Minggu, 18 Agustus 2013

Kolom Kardi Pakpahan :"Efektifitas Pengawasan Perusahaan Pembiayaan"

Efektifitas  Pengawasan Perusahaan Pembiayaan


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Pertumbuhan dan perkembangan Perusahaan Pembiayaan atau multifinance dalam beberapa tahun terakhir ini relatif baik di sini, yang ditandai dengan pertumbuhan volume usaha yang positif, misalnya sampai 31 Desember 2011, Total Aset Perusahaan Pembiayaan Nasional sebesar Rp 291,4 Triliun. Disamping sebagian besar Perusahaan Pembiayaan  dapat bertumbuh dan berkembang, ada juga beberapa yang  harus  gulung tikar.
            Di tengah-tengah pertumbuhan dan perkembangan perusahaan pembiayaan selama ini ada juga beberapa kalangan yang mulai mengingatkan supaya lebih hati-hati.  Misalnya, kondisi kredit sepeda motor di Indonesia jangan sampai  mengarah seperti kasus subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat.
Sinyal tersebut di atas sesungguhnya penting juga mengingat karakteristik usaha  Perusahaan Pembiayaan, yang membutuhkan prinsip kehati-hatian. Sebagian besar dana yang masuk ke sisi Pasiva Perusahaan Pembiayaan  adalah dana pihak lain, baik dari lembaga keuangan bank, lembaga non bank, atau sumber lainnya.
Berangkat  dari hal tersebut, maka perlu kehadiran  institusi pengawasan yang efektif bagi Perusahaan Pembiayaan. Dengan tema pengawasan, jangan mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah atau apa yang belum dapat berjalan sesuai dengan ketentuan dan bagaimana memperbaikinya dan mencegah supaya penyimpangan tidak terjadi lagi.
 Supaya dapat menyajikan pengawasan yang efektif pada perusahaan pembiayaan maka masih diperlukan beberapa perangkat ketentuan atau peraturan dan sistem/prosedur pengawasan (SOP). Beberapa hal yang perlu diatur akan dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, Pedoman Akuntansi dan Transparansi Laporan Keuangan  Perusahaan Pembiayaan. Pengaturannya dapat dibuat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketentuan ini menuangkan seluruh standar akuntansi yang lazim berlaku pada institusi keuangan, cara pengakuan pendapatan (apakah acrual atau cash basis), cara mencatat seluruh beban, juga didalamnya diatur seluruh bentuk standar laporan keuangan perusahaan pembiayaan, seperti Laporan Keuangan Bulanan, Laporan Keuangan Semester, Laporan Keuangan Tahunan, Laporan Keuangan Publikasi, Laporan Arus Kas serta segala bentuk Daftar Nominatif yang digunakan untuk mendukung Laporan Keuangan Perusahaan Pembiayaan. Dengan adanya ketentuan ini maka laporan keuangan Perusahaan Pembiayaan bisa tersaji menurut standar yang lazim berlaku yang disajikan secara konsisten dan transparan.
Kedua, prinsip kehati-hatian. Pelaksanaan prinsip kehati-hatian pada Perusahaan Pembiayaan, seperti 1) jumlah pinjaman bagi setiap Perusahaan Pembiayaan dibandingkan dengan jumlah modal sendiri (netrworth) dan Pinjaman Subordinasi dikurangi penyertaan (gearing ratio) ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10 kali; 2) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki Modal Sendiri sekurang-kuranya 50% dari Modal Disetor (paid in captital).
Karena sebagian besar  aset Perusahaan Pembiayaan ditempatkan  pada pos pinjaman yang diberikan atau piutang  pembiayaan, maka ada baiknya diatur secara lebih terperinci mengenai Kolektibilitas dan Penyisihan Penghapusan Piutang Pembiayaan.
Ketiga, penilaian tingkat kesehatan. Perlu standar penilaian kesehatan Perusahaan Pembiayaan. Kalau untuk perbankan penilaian tingkat kesehatan menggunakan metode CAMEL, perusahaan asuransi dengan RBC ( Risk Based Capital), maka pada Perusahaan Pembiayaan perlu diatur tentang penilaian tinggkat kesehatan. Karena karakteristik Perusahaan Pembiayaan adalah berdekatan dengan perbankan, maka pengaturan tingkat kesehatan bisa dengan memodifikasi CAMEL (Capital, Asset atau Aktiva Produktif, Management, Earning atau Rentabilitas, Liqudity atau Likuiditas). Pada bagian manajemen supaya diakomodir tentang penerapan manajemen resiko, seperti risiko kredit, resiko operasional, resiko hukum, dan penerapan risk based supervision.
Dalam konteks pelaksanaan pengawasan, baik pengawasan langsung (aktif) maupun pengawasan tidak langsung (pasif), perlu terlebih dahulu ditetapkan manual Sistem dan Prosedur (Sisdur) Pengawasan  Perusahaan Pembiayaan pada Institusi terkait, khususnya pada  OJK. Manual Pedoman atau Sisdur pengawasan itu merupakan manual pengawasan yang akan diterapkan.
Berbarengan dengan penyempurnaan Sisdur Pengawasan yang dimaksudkan maka yang tak kalah pentingya adalah mempersiapkan dan mengembangkan tim atau SDM (Sumber Daya Manusia) Pengawas atau Auditor, yang memiliki integritas, motivasi, kompetensi dan  pengetahuan yang mendukung.
Akhirnya pengawasan efektif yang berkesinambungan dan konsisten, searah dengan pertumbuhan dan perkembangan Perusahaan Pembiayaan sangat diperlukan, yang juga berarti resiko industri Perusahaan Pembiayaan semakin dapat dikendalikan dengan baik. Dengan demikian, makna Perusahaan Pembiayaan bagi kegiatan pembangunan menjadi kian bermakna, baik masa kini maupun masa yang akan datang.
----------------------

