Minggu, 20 Oktober 2013

Kolom Kardi Pakpahan :"Meningkatkan Kualitas Investasi Dana Pensiun"

Meningkatkan Kualitas  Investasi Dana Pensiun
Oleh : Kardi Pakpahan*
          Dana pensiun merupakan bagian dari industri finansial, yang hingga kini memiliki volume usaha sekitar Rp 76 Triliun.       Kekayaan terbesar dari Dana Pensiun terdapat pada pos investasi yang dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang pas untuk pertumbuhan dan perkembangannya, baik untuk Dana Pensiun dengan model Pemberi Kerja maupun  Lembaga Keuangan.
Berangkat dari kegiatan investasi dana pensiun selama ini, maka masih diperlukan berbagai strategi supaya dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan dana pensiun. Strategi itu diharapkan tetap mengacu kepada ketentuan yang berlaku, seperti UU No.11/1992 (khususnya pasal 29 s/d 32); Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 19/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 tentang Investasi Dana Pensiu; Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER-05/BL/2012 tentang Penyusunan Laporan Keuangan dan Dasar Penilaian Investasi Bagi Dana Pensiun;  Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 20/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 509/KMK.06/2012 tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun; Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 21/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.06/2002 tentang Pendanaan Dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja; Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 22/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2007 tentang Laporan Teknis Dana Pensiun; Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 50/PMK.010/2012 Tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 tentang Iuran Dan Manfaat Pensiun; Peraturan Dana Pensiun.
Dalam kerangka menjadikan investasi dana pensiun didukung dengan fundamental yang kuat dan memberikan nilai tambah, maka masih diperlukan beberapa upaya. Diantara upaya yang dimaksudkan, dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, perluasan segmentasi pasar investasi. Disamping secara demografik, perluasan secara geografik, untuk kegiatan investasi dana pensiun perlu dilakukan untuk setiap instrumen investasi yang diperkenankan. Saat ini instrumen investasi dana pensiun ada 16 jenis, diantaranya Surat Berharga Negara, Tabungan pada Bank, Deposito berjangka pada Bank, Deposito on call pada Bank, Sertifikat Bank Indonesia, Saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, Obligasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Dalam 4 tahun terakhir mulai bergeser tempat utama investasi dana pensiun, yang sebelumnya fokus pada Deposito di Bank,  juga semakin  tersebar di Surat Berharga Negara dan Obligasi.
Kedua, sisdur investasi.  Sistem dan Prosedur untuk kegiatan investasi  dana pensiun perlu dibuat pengurus yang disahkan oleh pengawas. Dengan demikian, ada pegangan yang kuat dan pasti dalam kegiatan investasi. Dengan sisdur investasi yang ada, diharapkan unsur transparansi dan akuntabilitas akan semakin mengemuka.
Ketiga,  Komite Investasi. Sebelum pengurus dana pensiun menempatkan asetnya di instrumen investasi, maka analisa investasi hendaknya diputuskan melalui sebuah Komite Investasi, supaya setiap penempatan investasi yang dilakukan aman, bernilai tambah bagi dana pensiun atau peserta dana pensiun.
Keempat,  penerapan manajemen resiko.  Pada prinsipnya, setiap instrumen investasi dan institusi usaha dana pensiun memiliki resiko. Oleh karena itu perlu diterapkan manajemen resiko yang terkait dengan dana pensiun secara konsisten dan berkesinambungan, seperti resiko operasional, resiko pasar, resiko hukum, resiko terkonsentrasinya transaksi investasi.
Cakupan penerapan  manajemen resiko pada dana pensiun, antara lain, identifikasi, pengukuran, mitigasi dan pelaporan. Dengan penerapan manajemen resiko yang dimaksudkan, maka fundamental kegiatan investasi dana pensiun akan semakin kokoh dengan nilai tambah yang semakin meningkat.
Kelima, pengetahuan produk instrumen investasi. Para pengurus maupun pengawas dana pensiun, perlu secara berkesinambungan sama-sama meng-up grade pengetahuan di bidang produk-produk  investasi yang diperkenankan. Dengan demikian, disamping resiko bisa semakin dapat dikendalikan, keputusan investasi pun akan kian cepat.

