau melayani penarikan tabungan, wajib verifikasi nasabah yang melakukan transaksi, termasuk dengan verifikasi slip dan tandatangan,  penggunaan surat kuasa, harus terlebih dahulu  diverifikasi sebelum transaksi dilakukan. Jika Teller menerima setoran tunai dalam jumlah minimal Rp 500 juta, segera menyampaikan informasi terkait kepada unit kerja APU & PPT supaya dibuat Laporan Transaksi Keuangan Tunai  kepada PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan), begitu juga ketika Teller menemukan adanya transaksi keuangan yang tidak sesuai dengan profi atau karakteristik atau kebiasaan nasabah penabung, maka Teller menyampaikan informasi terkait kepada unit kerja APU dan PPT supaya dimasukkan dalam Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.

                Aspek Administrasi  tabungan pada Teller adalah Kartu Contoh Tanda Tangan atau spesimen tanda tangan, Laporan-laporan (seperti blokir Tabungan).

                Setelah transaksi tabungan selesai dilakukan melalui Teller, baik masih pakai manual dan/atau dengan sistem, maka selanjutnya seluruh transaksi Teller akan diverifikasi oleh Kepala Bagian (Kabag) atau atasan Teller, dan terakhir di sore hari sebelum berakhir hari kerja (end of day), seluruh transaksi keuangan tabungan setelah diverifikasi Kabag/Pimpinan Cabang, maka selanjutnya akan diverifikasi oleh Internal Audit sekaligus mendokumentasikan slip/dokumen transaksi keuangan Tabungan, baik penyetoran atau penarikan.

                Kedua, slip transaksi keuangan bernomor. Slip transaksi keuangan, baik penarikan maupun penyetoran,  pada Tabungan dibuat bernomor. Dengan demekian, kecil kemungkinan dipalsukan.  

                Ketiga, verifikasi tanda tangan. Verifikasi penerimaan nasabah dilakukan CS dengan verifikasi tanda tangan, begitu juga ketika pelayanan transaksi keuangan Tabungan di Teller, juga diverifikasi lewat tanda tangan.

                Keempat, konfirmasi Saldo.  Pada seluruh jaringan kantor bank terkait, seperti melalui pencetakan pada buku tabungan atau pencetakan Rekening Koran atau melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri), dapat dilakukan konfirmasi saldo tabungan.

                Kelima, laporan-laporan. Sehubungan transaksi tabungan pada suatu bank, ada beberapa laporan, seperti Laporan Daftar Nominatif Tabungan, Laporan Profil Resiko Penabung, Laporan Resiko Operasional Tabungan, dan lain-lain. Tentu, seluruh laporan-laporan tersebut dapat dilakukan untuk control pada SOP Tabungan.

                Keenam, fungsi Internal Audit atau Internal Control. Dari fungsinya Internal Audit atau Internal Control memiliki fungsi yang penting dan strategis pada SOP Tabungan. Oleh karena itu, fungsi unit kerja ini harus berlangsung pada seluruh jaringan kantor Bank terkait.

                Ketujuh, pengkinian data. Seluruh nasabah penabung lazimnya akan dikelompokkan pada 3 tingkatan resiko, yaitu resiko rendah, resiko menengah dan resiko tinggi. Biasanya untuk mengetaui tingkat resiko nasabah terkini dilakukan pengkinian data. Pengkinian data nasabah berisiko tinggi biasanya dilakukan per 6 bulan, untuk pengkinian data nasabah berisiko menengah biasanya dilakukan per 12 bulan, sedangkan pengkinian data nasabah penabung besiko rendah dilakukan per 18 bulan.

                Berangkat dari sisi kontrol SOP Tabungan dan dikaitkan dengan kasus Maybank-Winda Lunardi, maka dapat dikatakan diduga seluruh sisi kontrol pada SOP Tabungan belum sepenuhnya diterapkan. Sehingga untuk masa berikutnya, ada baiknya seluruh sisi kontrol pada SOP Tabungan perlu dilaksanakan. Dikatakan demikian, karena hal tersebut juga merupakan bagian dari perlindungan nasabah atau konsumen perbankan. Semoga.

(*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Trainer Perbankan) 

Senin, 19 Oktober 2020

Mengantisipasi Resiko Hukum pada Pelaksanaan Lelang Pasal 6 UUHT bagi Perbankan

 

Catatan Hukum :

Mengantisipasi Resiko Hukum pada Pelaksanaan
Lelang Pasal 6 UUHT bagi Perbankan

Oleh : Kardi Pakpahan*

          Pelaksanaan lelang dengan menggunakan ketentuan pasal 6 Undang-undang No.4/1996 hak tanggungan, yang disebut juga Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) merupakan salah satu pilihan utama dalam recovery atau penyelesaian kredit bermasalah bagi perbankan dikarenakan prosesnya yang lebih praktis, siderhana, sistematis, transparan dan ekonomis. Adapun ketentuan pasal 6 UUHT yang dimaksudkan :”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

          Adapun prosedur atau tata cara pelaksanaan dan persyaratan lelang pasal 6 UUHT diatur di dalam beberapa peraturan pelaksana, seperti 1) Peraturan Direktorat Kekayaan Negara No.2/KN/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang; 2) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 27/PMK.06/2016  tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang; 3) PMK No.90/PMK.06/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang dengan Penawaran secara Tertulis tanpa Kehadiran Peserta Lelang melalui internet.

          Dari peraturan pelaksana tersebut, ada beberapa syarat lelang pasal 6 UUHT. Syarat-syarat tersebut sebaiknya dipersiapkan secara baik pada periode pra lelang supaya dapat mengantisipasi resiko hukum, baik secara perdata maupun secara pidana.

          Resiko hukum bagi perbankan merupakan   resiko akibat tuntutan hukum dan atau kelemahan aspek yuridis. Adapun sumber resiko hukum terjadi dikarenakan kelemahan aspek yuridis yang disebabkan oleh lemahnya perikatan, ketiadaan dan/atau perubahan peraturan perundang-undangan, yang menyebabkan suatu transaksi yang telah dilakukan perbankan menjadi tidak sesuai dengan ketentuan yang akan ada, dan proses litigasi baik yang timbul dari gugatan pihak ketiga terhadap perbankan  maupun perbankan dengan pihak Ketiga, dan kemungkinan adanya laporan perkara pidana yang ditujukan pihak ketiga kepada komisaris, direksi maupun perbankan karena diduga telah melakukan delik pidana.

