Kamis, 28 Mei 2020

Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata

Catatan Hukum :
Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata

Oleh : Kardi Pakpahan*
            Bagaimana sekiranya bila amar putusan kondemnatoir  pada perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, yang diputuskan tanpa memutus pokok perkara perdata, yang bersifat deklatoir  ? Untuk melihat bagaimana hubungan diantara amar putusan Deklatoir dengan   putusan kondemnatoir pada uraian berikut dikedepankan pengertian  3 sifat amar putusan perkara perdata. Pertama, putusan deklaratoir (declaratoir vonnis). Sifat putusan ini merupakan penjelasan atau penetapan tentang suatu hak maupun status, yang berisi tentang pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata.  Misalnya, menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 876),  tentang gugatan dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, berdasarkan pasal 1365 KUHPer, jika gugatan dikabulkan maka  putusan didahului dengan amar deklaratoir berupa pernyataan :”bahwa tergugat telah bersalah melakukan perbuatan melawan hukum” atau “Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Sedangkan bila pokok gugatan misalnya tentang wanprestasi maka amar deklatoirnya :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat wanprestasi kepada Penggugat”.
            Kedua, putusan konstitutif ( constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya amar putusan konstitutif perkara perceraian :”Menyatakan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya”. Putusan perceraian ini  meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, bersamaan dengan itu mengemua keadaan hukum baru kepada suami istri sebagai Duda dan Janda.
            Ketiga, putusan kondemnatoir (comdemnatoir) adalah putusan yang memuat amar yang menghukum  salah satu pihak berperkara. Putusan yang bersifat kondemnatoir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari amar deklaratif atau konstitutif. Contoh  amar  putusan kondemnatoir misalnya kalau pokok perkaranya  wanprestasi : “Menghukum TERGUGAT untuk membayar seluruh hutangnya kepada PENGGUGAT, yaitu berupa pokok pinjaman, bunga, dan denda, berdasarkan Surat Perjanjian Kredit Nomor : 072/3319/5/PB/X/2017 tanggal 30 Oktober 2017, sebesar Rp 620.887.500,-, yang terdiri dari : Pokok Pinjaman Rp.    500.000.000,-; Tunggakan Bunga Rp.  112.750.000,- ; Denda Rp. 8.137.500” sedangkan kalau pokok perkaranya misalnya perbuatan melawan hukum, maka contoh amar putusan komdemnatoirnya :’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”.
            Menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 877), amar putusan komdentaoir merupakan satu kesatuan dengan amar deklaratif sehingga amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir dan penempatan amar deklatoir dalam putusan yang bersangkutan, mesti ditempatkan mendahului amar kondemnatoir atau dengan perkataan lain amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir dari amar putusan deklaratoir.
            Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, bagaimana misalnya dalam sebuah putusan  perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, membuat putusan kondemnatoir seperti :” ’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”, tanpa membuat atau didahului dengan amar putusan deklaratoir, seperti :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Mengingat amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir atau amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir terhadap amar putusan deklatoir, maka amar putusan seperti hal tersebut mengandung cacad hukum.
(*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Trainer)

Kamis, 14 Mei 2020

Penjualan Adaptif Perbankan pada Pandemi Covid-19, Saatnya Berpikir dan Bertindak Kreatif


Catatan Pemasaran :
Penjualan Adaptif Perbankan pada Pandemi Covid-19, Saatnya Berpikir dan Bertindak Kreatif