( *Penulis adalah Advokat di bidang Keuangan & Perbankan, Trainer pada JFI dan CTC; BBM = 24EC43D2 )

Kamis, 17 Oktober 2013

Kolom Kardi Pakpahan :"Komplain sebagai Pencetus Perbaikan Kualitas Pelayanan"

Komplain sebagai Pencetus Perbaikan Kualitas Pelayanan
Oleh : Kardi Pakpahan*
Komplain dalam pelayanan memiliki beberapa dimensi penting. Pertama, demensi pemasaran. Kompain adalah bagian dari sistem pemasaran. Marilah kita ikuti pengertian pemasaran yang dikedepankan oleh William Stanton (1984) berikut. Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditunjukan untuk merencanakan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan baik pada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Sementara konsep pemasaran menurut Philip  Kotler (1994), adalah suatu orientasi manajemen yang menekankan pada tugas pokok organisasi yaitu menentukan kebutuhan dan keinginan dari target pasar dan menyesuaikan organisasi dengan tujuan untuk memberikan keputusan yang diharapkan dapat berjalan lebih efektif dan efisien dari pada yang bisa diberikan oleh pesaing. Sedangkan keputusan merupakan tingkat keadaan perasaan seorang yang merupakan hasil perbandingan antara penilaian kinerja (atau hasil akhir) produk dalam hubunganya dengan harapan orang-orang. Berdasarkan hal tersebut, maka wajar ada komplain dari nasabah atau Customer. Untuk kelangsungan sebuah perusahan tidak dapat melepaskan dari diri kegiatan pemasaran. Oleh kerena itu, komplain dari nasabah haruslah direspon dengan baik dan harus dijadikan menjadi faktor pencetus perbaikan.
Kedua, demensi koherensi antara visi dan budaya (value). Komplain dalam aktivitas pelayanan  dapat menjadi pencetus perbaikan koherensi antara visi, misi , nilai maupun motto organisasi, sehingga hal yang sama tidak perulang lagi. Perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja yang baik dan memiliki masa kelangsungan usaha yang panjang, biasanya memiliki koherensi yang baik antara visi misi, value ( kultur organisasi), strategi maupun stuktur organisasi.
Ketiga, dimensi  pengendalian manajemen resiko operasional. Manajemen resiko operasional merupakan pendekatan sistematis yang mengidentifikasi, mengukur, dan memprioritaskan serta mengurangi resiko-resiko operasional.
Dalam sebuah perusahaan, seperti perusahaan pembiayaan, perbankan dan perasuransian, dan lain-lain, sumber-sumber resiko operasional biasanya dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu 1) sumber daya manusia atau (SDM) seperti availability, keahlian, pelatihan, motivasi, perilaku;  2) teknologi, seperti reliability, integrity, continuity; 3) proses, seperti prosedur, jumlah, otorisasi, limit control; 4) eksternal seperti kerusuhan, force majeure, regulasi, dan lain-lain.
Memang tak dapat dipungkiri masalah komplein memiliki titik taut utama  dengan resiko operasional, tetapi juga sekaligus dapat berpengaruh pada eskalasi pada resiko lainnya, seperti resiko reputasi maupun resiko hukum. Dengan demikian menangani komplain dengan baik serta proaktif mencegah adanya Komplain, khususnya melalui jajaran organisasi di front office,  adalah merupakan bagian dari pengendalian manajemen resiko secara keseluruhan. Misalnya, peningkatanan kualitas pelayanan, biasanya menyebabkan frekuensi Komplain cenderung menurun dan index reputasi perusahaan  semakin baik.

(*Penulis adalah Training Leader di JFI dan CTC)