          Salah satu syarat pada pelaksanaan lelang pasal 6 UUHT misalnya Surat Peringatan atau Somasi dari Bank kepada Debitur, yang biasanya dituangkan dalam Surat Peringatan I, II dan III. Pada surat peringatan itu tidak sekedar menyampaikan total tunggakan atau kewajiban nasabah. Pada pasal 20 ayat 1e UUHT dikatakan :”Apabila Debitor cidera janji, maka berdasarkan : hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT”.

          Pada Surat Peringatan dalam rangka pelaksanaan lelang pasal 6 UUHT, sesuai dengan pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)  Debitur haruslah dinyatakan oleh Bank telah lalai atau cidera janji atau dinyatakan telah wanprestasi. Beginilah ketentuan pasal 1243 KUHPer selengkapnya :” :”Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila Debitur, walapun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”. Untuk membuktikan bahwa Debitur telah lalai atau wanprestasi Bank atau Kreditur harus menyatakan Debitur telah wanprestasi secara tertulis terlebih dahulu, yang lazimnya dituangkan dalam surat peringatan. Dengan demikian, surat peringatan yang menyatakan bahwa debitur telah wanprestasi harus sampai kepada Debitur.

          Bagaimana seadannya permohonan lelang pasal 6 UUHT belum memenuhi surat peringatan sesuai ketentuan yang berlaku (Vide : pasal 6 UUHT jo 1243 KUHPer) ? Maka permohonan lelang atau penetapan jadual lelang seharusnya belum dapat dilakukan KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang).

          Bagaimana jika Penetapan lelang pasal 6 UUHT sudah ditetapkan  oleh KPKNL padahal belum memenuhi surat peringatan tersebut dari Bank kepada Debitur ? Dalam hal ini, Debitur terbuka menyampaikan keberatan kepada KPKNL supaya pelaksanaan lelang tidak dilaksanakan. Karena pada surat penetapan lelang kepada Bank, biasanya pernyataan ini dari KPKNL disampaikan  :”Meskipun jadwal lelang sudah ditetapkan, namun lelang dapat tidak dilaksanakan, apabila tidak memenuhi legalitas formal subyek atau obyek lelang karena terdapat perbedaan data pada dokumen lelang ataupun ada sebab lain yang ditemukan setelah evaluasi detail terhadap persyaratan lelang”.

          Dalam pada itu, terbuka juga Debitur mengajukan permohonan blokir sertifikat kepada Kantor Pertanahan/BPN makakala ada syarat lelang, seperti Surat Peringatan yang belum memenuhi persyaratan tersebut, sebagaimana yang diatur pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPNRI No.13/2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita, sehingga Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) tidak dikeluarkan BPN dalam rangka lelang pasal 6 UUHT. Dan yang memberitahukan Setelah pencatatan blokir disahkan adalah Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang mempunyai tugas di bidang hubungan hukum keagrariaan secara tertulis melalui surat resmi kepada pemohon blokir dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan secara patut (Vide : pasal 12 ayat 5 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPNRI No.13/2017).

          Pertanyaan berikutnya, lelang pasal 6 UUHT sudah dilaksanakan dan sudah ada pemenang lelang, dalam konteks persyaratan lelang, tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Surat Peringatan tidak memenuhi persyaratan seperti yang diatur pada pasal 1243 KHUPer. Dalam hal demikian Debitur terbuka melakukan upaya hukum perdata, melalui gugatan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad  (Vide : pasal 1365 KUHPer).

             Dalam pada itu, dalam menghadapi hal tersebut untuk memulihkan rasa keadilan, Debitur terbuka juga menempuh upaya hukum Pidana dengan membuat Laporan Polisi adanya dugaan tindak pidana seperti yang diatur pada pasal 49 ayat 2 hurif b UU No.10/1998 yang menyatakan :”Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pegawai Bank yang dengan sengaja  tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 5 Milyar paling banyak Rp 100 miliar”.

             Mengingat hal tersebut, maka pada masa pra lelang pasal 6 UUHT, salah satu hal yang perlu dipersiapkan oleh Bank adalah Surat Peringatan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(*Penulis adalah Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

#LelangPasal6UUHT    #Blokiir    #TundaLelang    #ResikoHukum    #PMH    #SanksiPidana

Minggu, 13 September 2020

Catatan Hukum : Konsekuensi Tergugat Meninggal Dunia sebelum Tahap Kesimpulan pada Perkara Perdata

 Cacatan Hukum :

Konsekuensi  Tergugat Meninggal Dunia  sebelum
Tahap Kesimpulan pada Perkara Perdata



Oleh : Kardi Pakpahan*

          Pada Hukum Acara Perdata sudah dikedepankan  serangkaian tahapan hingga sampai pada tahap putusan, mulai dari pengajuan gugatan, pemanggilan para pihak, pelaksanaan mediasi, pembacaan gugatan, jawaban, Replik, Duplik, Pembuktian, Kesimpulan.  Salah satu kemungkinan terjadinya sebuah peristiwa hukum pada tahapan gugatan adalah kemungkinan meninggalnya Tergugat sebelum tahap Kesimpulan. Sengaja dikedepankan sebelum tahapan kesimpulan pada tulisan ini, karena tahap itu sudah  termasuk bagian akhir dari sebuah perkara perdata, karena sesudahnya akan memasuki tahap putusan perkara.

          Sebelum sampai tahap kesimpulan pada perkara perdata biasanya sudah melampaui waktu sekitar 5 sampai dengan 8 bulan, dan lazimnya sumber dana yang digunakan Penggugat, selaku pihak yang dirugikan atau yang merasa haknya dilanggar, pada sebuah perkara perdata, baik pada pokok perkara ingkar janji (wanprestasi) maupun perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)  dan juga pihak Tergugat, baik untuk membayar jasa hukum Advokat, maupun menghadirkan saksi-saksi, baik saksi fakta maupun saksi ahli,  sudah relatif besar.

          Untuk menjawab konsekuensi jika Tergugat meninggal dunia sebelum masuk ke tahap kesimpulan, tentu pihak-pihak terkait dengan perkara harus memahami dan menerapkan seluruh kaidah hukum yang berlaku pada domain Hukum Acara Perdata, seperti HIR/RIB, RBg, Rv, Undang-undang (UU) tentang Mahkamah Agung, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), UU Perkawinan, UU Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Yurisprudensi, doktrin.

          Misalnya saja, pada yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No.322/K/SIP/1971 menyebutkan :”Dalam hal sebelum  perkara diputuskan, Tergugatnya meninggal dunia, haruslah ditentukan terlebih dahulu siapa-siapa yang  menjadi ahli warisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan itu diteruskan, karena bila tidak, putusannya tidak dapat dilaksanakan”.