( *Kardi Pakpahan adalah Training Leader pada JFI & CTC, Praktisi Hukum di Bidang Keuangan; E-mail = kardipakpahan@gmail.com; PIN BB = 24EC43D2    Alumnus Program Kekhususan Hukum Kegiatan Ekonomi FH-UI))

Kolom Kardi Pakpahan : Prinsip Kehati-hatian pada Perusahaan Perasuransian

Prinsip Kehati-hatian  pada Perusahaan Perasuransian


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Beberapa tahun terakhir, institusi yang terkait dengan pembinaan dan pengawasan usaha pada sektor keuangan secara berkesinambungan melakukan penataan melalui beberapa paket kebijakan.  Kalau dicermati konten dari kebijakan itu, dapat dikatakan, adalah bagian dari upaya untuk menjadikan usaha sektor keuangan untuk bertumbuh dan berkembang dengan dukungan pilar yang kokoh. Lembaga finansial yang seperti itu, pada akhirnya yang dapat memberi peran yang signifikan pada kegiatan ekonomi, khususnya kepada masyarakat sebagai pihak yang menggunakan produk dan jasa berbagai perusahaan di sektor keuangan.
            Salah satu kebijakan yang dimasudkan adalah melalui kehadiran PP No.39/2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Didalam Peraturan Pemerintah (PP) tersebut dipertegas tentang pengaturan yang terkait dengan beberapa prinsip kehati-hatian atau prudential. Melalui implementasi prinsip prudential yang dimaksudkan maka diharapkan disamping dapat membuat perusahaan asuransi berdiri dengan dukungan pilar yang kokoh, juga perusahaan asuransi yang ada di sini bisa berperan dengan baik pada pasar tunggal ASEAN (Asean Economic Integration)  tahun 2015.
Beberapa ketentuan prinsip kehati-hatian yang diatur pada PP No.39/2008 akan dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, fungsi utama dalam organisasi. Berdasarkan pasal 3c PP No.39/2008, perusahaan asuransi wajib memiliki fungsi pengelolaan resiko, fungsi pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan.
Kedua, tenaga ahli.  Pada pasal 3d PP No.39/2008, disyaratkan supaya perusahaan asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi umum untuk mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahannya dalam jumlah yang cukup untuk mengelola kegiatan usahannya.
Ketiga, komisaris independen. Perusahaan asuransi, menurut pasal 3e PP No.39/2008,  harus memiliki komisaris independen, dengan tugas pokok untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis. Komisaris yang dimaksudkan bukan merupakan afiliasi pemegang saham, direksi atau komisaris  dan hanya dapat menjadi komisaris independen paling banyak pada 2 perusahaan asuransi. Ketentuan ini dapat dikatakan melengkapi ketentuan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.421/KMK.06/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatuhan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian.
Keempat,  penerapan GCG. Sama dengan usaha finansial lainnya, seperti perbankan, perusahaan asuransi, berdasarkan pasal 3g PP No.39/2008, diwajibkan melaksanakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik  atau Good Corporate Governance (GCG). Penerapan GCG pada perusahaan asuransi akan mendorong terjadinya keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran.
Kelima, larangan penempatan investasi.  Sebagian besar sumber dana pada perusahaan asuransi akan disalurkan ke instrumen investasi. Menurut pasal 13a PP No.39/2008, Perusahaan Perasuransian dilarang memberikan pinjaman kepada atau menempatkan kekayaan pada pemegang saham dan afiliasinya. Pola seperti itu pada masa lalu diduga banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi yang terhimpun dalam satu group. Sehingga kalau terjadi klaim dari tertanggung atu pemegang polis misalnya, maka  sulit mendapat pelayanan yang baik.
Keenam, modal pendirian. Sama dengan lembaga usaha keuangan lainnya, seperti perbankan, Perusahaan Asuransi juga didorong untuk meningkatkan permodalan. Pada pasal  6 PP No.39/2008 dikatakan bahwa modal disetor minimum bagi pendirian asuransi adalah Rp 100 Miliar.