Minggu, 13 Oktober 2013

Kolom Kardi Pakpahan tentang Keterkaitan Produk Asuransi dengan BPR

Keterkaitan Produk Asuransi dengan BPR
Oleh : Kardi Pakpahan*

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu bisnis institusi keuangan yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan, khususnya dalam enam tahun terakhir. Mengingat hal tersebut, maka diperlukan berbagai upaya supaya bisnis BPR dapat bertumbuh dan berkembang secara lebih baik lagi. Salah satu upaya lain yang dapat ditempuh untuk mengwujudkan hal tersebut adalah semakin meningkatkan keterkaitan (linkage) bisnis BPR dengan bisnis lembaga-lembaga keuangan lainnya, seperti asuransi misalnya.  Karena tak dapat dipungkiri keterkaitan bisnis Asuransi dan BPR masih belum maksimal dilakukan selama ini.
            Bila dicermati keterkaitan antara Bank Umum dan Asuransi dapat dikatakan sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Sebagian besar penyaluran dana premi dari nasabah asuransi, baik dari asuransi jiwa maupun dari asuransi umum atau kerugian,  ditempatkan pada instrumen Deposito pada Bank Umum. Keterkaitan produk bank umum dengan asuransi selama ini di sini dikenal dengan istilah bancassurance.
            Apa saja keterkaitan bisnis yang dapat dilakukan perusahaan asuransi dengan BPR, khususnya dalam membentuk rantai nilai (value chain) yang saling menguntungkan.  Pertumbuhan kredit yang disalurkan BPR dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan. Untuk untuk pertumbuhan portofolio kredit yang relative besar  itu, tentu diperlukan juga prospek bisnis asuransi, baik dalam produk asuransi jiwa kredit maupun asuransi jaminan kredit. Sudah sebaiknya potensi yang baik tersebut dapat digarap oleh industri asuransi.
            Produk asuransi, seperti asuransi jiwa kredit maupun asuransi untuk menjamin agunan kredit, memang diperlukan oleh BPR dalam rangka mengelola resiko kredit bagi BPR. Hanya saja selama ini, masih belum begitu tinggi penetrasi promosi produk asuransi kepada BPR.  Mengingat hal tersebut, maka untuk menciptakan keterkaitan usaha yang produktif, sudah sebaiknya perusahaan asuransi dengan baik menangani  implementasi produk asuransi bagi BPR. Disamping itu, seiring dengan perkembangan yang semakin kentara pada BPR, para pekerja BPR tentunya membutuhkan produk asuransi, seperti asuransi jiwa, ansuransi pensiun, asuransi kesehatan, dan lain-lain.
Terganjal KMK        
Dari sisi BPR, apa kira-kira produk yang dapat dipergunakan oleh perusahaan asuransi. Tentu, jawabnya adalah produk yang terkait dengan produk funding, seperti Deposito berjangka.  Hanya saja, hubungan mesra antara perusahaan asuransi dengan BPR saat ini terganjal dengan salah satu Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu  KMK No : 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, sebagaimana disempurnakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 135/PMK.05/2005. Ketentuan tersebut kurang mendukung perusahaan asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR, yaitu tidak diperhitungkan dalam penentuan Risk Base Capital (RBC) asuransi, karenanya sampai saat ini, perusahaan asuransi belum leluasa menempatkan dananya pada BPR. Marilah kita simak isi pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003. Disana dikatakan :”Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perbankan”. Jadi, pengertian bank pada KMK tersebut, tidak termasuk BPR. Dalam KMK yang dimaksudkan, diatur batasan penempatan Deposito perusahaan asuransi yang diikutkan dalam perhitungan RBC adalah penempatan Deposito perusahaan asuransi pada Bank Umum. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003,  kalau perusahaan asuransi menempatkan deposito pada BPR tidak diiuktsertakan dalam perhitungan RBC (sejenis CAR diperbankan).