          Dalam bukunya M. Yahya Harahap, SH, Hukum Acara Perdata (2005, 131-132) menyebutkan :”Meninggalnya salah satu pihak, tidak mengakhiri maupun menggugurkan gugatan. Pemeriksaan berjalan terus, sampai sengketa dapat dituntaskan penyelesaiannya. Tergugat meninggal dunia, digantikan oleh Ahli warisnya. Apabila pihak Tergugat meninggal selama proses persidangan berlangsung seperti  pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri….maka kedudukan Tergugat digantikan oleh ahli warisnya. Peralihan penggantian itu berdasarkan titel umum, oleh karena itu terjadi dengan sendirinya menurut hukum. Berarti penggantian kedudukan tersebut, tidak memerlukan persetujuan dari Penggugat, sebab tampilnya ahli waris menggantikan pewaris sebagai Tergugat bukan merupakan hak, tetapi kewajiban hukum bagi ahli waris yang bersangkutan. Dengan demikian Penggugat tidak perlu memperbaiki atau memperbaharui (renewal) gugatan”.

          Salah satu contoh  Yurisprudensi, yang diperiksa dan diputuskan sebelum tahap Kesimpulan dalam perkara perdata  adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 904/Pdt.G/2007. Kedudukan Tergugat I yang meninggal dunia dalam gugatan tersebut digantikan oleh para ahli warisnya, setelah lebih dulu dilakukan panggilan kepada ahli waris dari Tergugat I.

          Urgensi penggantian Tergugat (asal) yang meninggal oleh ahli warisnya, karena lazimnya ganti rugi atau obyek sengketa pada gugatan adalah menjadi bagian dari atau budle warisan atau obyek warisan. Dalam pada itu, baik dalam pokok gugatan wanprestasi, seperti yang diatur pada pasal 1243 KUHPer yang menyebutkan :”Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”, maupun  pokok gugatan perbuatan melawan hukum, seperti yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyebutkan :”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”, Tergugat biasanya dituntut Penggugat (asal) dalam Petitum gugatan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh Penggugat, selaku pihak yang merasa haknya dilanggar.

          Untuk penggantian Tergugat yang meninggal dunia oleh ahli warisnya, didasarkan pada ketentuan hukum waris, yang menyatakan seluruh harta maupun kewajiban si Pewaris beralih kepada ahli waris (pasal 833 KUHPer jo 1318 KUHPer). Pada pasal 833 KUHPer disebutkan :”Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal” dan pada pasal 1318 KUHPer disebutkan :”Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri dan untuk ahli warisnya dan orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau telah nyata dan sifat persetujuan itu bahwa bukan itu maksudnya”.

          Dalam pada itu, dengan meninggalnya Tergugat dalam perkara perdata, yang biasanya memberikan surat kuasa kepada Advokatnya, maka Surat kuasa  tersebut berakhir (Vide : pasal 1813 KUHPer). Pada pasal 1813 KUHPer disebutkan :” Pemberian kuasa berakhir: dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa; dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa”. Dengan demikian, kalau persidangan diteruskan pada tahap selanjutnya hingga putusan, tanpa mengganti posisi Tergugat yang meninggal dunia dengan ahli warisnya, maka putusan tidak dapat dijalankan atau gugatan menjadi kurang pihak, sehingga putusanya dapat menjadi NO (Niet Ontvankelijk Verklaard) atau gugatan tidak diterima.

          Pada kondisi meninggalnya Tergugat sebelum tahap kesimpulan, maka setelah Majelis Hakim membuka persidangan dan mendapatkan pemberitahuan tentang meninggalnya salah satu Tergugat dari Penggugat atau dari Tergugat lain atau sumber lainnya, maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut memberikan waktu kepada Penggugat untuk menyampaikan nama ahli waris Tergugat itu kalau sudah ada untuk dipanggil pada persidangan berikutnya,  menggantikan posisi Tergugat yang meninggal dunia. Tata cara pemanggilan tersebut didasarkan pada Pasal 390 (2) HIR/ 718 (2) R.Bg  jo Pada Pasal 7 RV.  Pada pasal Pasal 390 (2) HIR/ 718 (2) R.Bg  disebutkan :”Jika orang itu sudah meninggal dunia, maka surat juru sita itu disampaikan pada ahli warisnya, jika ahli warisnya tidak dikenal maka disampaikan pada kepala desa ditempat tinggal terakhir dari orang yang meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku menurut aturan yang disebut di atas ini. Jika orang yang meninggal dunia itu masuk golongan orang asing maka surat juru sita itu diberitahukan dengan surat tercatat pada balai harta peninggalan”.

          Pada pasal 7 RV (Reglement of de Rechtsvordering) dinyatakan  :”Terhadap orang-orang yang telah meninggal dunia, pemberitahuan gugatan atau pemberitahuan lainnya dilakukan terhadap semua ahli waris dan sekaligus, tanpa menyebut nama  dan tempat tinggalnya, ditempat tinggal terakhir almarhum dan tidak boleh melebihi waktu 6 bulan setelah meninggalnya”.

          Adalah keliru bila Majelis Hakim yang memeriksa perkara perdata yang Tergugatnya ada yang meninggal dunia sebelum Tahap Kesimpulan, setelah Penggugat menyampaikan usul kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut supaya dilakukan panggilan kepada ahli waris Tergugat yang meninggal dunia, selanjutnya Majelis Hakim menghimbau supaya Penggugat mencabut gugatan atau menyampaikan Kesimpulan tanpa melakukan penggantian posisi Tergugat dengan ahli warisnya.

          Untuk mencegah sikap seperti itu,  maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut ada baiknya benar-benar menjalankan 2 azas hukum yang terkait, yaitu Pertama, azas ius curia novit, yaitu azas yang menyatakan hakim tahu akan Hukum, seperti seluruh ketentuan hukum yang terkait dengan Hukum Acara Perdata, seperti   HIR/RIB, RBg, Rv, Undang-undang (UU) tentang Mahkamah Agung, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), UU Perkawinan, UU Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Yurisprudensi, doktrin.

          Kedua, azas peradilan yang sederhana, cepat dam biaya ringan, sebagaimana yang diatur dalam pasal  2 angka 4 UU No.48/2009, yang berarti penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif.     