Ketujuh, modal sendiri. Modal sendiri merupakan penjumlahan dari modal disetor minimum, agio saham, saldo laba, cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai surat berharga, dan selisih penilaian aktiva. Besarnya modal sendiri perusahaan asuransi, menurut pasal 6 a PP No.39/2008 adalah paling sedikit sebesar modal disetor minimum. Dengan demikian, kalau  modal sendiri berkurang karena kerugian yang besar, perusahaan asuransi yang bersangkutan  harus menambah modal.
Adapun tahapan pemenuhan modal sendiri perusahaan asuransi, berdasarkan pasal 6 B PP No.39/2008 adalah a) paling sedikit Rp 40 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2008; 2) paling sedikit sebesar Rp 70 miliar paling lambat 31 Desember 2009; 3) paling sedikit sebesar Rp 100 miliar paling lambat 31 Desember 2010.
Kedelapan, dana jaminan. Berdasarkan pasal 7 PP No.39/2008, Perusahaan Asuransi harus memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor minimum. Dana jaminan itu merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis. Melalui peningkatan modal disetor minimum, berarti besarnya dana jaminan perusahaan asuransi juga meningkat.
Efektifitas
            Masih diperlukan berbagai upaya supaya penerapan prinsip kehati-hatian pada perusahaan asuransi berlaku efektif. Sebagian dari upaya yang dimaksudkan, pertama, peningkatan modal intelektual. Dalam rangkaian  reformasi sektor keuangan, aspek modal finansial diharuskan mengalami peningkatan. Peningkatan modal finansial perusahaan asuransi bisa kurang bermakna manakala tidak diikuti dengan peningkatan modal intelektual atau human capital. Pada pasal 29 ayat 1 KMK No.426/KMK.06/2003 disebutkan :”Perusahaan Asuransi wajib menganggarkan dana untuk pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sekurang-kurangnya 5% dari jumlah biaya pegawai, Direksi dan Komisaris, untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, dan keahlian di bidang usaha perasuransian bagi karyawannya”. Oleh karena itu, dalam membangun human capital, untuk meningkatkan kinerja perusahaan asuransi, maka perlu dilakukan kegiatan pengembangan bagi seluruh SDM (Sumber Daya Manusia) sesuai dengan kebutuhan organisasi, baik SDM yang terkait dengan pelayanan, pengelolaan resiko maupun pengelolaan keuangan.
            Kedua, peraturan pelaksana. Beberapa peraturan pelaksana masih diperlukan dalam rangka menjalankan prinsip kehati-hatian pada perusahaan asuransi, seperti, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Good Corporate Governance, terutama yang terkait dengan pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.
            Ketiga, pemenuhan permodalan. Supaya perusahaan  asuransi dapat berkembang dengan baik, dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, serta  dapat menuai manfaat dari integrasi ekonomi ASEAN 2015, maka dukungan permodalan adalah sangat penting. Untuk pemenuhan permodalan pada perbankan, baik untuk bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat, sudah berjalan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan. Perusahaan asuransi sebaiknya memiliki komitmen untuk memenuhi permodalan yang ditentukan dengan berbagai upaya yang dapat dilakukan, termasuk melalui strategi  Merger, Konsolidasi atau Akuisisi.
            Keempat, pengawasan. Kinerja pengawasan yang efektif dari instansi yang terkait diperlukan untuk mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan sekaligus mendukung tercapainnya target reformasi sektor keuangan, yang karenanya bisa membuat perusahaan asuransi  kian bermakna pada kegiatan pembangunan. Karena sebagian besar kekayaan ditempatkan di pos Investasi di sisi Aktiva Neraca perusahaan asuransi, maka daftar nominatif dan rasio investasi untuk setiap instrumen, ada baiknya  diperiksana secara langsung secara berkala oleh instansi terkait sebagaimana yang diatur dalam KMK No.424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.  