            Untuk mendukung keterkaitan sistem finansial, maka menteri keuangan ada baiknya menyempurnakan ketentuan pembatasan bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan dananya di BPR. Tentu, ada beberapa alasan yang berkenaan dengan hal tersebut. Pertama, ditengah-tengah telah berlakunya ketentuan Lembaga Penjaminan Simpanan  (LPS) di perbankan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 24/2004, maka ketentuan KMK No.424/KMK.06/2003  membatasi perusahaan asuransi melakukan penempatan dalam bentuk deposito di BPR sebaiknya segera diperbaharui. Saat ini, dana simpanan di Bank Umum dan BPR sudah sama-sama dijamin.
Kedua, kecenderungan semakin baiknya pengawasan BPR oleh Bank Indonesia, khususnya melalui Direktorat pengawasan BPR. Disamping terus meningkatkan penagawasan BPR, saat ini Bank Indonesia, juga aktif mendukung pengaturan untuk semakin efektifnya penagawasan BPR, seperti melalui PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor : 7/51/PBI/2005 jo Surat Edaran Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia Nomor : 8/7/DPBPR/2006 tentang Laporan Bulanan BPR, sudah disampaikan secara elektronis kepada Bank Indonesia. Dalam pada itu, untuk mendukung transparansi keuangan BPR, semenjak 5 Oktober 2006 yang lalu Bank Indonesia, telah mengundangkan PBI No 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan BPR.  Dalam pada itu, system akuntansi pada BPR sudah menerapkan pedomanan akutansi yang baru melalui penerapan SAK ETAP dan PA BPR.
Pada masa lalu, memang ada BPR yang sulit melakukan pencairan Deposito para nasabahnya, tetapi untuk saat ini, hal seperti itu sudah tipis kemungkinan terjadinya, apalagi dengan berlakunya lembaga pejaminan simpanan (LPS), PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Diperkirakan ketika pengawasan BPR beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka pengawasan pada usaha BPRberpotensi  cenderung semakin baik.
Ketiga, suku bunga. Suku bunga deposito di BPR, masih cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan bank umum. Dengan demikian, return investasi deposito di BPR masih cenderung lebih menarik.
Keempat, untuk mendukung terciptanya kesetimbangan volume usaha diantara industri finansial, maka perlu diberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk dapat menempatkan deposito di BPR. Fakta emperik menyatakan, ketika sebagian besar bank umum bermasalah di penghujung tahun 1997 sampai tahun 1998 yang lalu, menimbulkan krisis ekonomi yang relatif lama. Saat itu volume usaha industri finansial berada di tangan bank umum.
Akhirnya,  penempatan dana  perusahaan asuransi akan cenderung lebih besar ke BPR  kalau ketentuan KMK No.424/KMK.06/2003 yang membatasi perusahaan asuransi membatasi penempatan depositonya pada BPR dapat diperbaiki. Untuk hal tersebut, sudah sebaiknya Menteri Keuangan dapat menyempurnakan ketentuan pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003 yang berisi batasan  bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR. Bila hal tersebut dapat dilakukan, penyebaran portofolio investasi pada industri keuangan akan kian tersebar dengan, sehingga resikonya pun cenderung lebih mudah dikendalikan secara nasional.
            Supaya keterkaitan antara perusahaan asuransi dengan BPR dapat menciptakan rantai nilai yang saling menguntungkan, maka masing-masing para pihak haruslah menyajikan pelayanan prima dan saling menguntungkan. Misalnya, kalau muncul resiko yang diasuransikan BPR, maka diharapkan perusahaan asuransi dengan cepat dapat melayaninya sesuai dengan kontrak polis asuransi. Begitu juga BPR yang mengelola portofolio deposito perusahaan asuransi misalnya, sudah sebaiknya melakukan penghitungan dan pembayaran bunga secara akurat dan tepat waktu.
            Peningkatan keterkaitan perusahaan  asuransi dengan BPR akan besar artinya dalam mendukung peningkatan volume usaha perusahaan asuransi dan BPR. Oleh karena itu, instansi yang terkait dengan pembinaan dan penagawasn asuransi, sudah seharusnya melakukan berbagai kebijakan yang positif dan konstruktif untuk mendukung peningkatan keterkaitan perusahaan asuransi dengan BPR. Semoga.