 (*Adalah seorang Advokat dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia) 

Selasa, 08 September 2020

Rubrik Opini : Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di Bawah Tangan pada Transaksi Pengalihan Tanah dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan

 Opini :

Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di Bawah Tangan

(Transaksi Pengalihan Tanah dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan)

Oleh : Kardi Pakpahan, SH*

          Penggunaan Cap Jempol dalam berbagai pembuatan dokumen di bawah tangan masih sering dilakukan. Dokumen yang dimaksudkan misalnya pada  Surat Perjanjian, Surat Pernyataan, Surat Persetujuan, dan lain-lain. Sebagai contoh, penulis pernah temukan sebuah dokumen perjanjian pengalihan tanah yang belum terdaftar (masih status girik), dari pihak yang mengalihkan menggunakan cap jempol tanpa dilegaslisasi Notaris, yang kemudian   digunakan untuk pendaftaran tanah sampai dikeluarkan status Sertifikat Hak Milik (SHM) pada sebuah kantor pertanahan.

          Dari sisi hukum supaya cap jempol sah, memerlukan syarat tertentu sebagaimana diatur pada pasal 1874 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KHUPer) jo pasal 286 ayat 2 RBg. Pada pasal 1874 ayat 2 KUHPer disebutkan :” Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuhan cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa di akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut”. Sedangkan pada pasal 286 ayat 2 RBg atau Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura dinyatakan :”Cap jari atau cap jempol yang dibubuhkan di bawah surat di bawah tangan disamakan dengan tanda tangan asal disahkan dengan suatu surat keterangan yang bertanggal oleh notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan menerangkan bahwa ia mengenal pemberi cap jari atau cap jempol yang diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dijelaskan kepada si pembubuh cap jari dan bahwa cap jari tersebut dibubuhkan di hadapannya”. Dengan demikian, supaya dokumen di bawah tangan - yang bukti persetujuannya melalui cap jempol disamakan dengan tanda tangan manakala pembubuhan cap cempol dilaksanakan di hadapan notaris atau pejabat lain yang diatur oleh Undang-undang  dan tanggal pembubuhan cap jempol pada dokumen tersebut di hadapan notaris, dihitung tanggal mulai berlakunya dokumen di bawah tangan tersebut. Proses pengesahan tanda tangan atau cap jempol di hadapan notaris, saat ini dikenal dengan istilah Legalisasi.

          Notaris, dalam jabatannya, berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan ini, merupakan pengertian legalisasi terhadap akta di bawah tangan, yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di atas kertas yang bermaterai cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus, yang disediakan oleh Notaris. Ringkasnya, inti dari legalisasi ini adalah, para pihak membuat suratnya, dibawa ke Notaris, lalu menandatanganinya di hadapan Notaris, kemudian dicatatkan dalam Buku Legalisasi. Tanggal pada saat penandatanganan dihadapan Notaris itulah, sebagai tanggal terjadinya perbuatan hukum, yang melahiran hak dan kewajiban antara para pihak sebagaimana diatur pada pasal 15 ayat 2 hurtuf a UU  No.30/2004 yang diubah dengan UU No.2/2014 tentang UU Jabatan Notaris.

          Legalisasi tentu berbeda dengan warmerking atau legalisir. Warmerking dilakukan Para Pihak manakala  atas perjanjian di bawah tangan yang sudah ditandatangani beberapa hari atau waktu sebelumnya, dibawa ke Notaris untuk  didaftarkan  dalam Buku Pendaftaran Surat di Bawah Tangan (Vide : pasal 15 ayat 2 huruf b UU Jabatan Notaris).

          Legalisir adalah kewenangan Notaris pada proses pencocokan dokumen fotocopy dengan dokumen asli di bawah tangan. Notaris akan memberikan cap atau stempel dan paraf di setiap halaman fotocopy dan pada halaman paling belakang, Notaris akan memberikan tanda tangan serta keterangan bahwa dokumen fotocopy tersebut sama dengan dokumen asli yang diperlihatkan di hadapan Notaris (Vide : Pasal 15 ayat 2 huruf c UU Jabatan Notaris).

        Dengan demikian, bagaimana sisi  hukum  bagi pihak ketiga yang dirugikan pada pengalihan tanah, yang disinylair merupakan budel waris Pihak Ketiga dan belum terdaftar, yang dilakukan dengan cap jempol yang dari pihak yang mengalihkan dan tidak dilegalisasi Notaris, kepada pihak yang menerima pengalihan, dan digunakan sebagai dokumen permohonan pendaftaran tanah pertama di kantor pertanahan sampai terbit sertifikat Hak Milik  ? Sisi Hukum utamanya dapat dilihat dari 3 hal.

        Pertama, tentang keabsahan dan kekuatan mengikat perjanjian. Supaya sebuah Perjanjian, seperti Perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar, supaya sah dan mengikat (Vide : pasal 1320 KUHPer jo 1338 KUHPer) harus memenuhi 4 syarat, yaitu 2 syarat subyektif yaitu a) adanya kata sepakat; b) pihak yang melakukan perjanjian sudah Dewasa dan 2 syarat obyektif, yaitu   a) hal tertentu; b) sesuatu yang halal atau yang diperjanjikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika syarat subyektif Perjanjian tidak dipenuhi, misalnya pihak yang mengalihkan  lagi sakit keras dipaksa membubuhkan cap jempolnya pada perjanjian pengalihan tanah maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan bila syarat obyektif tidak dipenuhi, misalnya terhadap perjanjian di bawah tangan pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan cap jempol dari pihak yang mengalihkan  tidak dilegalisasi Notaris, maka Perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum, yang karenanya sertifikat hak milik, yang diperoleh dari perjanjian pengalihan tersebut dapat dikatakan tidak sah atau tidak mengikat serta dapat dimintankan pembatalannya.

Kedua, perbuatan melawan hukum. Rangkaian peristiwa membuat Perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan menggunakan cap jempol dari pihak yang mengalihkan dan tidak dilegalisasi Notaris, yang sesungguhnya masih obyek sengketa waris dan menggunakannya sebagai dasar permohonan hak pada pendaftaran tanah pertama sekali dan merugikan pihak ketiga, dapat dinyatakan adalah sebuah perbuatan melawan hukum atau onrechmatige daad, sebagaimana yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyatakan :”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut“. Ada 4 unsur dari perbuatan melawan hukum yaitu : a) ada perbuatan melawan hukum; b) ada kesalahan; c) ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan; d) ada kerugian.