 ( *Kardi Pakpahan adalah Training Leader pada JFI dan CTC, serta Praktisi Hukum di Bidang Keuangan; Alumnus Program Kekhususan Hukum Kegiatan Ekonomi, Fak. Hukum Universitas Indonesia;  E-mail = kardipakpahan@gmail.com; PIN BB = 24EC43D2   )

Sabtu, 17 Agustus 2013

Kolom Kardi Pakpahan : Penerapan MRO dalam Transaksi e-Banking

Penerapan MRO dalam Transaksi e-Banking


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Perkembangan e-Banking (elektronic-Banking) dalam beberapa tahun terakhir ini sudah semakin luas dan dalam. Masyarakat dan pengelola perbankan sama-sama mendapatkan banyak manfaat. Berbagai transaksi yang dapat dilakukan dengan adanya e-Banking, seperti untuk melakukan pembayaran aneka keperluan,  jasa transfer, kartu kredit. Bagi bank sendiri pengembangannya,   difokuskan untuk meningkatkan pendapatan di luar bunga (fee base income). Waktu yang digunakan untuk melakukan transaksi perbankan atau usaha finansial lainnya sudah semakin singkat melalui kehadiran e-Banking dan pada umunya berbagai transaksi dapat berlangsung 24 jam di berbagai wilayah secara terintegrasi.
            Dalam kontek produk perbankan atau produk usaha keuangan lainnya, penerapan e-Banking, ada yang menjadi nama produk bank, seperti Credit Card, Visa Money Transfer, Remittance, atau aplikasinya sebagai fasilitas atau manfaat tambahan kepada produk yang ada, misalnya, untuk produk tabungan dilengkapi dengan fasilitas ATM, Kartu Debet, SMS Banking, Phone Banking, transfer, menjadi alat pembayaran untuk berbagai produk atau jasa.
            Di tengah-tengah perkembangannya, implementasi e-Banking masih kerap diperhadapkan dengan berbagai masalah. Masalah tersebut terkait dengan  upaya yang mengkomunikasikan perlunya perlindungan kepada nasabah. Banyak keluhan atau komplein masyarakat pengguna ATM atau Kartu Kredit menghiasi rubrik Surat Pembaca di media massa. Sedangkan masalah lainnya yang menonjol adalah praktek cyber crime dan modus pencurian melalui mesin ATM.
            Beberapa tahun yang lalu misalnya, untuk mendapatkan nomor kartu kredit orang lain (carding), ada hacker yang membeli situs yang mirip dengan milik salah satu bank nasional. Kepala Departemen Forensik RSMH Palembang, dr Junus Wijaya, SpF, pernah menjadi korban cyber crime (Sumatera Ekspres, 19 Agustus 2008). Dua kartu kreditnya dibobol hacker untuk transaksi on line, dengan modus operandi pelaku menelepon pemilik kartu kredit seolah-olah dari call center penerbit kartu, untuk mendapatkan nomor kartu kredit.