( *Penulis adalah Training Leader pada JFI dan CTC, Alumnus Program Hukum Kegiatan Ekonomi FH-UI,  PIN BBM = 24EC43D2, Email = kardipakpahan@gmail.com )

Minggu, 06 Oktober 2013

Kolom Kardi Pakpahan tentang Taksasi Kendaraan Second

Perihal  Taksasi  Agunan untuk Pembiayaan Kendaraan Second
Oleh : Kardi Pakpahan*
             Disamping membiayai kendaraan baru, baik roda empat maupun roda dua, beberapa perusahaan pembiayaan (multifinance) juga kerap melakukan pembiayaan kendaraan bekas (second) dan objek agunan yang digunakan adalah kendaraan yang dibiayai. Supaya resiko pembiayaan pemilikan kendaraan dapat diperhitungkan, khususnya untuk kendaraan bekas atau second, yang karenanya sekaligus berfungsi sebagai jaminan pengembalian kredit yang diberikan  kreditur atau perusahaan pembiayaan, maka sebaiknya dilakukan proses penilaian agunan yang menjadi kolateral secara baik. Proses  penilaian adalah tahapan - tahapan yang dilakukan oleh seorang Penilai sebelum sampai pada suatu kesimpulan nilai, didasarkan pada data-data yang diperoleh dari sumber yang otentik dan dapat dipercaya serta dilengkapi opini. Proses penilaian agunan yang baik akan menjadi filter pada kegiatan pembiayaan konsumen dengan agunan kendaraan yang dibiayai.
            Dalam melakukan proses penilaian, akan dilalui tahapan atau proses yang satu sama lain saling terkait. Tahapan yang dimaksudkan akan dikedepankan pada uraian berikut.
            Pertama, pembatasan masalah yang dinilai. Hal-hal yang termasuk dalam bagian ini antara lain : a) identifikasi agunan, seperti legalitas pemilik dari agunan; b) kepentingan dari penilaian yang dilakukan oleh Penilai adalah untuk agunan kredit; c)  tanggal penilaian harus ditetapkan mengingat perubahan nilai dapat terjadi dengan berubahnya waktu; d) penentuan jenis nilai yang dicantumkan pada laporan penilaian adalah nilai pasar dan nilai likuidasi.
Kedua, perencanaan taksasi. Lazimnya, cakupan kegiatan pada bagian ini adalah a) pengelompokan data yang dibutuhkan; b) sumber data; c) jadual kerja penilaian.
Ketiga, pengumpulan data. Kegiatan ini merupakan pengumpulan data umum maupun data khusus yang diperlukan dalam penilaian.
Keempat, verifikasi dan analisa data. Hal-hal yang diperhatikan pada kegiatan ini adalah  a) data harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, seperti Dealer, Asuransi Umum, dan lain-lain; b) harus dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dengan dokumen agunan  yang dinilai; c) data tersebut harus memenuhi syarat / asumsi dalam Nilai Pasar, yaitu : (1) Penjual dan atau Pembeli tidak dalam kondisi terpaksa, (2) penjual dan pembeli tidak mempunyai hubungan khusus, (3) Penjual dan pembeli memiliki pengetahuan yang cukup tentang objek  yang ditransaksikan, (4) Penjual dan Pembeli mempunyai waktu yang cukup, (5) tidak terdapat hal-hal yang khusus dalam transaksi tersebut.
Penilaian Kendaraan
Pada  bagian berikut akan dikedepankan penilaian kendaraan. Pertama, kelengkapan data dan bukti kepemilikan. Kelengkapan data dan bukti kepemilikan yang dimaksudkan adalah  Surat BPKB, STNK, faktur pembelian, KTP & KK (bila calon debitur adalah perorangan).
Kedua, pengecekan data-data dan bukti kepemilikan. Kegiatan penting pada bagian ini antara lain  : a) periksa seluruh dokumen, periksa masa berlaku STNK; b) cocokkan perihal yang ada di faktur pembelian dan BPKP dengan perihal yang ada pada STNK; c) periksa BPKB apakah sudah dibalik nama.
Ketiga, pengecekan lapangan dan teknik penilaian. Hal-hal yang lazim dilakukan pada kegiatan ini adalah a)   lakukan dialog dengan calon debitur dan pelajari tingkat intelektual, karakter pemilik agunan/calon debitur, selidiki tingkat kesadaran calon debitur atas resiko yang akan diterima; b) periksa dan cocokkan hal-hal yang ada pada BPKP dengan kondisi fisik kendaraan; c) periksa kondisi fisik kendaraan, catat kerusakan-kerusakan yang ada pada kendaraan; d) hidupkan mesin dan lakukan test jalan; e) periksa siapa yang menggunakan kendaraan tersebut dan dasar penggunaannya.; f) lakukan dokumentasi pada bagian-bagian penting pada kendaraan.
Keempat, pembuatan laporan. Proses terakhir dari taksasi atau penilaian adalah pada aspek pembuatan laporan sesuai dengan data yang diperoleh untuk kepentingan keputusan permohonan kredit oleh manajen atau Komite Kredit atau Loan Committee.
 Penilaian yang baik terhadap agunan, yang sekaligus objek yang dibiayai, merupakan hal yang penting dan strategis. Karena tak dapat dipungkiri, bagi perusahaan pembiayaan pemberian kredit adalah aset utama perusahaan dan sumber utama pendapatan. Kadangkala, yang kerap membuat perusahaan pembiayaan jatuh adalah karena kredit yang diberikan.  Oleh karena itu, proses penilaian yang baik, yang karenanya dapat meningkatkan kualitas kredit yang diberikan, perlu terus dikembangkan oleh perusahaan pembiayaan. Untuk mendukung hal tersebut, maka pengembangan kompotensi SDM perusahaan pembiayaan untuk melakukan penilaian atau taksasi yang efektif, ada baiknya perlu diupayakan secara kontiniu dan konsisten.
--------------------------
( *adalah Training Leader di JFI dan CTC, serta Advokat di bidang Keuangan - baik Usaha Bank maupun Non-Bank