Dalam konteks perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan penggunaan cap jempol oleh pihak yang mengalihkan tanpa dilegalisasi Notaris, dan digunakan untuk mendaftarkan tanah di kantor pertanahan sehingga terbit sertifikat Hak Milik dan merugikan pihak ketiga dapat dikatakan adalah termasuk dalam perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPer, sehingga pihak-pihak yang terkait atau melakukan perbuatan melawan hukum tersebut haruslah mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

Ketiga, jaminan ganti rugi dari sebuah perbuatan melawan hukum. Landasan perikatan untuk melakukan ganti rugi dari pihak atau para pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum kepada pihak yang dirugikan  tentu didasarkan sumber perikatan seperti yang diatur pada pasal 1233 KUHPer, yaitu 1) karena perjanjian (Vide : pasal 1313 KUHPer) dan karena Undang-undang (Vide : pasal 1352 KUHPer).  Dalam hal ini sumber perikatan untuk melakukan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum oleh pihak atau para pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 KUHPer, adalah perikatan karena undang-undang akibat perbuatan orang. Dengan demikian, jaminan yang bisa didapatkan oleh pihak yang dirugikan dalam sebuah perbuatan melawan hukum, disamping pengembalian obyek yang dipersengkatakan atau berupa pembayaran,  adalah seluruh aset (baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak) dari pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPer, yang dapat diperoleh dengan menempuh upaya gugatan perbuatan melawan hukum dengan memohonkan penetapan atau putusan sita jaminan atas pihak atau para pihak melakukan   perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).

Tentu disamping tiga sisi hukum utama di atas, pihak yang dirugikan dari sebuah peristiwa hukum pada pelaksanaan perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah ( yang belum terdaftar) dengan menggunakan cap jempol tanpa dilegalisasi Notaris, seperti yang disampaiakan pada uraian sebelumnya, maka sisi hukum yang masih dapat digunakan adalah pada sisi pidana, manakala pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, diduga juga menggunakan keterangan atau dokumen palsu (Vide : pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP), atau sisi hukum Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dalam hal ada cacat yuridis pada penerbitan sertifikat terkait.(*Penulis adalah seorang Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

Kamis, 18 Juni 2020

Perihal Perlindungan Hukum bagi Pembeli Beritikad Baik atas Sebidang Tanah


Catatan Hukum :
Perihal Perlindungan Hukum bagi Pembeli Beritikad Baik atas Sebidang Tanah

Oleh : Kardi Pakpahan*
                Bagaimana sekiranya Piter (bukan nama sebenarnya), telah membeli sebidang tanah kosong dengan bukti kepemilikan Hak Milik dari Tigor (bukan nama sebenarnya) dan sudah  menempuh  prosedur standar dalam proses pembelian lahan, yaitu menyepakati harga jual beli dengan Penjual,  memeriksa dokumen kepemilkan tanah, dilakukan  pengecekan status alas hak tanah ke kantor pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional (BPN),  pembuatan akta jual beli dilakukan oleh PPAT/Notaris yang bewewenang serta dilaksanakan  proses balik nama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
                Setelah dua tahun, tatkala Piter telah rampung membangun rumah di atas tanah yang dibeli dari Penjual, yang telah dicita-citakannya selama 15 tahun sejak bekerja di sebuah perusahaan swasta, tiba-tiba ada  2 pihak, yaitu Dame (bukan nama sebenarnya)  dan Jojor (bukan nama sebenarnya),   mengajukan gugatan perbuatan melawaan hukum melalui pengadilan negeri tentang jual-beli  tanah yang dilakukan oleh Piter dan Tigor.  Tentu, Piter merasa kuatir dengan gugatan tersebut, dengan 2 alasan utama. Alasan pertama, bahwa Piter telah menabung sekitar 15 tahun untuk dapat membeli tanah tersebut. Kedua, untuk membangun rumah di atas tanah tersebut, Piter mendapatkan fasilitas pinjaman dari salah satu bank swasta.
                Bagaimana perlindungan hukum terhadap Piter, yang membeli sebidang tanah dari Tigor ? Setelah berkas gugatan dipelajari Piter, didapatkan data-data sebagai berikut. Pertama, asal tanah memang asalnya dari warisan orang tua Tigor yang lebih lama hidup, yang bernama Tingkos (bukan nama sebenarnya). Pada dokumen keterangan waris yang diketahui Piter sebelumnya, ada 3 orang ahli waris  dari orang tua Tigor,  yaitu Tigor, Tagor (bukan nama sebenarnya) dan Togar (bukan nama sebenarnya). Tanah yang dibeli Piter merupakan pemecahan dari tanah, dengan alas hak milik, objek warisan  dari orang tua mereka. Dari berkas gugatan itu, didapatkan keterangan bahwa ahli waris dari dari orangtua Tigor sebetulnya ada 5 orang, yaitu Tigor, Tagor, Togar, Dame dan Jojor.
                Untuk melihat perlindungan hukum kepada Piter atas jual beli tanah yang dilakukan dengan Tigor, pertama-tama dapat dicermati melalui keabsahan perjanjian dan kekuatan mengikat sebuah perjanjian. Dari sisi keabsahan perjanjian, yaitu perjanjian jual beli tanah, yang dibuat dengan akta otentik, prinsipnya sudah memenuhi pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Adapun 4 syarat sahnya perjanjian, yang diatur pada pasal 1320 KUHPer adalah 1) sepakat mereka yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian; 2) kecakapan untuk bertindak melakukan suatu perjanjian; 3) suatu hal tertentu; 4) suatu sebab yang halal atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
                Akibat hukum suatu perjanjian yang telah dibuat para pihak secara sah, dapat diketehui dari pasal   1338 HUHPer. Disana dikatakan :”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam pada itu, pada pasal 1338 ayat 2 KUHPer juga disebutkan :” Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.   Perjanjian jual beli tanah antara  Piter dan Tigor harus juga dilaksanakan dengan itikad baik (vide: pasal 1338 ayat 3 KUHPer).
                Dari sisi syarat sahnya perjanjian dan proses jual beli tanah yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa Piter adalah termasuk pembeli beritikad baik. Untuk mengetahui batasan pembeli tanah beritikad  baik itu , dapat diketahui dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4/2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil  Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik  Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (halaman 6 sd 7).  Pada SEMA No.4/2016 dikedepankan 2 kriteria pembeli beritikad baik yang perlu dilindungi.
                Pertama, melakukan jual beli atas obyek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundangan-undangan, yaitu : 1)  Pembelian tanah melalui pelelangan umum atau 2) Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 24/1997 atau ; 3) Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu : a) dilakukan secara tunai dan terang (dihadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat); b) didahului dengan penelitian mengenai status tanah obyek jual-beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah obyek jual beli adalah milik penjual; 4) Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
                Kedua, melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek yang diperjanjaikan antara lain : 1) Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikan, atau 2) Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau 3) Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan, atau 4) Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
                Bagaimana perlindungan bagi pembeli tanah yang beritikad baik, sebagaimana yang disebutkan pada SEMA No.4/2016 ? Untuk mengetahuinya dapat dibaca pada butir IX SEMA No.7/2012. Pertama, Perlindungan harus diberikan kepada Pembeli beritikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa Penjual adalah orang yang tidak berhak (Objek jual beli tanah). Kedua, Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak. 
                Dengan demikian, dalam jual beli atas tanah yang disebutkan di atas, Pembeli, yaitu Piter pada posisi yang  dilindungi, kalau pun Pemilik asal mau meminta ganti rugi, harus mengajukannya kepada Penjual, yaitu Tigor.
(*Kardi Pakpahan, seorang advokat dan trainer di bidang Perbankan/Hukum)