            Untuk pengembangan dan aplikasi e-Banking saat ini maupun pada masa yang datang, sekaligus untuk mengatasi masalah-masalah yang mengemuka, sehingga kehadiranya kian bermakna, maka penerapan Manajemen Resiko Operasional (MRO) didalamnya perlu dijadikan menjadi budaya atau kultur. Implementasi MRO pada e-Banking berfokuskan pada pengelolaan resiko operasional. Resiko operasional merupakan resiko bank atau perusahaan jasa keuangan yang tidak dapat melakukan kegiatan operasionalnya secara normal, yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia atau SDM (Sumber Daya Manusia), gangguan dan kegagalan sistem informasi manajemen dan komunikasi, ketidakpastian ketentuan, kelemahan struktur pengendalian, dan adanya problem eksternal.
            Menjadikan MRO sebagai budaya dalam penerapan e-Banking, adalah hal yang fundamental dan kalau tidak dilaksanakan secara baik, dapat berpengaruh negatif kepada hal lainnya, seperti, pada sisi resiko hukum, resiko reputasi. Mesin ATM yang sering mengalami transaksi gagal misalnya, dapat menurunkan reputasi sebuah bank. Dalam pada itu, e-Banking yang tidak dikendalikan dengan sebuah MRO yang baik dan konsisten serta kontiniu, dapat menimbulkan kerugian, yang pada akhirnya berpengaruh negatif pada permodalan Bank atau Perusahaan Jasa Keuangan.
            Dalam rangka penerapan MRO pada transaksi e-Banking paling tidak perlu diperhatikan 4 hal utama. Pertama, faktor SDM. Pengelola perbankan memastikan tersedia Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu, dalam jumlah memadai,  kompeten, terlatih, memiliki motivasi dan sikap kerja positif dalam menjalankan operasional e-Banking. Termasuk tentunya  SDM dari mitra bank. Misalnya jangan sampai di pusat perbelanjaan kepada customer, selaku pemilik kartu kredit, yang berbelanja misalnya disampaikan pegawai pusat perbelanjaan bahwa pembelian barang dikenakan bunga 0%, tetapi kenyataan tidak demikian. Jadi, harus ada standar pelayanan antara penerbit kartu kredit dengan mitra usahannya, seperti para pedagang atau pengelola pusat perbelanjaan.
            Kedua, teknologi. Karakteristik teknologi untuk mendukung e-Banking yang digunakan Perbankan paling tidak memiliki reliability, integrity, dan continuity yang tinggi. Penggunaan teknologi yang out of date dan rancang bangun teknologi informasi yang kurang applicable, demi penghematan biaya haruslah dihindari. Pengembangan dan penerapan teknologi ini tetap diupayakan memberi nilai tambah bagi nasabah. Perlindungan kepada pemegang Kartu ATM misalnya, ada yang diberikan sebuah bank kepada nasabahnya dengan cara keharusan melakukan otorisasi untuk setiap tahapan transaksi yang dilakukan. Dengan demikian, walapun kartu ATM misalnya tertinggal di mesin ATM, tidak dapat  digunakan oleh orang lain.
            Ketiga, proses. Lazimnya, proses  bermasalah pada penerapan e-Banking terjadi karena disain proses yang tidak tepat, prosedur yang tidak tegas dan jelas, terlalu kompleks dan sulit dimengerti, penetapan atau pemberian kewenangan yang tidak terkendali. Hal-hal tersebut perlu dikendalikan dengan baik.