Kamis, 28 Mei 2020

Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata

Catatan Hukum :
Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata

Oleh : Kardi Pakpahan*
            Bagaimana sekiranya bila amar putusan kondemnatoir  pada perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, yang diputuskan tanpa memutus pokok perkara perdata, yang bersifat deklatoir  ? Untuk melihat bagaimana hubungan diantara amar putusan Deklatoir dengan   putusan kondemnatoir pada uraian berikut dikedepankan pengertian  3 sifat amar putusan perkara perdata. Pertama, putusan deklaratoir (declaratoir vonnis). Sifat putusan ini merupakan penjelasan atau penetapan tentang suatu hak maupun status, yang berisi tentang pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata.  Misalnya, menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 876),  tentang gugatan dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, berdasarkan pasal 1365 KUHPer, jika gugatan dikabulkan maka  putusan didahului dengan amar deklaratoir berupa pernyataan :”bahwa tergugat telah bersalah melakukan perbuatan melawan hukum” atau “Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Sedangkan bila pokok gugatan misalnya tentang wanprestasi maka amar deklatoirnya :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat wanprestasi kepada Penggugat”.
            Kedua, putusan konstitutif ( constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya amar putusan konstitutif perkara perceraian :”Menyatakan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya”. Putusan perceraian ini  meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, bersamaan dengan itu mengemua keadaan hukum baru kepada suami istri sebagai Duda dan Janda.
            Ketiga, putusan kondemnatoir (comdemnatoir) adalah putusan yang memuat amar yang menghukum  salah satu pihak berperkara. Putusan yang bersifat kondemnatoir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari amar deklaratif atau konstitutif. Contoh  amar  putusan kondemnatoir misalnya kalau pokok perkaranya  wanprestasi : “Menghukum TERGUGAT untuk membayar seluruh hutangnya kepada PENGGUGAT, yaitu berupa pokok pinjaman, bunga, dan denda, berdasarkan Surat Perjanjian Kredit Nomor : 072/3319/5/PB/X/2017 tanggal 30 Oktober 2017, sebesar Rp 620.887.500,-, yang terdiri dari : Pokok Pinjaman Rp.    500.000.000,-; Tunggakan Bunga Rp.  112.750.000,- ; Denda Rp. 8.137.500” sedangkan kalau pokok perkaranya misalnya perbuatan melawan hukum, maka contoh amar putusan komdemnatoirnya :’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”.
            Menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 877), amar putusan komdentaoir merupakan satu kesatuan dengan amar deklaratif sehingga amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir dan penempatan amar deklatoir dalam putusan yang bersangkutan, mesti ditempatkan mendahului amar kondemnatoir atau dengan perkataan lain amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir dari amar putusan deklaratoir.
            Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, bagaimana misalnya dalam sebuah putusan  perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, membuat putusan kondemnatoir seperti :” ’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”, tanpa membuat atau didahului dengan amar putusan deklaratoir, seperti :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Mengingat amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir atau amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir terhadap amar putusan deklatoir, maka amar putusan seperti hal tersebut mengandung cacad hukum.
(*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Trainer)

Kamis, 14 Mei 2020

Penjualan Adaptif Perbankan pada Pandemi Covid-19, Saatnya Berpikir dan Bertindak Kreatif


Catatan Pemasaran :
Penjualan Adaptif Perbankan pada Pandemi Covid-19, Saatnya Berpikir dan Bertindak Kreatif


Oleh : Kardi Pakpahan*
                Dalam suatu Negara, termasuk di Indonesia,  ada 3 fungsi perbankan yang menonjol, yaitu 1) fungsi perbankan sebagai sarana pertumbuhan ekonomi; 2) fungsi perbankan sebagai bagian dari sarana mendukung kestabilan ekonomi/moneter; 3) fungsi perbankan sebagai sarana pemerataan dalam kegiatan pembangunan – terjadinya aliran uang dari masyarakat yang kelebihan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana.
                Pada pandemi covid-19, baik  dalam status social distancing maupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), usaha perbankan merupakan bidang usaha yang diizinkan tetap beroperasi. Hanya saja, lingkungan usaha pada pandemi covid-19, diperhadapkan dengan kondisi perlambatan atau ketidakpastian. Hal itu dapat  terjadi, karena beberapa usaha sudah libur atau menerapkan pola kerja Work From Home dan ada juga perusahaan yang sudah mulai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dikarenakan kegiatan usaha yang sudah mulai menurun.
                Lingkungan usaha perbankan pada pandemi Covid-19 ditandai dengan kecenderungan pertumbuhan dana, penyaluran kredit, dan pendapatan bunga yang menurun dan di sisi lain Non Perform Loan atau kredit non lancar memiliki trend meningkat. Dari sisi penjualan produk perbankan, menghadapi ketidakpastian tersebut, diperlukan pola baru, karena cara yang sama beberapa waktu lalu, kerap kali tidak efektif lagi diterapkan untuk saat ini, baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran kredit oleh perbankan.
                Salah satu pola penjualan produk perbankan yang masih relevan diterapkan pada pandemi covid-19 adalah penjualan yang adaptif, dengan artikulasi tidak mungkin menghadapi lingkungan usaha perbankan dengan jurus yang sama dengan masa lalu – perlu berpikir dan bertindak  kreatif. Dengan demikian, diharapkan maka sisi ketidakpastian nantinya dapat diatasi, sehingga pada akhirnya dapat mendukung peningkatan kinerja perbankan, yang pada akhirnya dapat berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
                Dengan mengutip pendapat Spiro & Weitz, Penjualan produk perbankan yang adaptif merupakan suatu kegiatan mengubah perilaku penjualan selama ataupun setelah terjadinya interaksi dengan nasabah, yang dilakukan berdasarkan pada informasi yang diterima mengenai situasi penjualan, baik ketika pada aktivitas prospecting, Contacting,  Probing, Presenting, Follow up atau Close the sales. 
                Pilihan adaptasi yang dilakukan oleh Penjual atau Account Officer (AO) Bank, biasanya dikaitkan dengan dampak perubahan yang terjadi di lingkungan usaha perbankan dengan intensitas perubahan yang diperlukan. Misalnya, jika dampak ketidakpastian yang muncul relatif rendah, sementara perubahan yang diperlukan untuk adaptasi juga rendah, maka biasanya tipe adaptasi yang diperlukan adalah perlunya dilakukan percepatan dalam kegiatan penjualan produk perbankan. Tentu, masih ada beberapa model adaptasi penjualan lainnya.
                Supaya Penjual mampu melakukan penjualan yang adaptif, maka paling tidak dipengaruhi oleh 4 hal utama, yaitu Pertama, proaktif. Kebiasaan proaktif berarti mau melakukan persiapan perjualan dengan penuh tanggung jawab serta mau dan mampu menata suasana hati supaya selalu positif.
Kedua, Pembelajar.   Supaya dapat melakukan  penjualan yang adaftif, Penjual harus memiliki budaya belajar yang tinggi, baik belajar cepat, belajar bijak, dan belajar cerdas. Belajar cepat diperlukan karena banyak pengetahuan baru lingkungan pasar penjualan yang perlu dipelajari atau diketahui. Belajar bijak merupakan belajar yang dilakukan dari kesuksesan dan kegagalan yang dilakukan di sisi internal. Sedangkan belajar cerdas merupakan belajar yang dilakukan atas kesuksesan atau kegagalan pesaing atau Kompetitor.   
                Ketiga, karakteristik. Untuk  dapat melakukan penjualan yang adaptif, maka diperlukan karakteristik khusus dari Penjual atau AO. Paling tidak ada 5 karakteristik yang diperlukan, yaitu 1) ketekunan yang tinggi; 2) dapat diandalkan karena memiliki pengetahuan, sikap yang positif dan ketrampilan dalam melaksanakan penjualan; 3) tulus atau memiliki integritas yang tinggi; 4) memiliki motivasi yang tinggi; 5) empatik. Khususnya karakteristik empatik dalam penjualan yang adaptif sangat diperlukan pada kondisi pandemi covid-19, karena cenderung banyak calon nasabah yang merasa kuatir atau takut. Dengan demikian, karakteristik empatik dari Penjual akan dapat mempercepat rasa percaya atau keyakinan atau trust building dari calon nasabah.
                Keempat, ketrampilan komunikasi. Diperlukan ketrampilan komunikasi yang baik, supaya dapat melakukan penjualan produk yang adaptif, seperti kemampuan berkomunikasi yang efektif, kemampuan komunikasi dua arah walapun ada hambatan dan jarak (misalnya pakai masker dan menjaga jarak ketika komunikasi tatap muka), kemampuan komunikasi yang empatik.
(*Penulis adalah Trainer Perbankan dan Seorang Advokat).       

Minggu, 03 Mei 2020

Relaksasi Restrukturisasi Kredit Menghadapi Pandemi Covid-19

Catatan Restrukturisasi  :

Relaksasi Restrukturisasi Kredit Menghadapi Pandemi Covid-19


Oleh : Kardi Pakpahan*

                Dalam rangka menghadapi pandemi covid-19, pada 16 Maret 2020 OJK memberlakukan POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai kebijakan Countercyclical Dampak Penyebab Covid-19, yang diberlakukan untuk Bank Umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah. POJK yang mengatur relaksasi restrukturisasi  ini diberlakukan dari 16 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021.
                Adapun latar belakang diundangkanya POJK No.11/POJK.03/2020 adalah sebagai berikut, pertama, perkembangan penyebaran Covid-19  secara global telah berdampak secara langsung ataupun secara tidak langsung terhadap kinerja dan atau kapasitas debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran kredit.
                Kedua, dampak terhadap kinerja dan kapasitas debitur tersebut akan meningkatkan resiko kredit yang berpotensi mengganggu kinerja perbankan dan stabilitas sistem keuangan sehingga dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
                Ketiga,  untuk mendorong optimalisasi kinerja perbankan, khususnya fungsi intermediasi , menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian  perlu diambil kebijakan stimulus perekonomian sebagai countercyclical  dampak covid-19, yaitu POJK No.11/POJK.03/2020.
Substansi
                Fasilitas kredit yang dapat dimasukkan dalam relaksasi restrukturisasi ala POJK No.11/POJK.03/2020  haruslah memenuhi kriteria, yaitu terdampak pandemi Covid-19, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk UMKM, yaitu Debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada Bank karena Debitur atau usaha debitur terdampak dari penyebaran Covid-19, baik secara langsung atau tidak langsung pada sektor ekonomi antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, manufaktur, pertanian dan pertambangan.
Apa saja subtansi relaksasi restrukturisasi kredit dalam POJK No.11/POJK.03/2020 ? Pertama, Kualitas kredit yang direstrukturisasi ditetapkan lancar sejak dilakukan retrukturisasi ( Vide : Pasal 5 ayat 1 POJK No.11/POJK.03/2020). Ketentuan restrukturisasi dalam pedoman akuntansi dan POJK terkait sebelumnya, misalnya kolektibilitas setelah restrukturisasi paling tinggi Kurang Lancar (KL) bila kredit yang diretrukturisasi sebelumnya kualitasnya Diragukan (D) atau Macet (M),  sedangkan kalau kredit yang direstrukturisasi dengan kualitas Lancar (L), Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar (KL) maka kualitas aset setelah restrukturisasi adalah tetap.
Kedua,    restrukturisasi kredit dapat dilakukan terhadap kredit yang diberikan sebelum maupun setelah Debitur terkena dampak penyebaran Covid-19 (Vide : Pasal 5 ayat 2 POJK No.11/POJK.03/2020).  Berbicara mengenai  kredit yang terdampak penyebaran pandemi covid-19 pada recovery kredit, tentu baik kredit lancar (perform) maupun pada recovery kredit non lancar (non perform). Hanya saja untuk kredit dengan kualitas non lancar,  ada syarat khususnya, yaitu setelah direstrukturisasi dapat mendukung kinerja Bank, yang biasanya syarat khususnya Debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit dan Debitur memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi. Misalnya, pak Anto (bukan nama sebenarnya), Debitur sebuah Bank dengan kolektilitas atau kualitas aset Diragukan (D) terhitung  Februari 2020, dengan bidang usaha jahit Baju, dan setelah mulai Maret 2020 mengembangkan usahanya juga untuk menjahit Masker kain untuk mencegah penyebaran pandemi covid-19, omset usaha dan sisa penghasilan semakin positif, tetapi belum dapat menyelesaikan seluruh  tunggakan bunga dan belum mampu membayar angsuran seperti yang terdapat pada Perjanjian Kredit awal. Tentu, bila debitur Anto, terdampak covid-19, baik secara lanngsung dan tidak langsung, terbuka dimasukkan dalam relaksasi restrukturisasi kredit sesuai dengan POJK No.11/POJK.03/2020 .
Ketiga, Kredit BPR yang direstrukturisasi berdasarkan POJK No.11/POJK.03/2020 dikecualikan dari  penerapan perlakuan akuntansi restrukturisasi kredit, baik yang terdadapat pedoman akuntansi muapun pada POJK terkait, seperti misalnya pada pembentukan CKPN atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai, termasuk juga tentunya dalam kemungkinan mengoreksi kelebihan PPAP (Penyisisan Penghapusan Aktiva Produktif) setelah kredit yang diretrukturisasi mulai dilakukan pembayaran angsuran oleh Debitur. Pada pasal 5 ayat 3 POJK No.11/POJK.03/2020 disebutkan :”Kredit bagi BPR atau pembiayaan bagi BPRS yang direstrukturisasi dikecualikan dari penerapan perlakuan akuntansi restrukturisasi kredit atau pembiayaan”.
Sedangkan cara retrukturisasi kredit menurut POJK No.11/POJK.03/2020 dapat dilakukan dengan : 1) penurunan suku bunga; 2) perpanjangan jangka waktu; 3) pengurangan tunggakan pokok; 4) pengurangan tunggakan bunga; 5) penambahan fasilitas kredit; 6) penundaan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga (grace periode); 7) konversi kredit menjadi penyertaan modal (yang hanya berlaku untuk bank umum, untuk BPR tidak berlaku karena BPR tidak dapat melakukan penyertaan).
Mengingat dampak negatif pandemi covid-19 pada bank, maka untuk meningkatkan kinerja bank dan mendukung pertumbuhan ekonomi, maka bank perlu menerapkan POJK No.11/POJK.03/2020 dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. Dalam pada itu, Bank yang melakukan restrukturisasi kredit menyampaikan Laporan Stimulus Kredit atau  Pembiayaan Restrukturisasi, sesuai dengan format yang terdapat pada POJK No.11/POJK.03/2020, yang substansi utamanya antara lain : a) Nama Debitur; b) CIF; c) Sektor Ekonomi; d) Plafon; e) Baki Debet; f) Kualitas Aset sebelum Direstrukturisasi (Misalnya, 1 1 (lancar); 2 (Dalam Perhatian Khusus); 3(Kurang Lancar); 4 (Diragukan); atau 5 (Macet).
(*Penulis adalah Trainer Perbankan, Advokat dan Alumnus Program Kekhususan Hukum Kegiatan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