            Keempat, ekternal. Faktor eksternal  yang sangat perlu dikendalikan  terutama dalam pencegahan dan pengendalian  segala bentuk modus-modus operandi yang dilakukan oleh para hacker.  Karena masih kerap terjadi pencurian melalui mesin ATM, maka masih perlu dilakukan upaya pengendalian yang baik, supaya eksistensi Anjungan Tunai Mandiri atau tempat ATM benar-benar aman dan nyaman.
            Sebagai sebuah budaya, dalam aktivitas MRO pada penyelenggaraan e-Banking, maka  haruslah dilakukan penilaian dan mitigasi pada setiap bagian resiko operasional yang mungkin terjadi secara berkala. Dengan mitigasi yang dilakukan maka seluruh resiko operasional yang ada dapat dipetakan ke dalam empat hal utama, yaitu dihindari, dikurangi, dipindahkan, diterima. Misalnya, setelah diukur transaksi gagal seluruh ATM sebuah bank secara nasional sebesar 20% dari seluruh transaksi dalam periode tertentu, maka perlu dilakukan penilaian maupun mitigasi dalam rangka mengurangi transaksi gagal melalui ATM. Resiko transaksi gagal ATM, tidak hanya mempengaruhi resiko operasional, tetapi hal seperti itu bisa mengurangi reputasi sebuah bank atau perusahaan jasa keuangan.
            Penerapan dan pengembangan e-Banking supaya semakin baik pada masa selanjutnya, maka segala regulasi yang terkait didalamnya haruslah diterapkan secara baik. Diantara regulasi yang dimaksudkan adalah pelaksanaan PBI No.7/6/2005 tentang Transparansi Produk Bank, PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Aspek transparansi produk bank dan penyelesaian komplein nasabah yang mengarus ke media massa, khususnya dengan produk bank yang terkait dengan e-Banking,  tampaknya kadang kala masih belum kondusif dan kerap merugikan nasabah. Padahal, seperti yang telah diketahui, salah satu pilar  Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah program peningkatan perlindungan nasabah, yang didukung dengan 4 unsur utama, yaitu 1) penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah; 2) pembentukan lembaga mediasi yang independen; 3) penyusunan transparansi informasi produk; 4) mempromosikan edukasi untuk konsumen. Sesunggungnya, menjalankan MRO pada penyelenggaraan e-Banking dan menjadikannya sebagai budaya, adalah memiliki makna yang sama dengan upaya peningkatan perlindungan nasabah.

 (  *Penulis adalah Training Leader pada CTC – COMPETENCY TRAINING CENTRE dan JFI – JAKARTA FINANCIAL INSTITUTE  serta praktisi hukum  di bidang Keuangan; Email : kardipakpahan@gmail.com; PIN BB : 24EC43D2  )

Minggu, 11 Agustus 2013

ALBUM JFI ~ CTC BERSAMA DIREKTUR PENGAWASAN BANK BI

DI GEDUNG TIFICAL BANK INDONESIA (BI), JAKARTA, BEBERAPA WAKTU LALU, KARDI PAKPAHAN, SH, MBA ~ SELAKU TRAINING LEADER JFI - CTC, MELAKUKAN DIALOG DENGAN BPK. IRMAN DJAJA DALIMI, SALAH SATU DIREKTUR  DIREKTORAT PENGAWASAN BANK DI BI   DENGAN THEMA :"PENGASAWAN DAN PEMBINAAN BANK"