Sabtu, 25 April 2020

Menyoal Komisaris BUMN


Opini   :
Menyoal Komisaris BUMN


Oleh : Kardi Pakpahan*
          Dalam waktu belakangnan ini salah satu simpul informasi  tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)  yang mengemuka di media massa adalah perihal komisaris pada perusahaan pelat merah atau BUMN, seperti berita tentang perubahan susunan dewan komisaris pada PT Pelindo 1.
          Tak dapat dipungkiri upaya-upaya pembenahan BUMN  sudah banyak dilakukan, khususnya semenjak reformasi ekonomi bergulir pada tahun 1997/1998. Buah dari pembenahan itu, beberapa BUMN telah melakukan tranformasi dengan tata kelola,  kinerja dan daya saing yang relatif lebih baik,
          Diharapkan pembenahan yang dilakukan pada BUMN selama ini dapat terus berjalan kearah yang lebih maju, bukan sebaliknya. Termasuk tentunya tentang keberadaan dewan komisaris yang semakin baik pula, untuk mendukung peningkatan kinerja dan daya saing
          Perihal  persyaratan dewan komisaris BUMN diatur dalam Peraturan Menteri BUMN No.02/MBU/02/2015, yang dikelompokkan dalam  3 bagian. Pertama, persyaratan formal, yaitu a) orang perseorangan; b) cakap melakukan perbuatan hukum; c) tidak pernah dinyatakan pailit dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan; d) tidak pernah menjadi anggota direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan; e) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan.
          Kedua, persyaratan materil, seperti a) integritas; b) dedikasi; c) memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, d) memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha perseroan dimana yang bersangkutan dicalonkan; e) dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.
          Ketiga, persyaratan lain. Bagian yang masuk pada persyaratan   komisaris BUMN pada persyaratan ini : a)  bukan pengurus partai politik (Parpol) dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif.  Calon anggota legislatif atau anggota legislatif terdiri dari calon/anggota DPR, DPD, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II; b) bukan calon kepala/wakil kepala daerah dan/atau kepala/wakil kepala daerah; c) tidak menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris pada BUMN yang bersangkutan selama 2 periode berturut-turut; d) sehat jasmani dan rohani, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter.
          Disamping tiga bagian persyaratan tersebut, khususnya untuk komisaris BUMN di bidang usaha jasa keuangan, baik bank maupun non bank, harus memenuhi persyaratan fit & proper test pada OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
          Dikaitkan dengan calon komisaris BUMN dari instansi pelayanan publik, sebagaimana diatur pada UU No. 25/2009  ada juga batasan komisaris BUMN, sebagaimana diatur pada pasal 17 huruf a UU No.25/2009. Disana dikatakan Pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).  Artinya pelaksana yang terkait dengan pelayanan publik dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
          Untuk memahami batasan pelaksana pelayanan publik dapat diketahui dari ketentuan pasal 1 angka 5 UU No. 25/2009, yang menyebutkan :”Pelaksana pelayanan publik, yang selanjutnya disebut juga Pelaksana, adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik” .
       Dalam rangka memahami penyelenggara pelayanan publik, yang disebut juga penyelenggara,  dapat  dilihat pada pasal 1 angka 2 UU No.25/2009, yang menyatakan :”setiap institusi penyelenggara Negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan public, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik”.
          Berangkat dari hal tersebut, maka komisaris BUMN tidak dapat merangkap sebagai penyelengara Negara atau pelaksana yang terkait dengan pelayanan publik, baik dalam status Menteri/wakil Menteri, ASN/Polri/TNI, termasuk dosen Perguruan Tinggi Negeri. Bila perangkapan seperti itu dilakukan, maka berdasarkan pasal 54 ayat 7 UU No.25/2009,   dikenai sanksi pembebasan dari jabatan.
(*Penulis adalah Advokat dan Pengamat Hukum)