Oleh : Kardi Pakpahan*
                Dalam suatu Negara, termasuk di Indonesia,  ada 3 fungsi perbankan yang menonjol, yaitu 1) fungsi perbankan sebagai sarana pertumbuhan ekonomi; 2) fungsi perbankan sebagai bagian dari sarana mendukung kestabilan ekonomi/moneter; 3) fungsi perbankan sebagai sarana pemerataan dalam kegiatan pembangunan – terjadinya aliran uang dari masyarakat yang kelebihan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana.
                Pada pandemi covid-19, baik  dalam status social distancing maupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), usaha perbankan merupakan bidang usaha yang diizinkan tetap beroperasi. Hanya saja, lingkungan usaha pada pandemi covid-19, diperhadapkan dengan kondisi perlambatan atau ketidakpastian. Hal itu dapat  terjadi, karena beberapa usaha sudah libur atau menerapkan pola kerja Work From Home dan ada juga perusahaan yang sudah mulai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dikarenakan kegiatan usaha yang sudah mulai menurun.
                Lingkungan usaha perbankan pada pandemi Covid-19 ditandai dengan kecenderungan pertumbuhan dana, penyaluran kredit, dan pendapatan bunga yang menurun dan di sisi lain Non Perform Loan atau kredit non lancar memiliki trend meningkat. Dari sisi penjualan produk perbankan, menghadapi ketidakpastian tersebut, diperlukan pola baru, karena cara yang sama beberapa waktu lalu, kerap kali tidak efektif lagi diterapkan untuk saat ini, baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran kredit oleh perbankan.
                Salah satu pola penjualan produk perbankan yang masih relevan diterapkan pada pandemi covid-19 adalah penjualan yang adaptif, dengan artikulasi tidak mungkin menghadapi lingkungan usaha perbankan dengan jurus yang sama dengan masa lalu – perlu berpikir dan bertindak  kreatif. Dengan demikian, diharapkan maka sisi ketidakpastian nantinya dapat diatasi, sehingga pada akhirnya dapat mendukung peningkatan kinerja perbankan, yang pada akhirnya dapat berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
                Dengan mengutip pendapat Spiro & Weitz, Penjualan produk perbankan yang adaptif merupakan suatu kegiatan mengubah perilaku penjualan selama ataupun setelah terjadinya interaksi dengan nasabah, yang dilakukan berdasarkan pada informasi yang diterima mengenai situasi penjualan, baik ketika pada aktivitas prospecting, Contacting,  Probing, Presenting, Follow up atau Close the sales. 
                Pilihan adaptasi yang dilakukan oleh Penjual atau Account Officer (AO) Bank, biasanya dikaitkan dengan dampak perubahan yang terjadi di lingkungan usaha perbankan dengan intensitas perubahan yang diperlukan. Misalnya, jika dampak ketidakpastian yang muncul relatif rendah, sementara perubahan yang diperlukan untuk adaptasi juga rendah, maka biasanya tipe adaptasi yang diperlukan adalah perlunya dilakukan percepatan dalam kegiatan penjualan produk perbankan. Tentu, masih ada beberapa model adaptasi penjualan lainnya.
                Supaya Penjual mampu melakukan penjualan yang adaptif, maka paling tidak dipengaruhi oleh 4 hal utama, yaitu Pertama, proaktif. Kebiasaan proaktif berarti mau melakukan persiapan perjualan dengan penuh tanggung jawab serta mau dan mampu menata suasana hati supaya selalu positif.
Kedua, Pembelajar.   Supaya dapat melakukan  penjualan yang adaftif, Penjual harus memiliki budaya belajar yang tinggi, baik belajar cepat, belajar bijak, dan belajar cerdas. Belajar cepat diperlukan karena banyak pengetahuan baru lingkungan pasar penjualan yang perlu dipelajari atau diketahui. Belajar bijak merupakan belajar yang dilakukan dari kesuksesan dan kegagalan yang dilakukan di sisi internal. Sedangkan belajar cerdas merupakan belajar yang dilakukan atas kesuksesan atau kegagalan pesaing atau Kompetitor.   
                Ketiga, karakteristik. Untuk  dapat melakukan penjualan yang adaptif, maka diperlukan karakteristik khusus dari Penjual atau AO. Paling tidak ada 5 karakteristik yang diperlukan, yaitu 1) ketekunan yang tinggi; 2) dapat diandalkan karena memiliki pengetahuan, sikap yang positif dan ketrampilan dalam melaksanakan penjualan; 3) tulus atau memiliki integritas yang tinggi; 4) memiliki motivasi yang tinggi; 5) empatik. Khususnya karakteristik empatik dalam penjualan yang adaptif sangat diperlukan pada kondisi pandemi covid-19, karena cenderung banyak calon nasabah yang merasa kuatir atau takut. Dengan demikian, karakteristik empatik dari Penjual akan dapat mempercepat rasa percaya atau keyakinan atau trust building dari calon nasabah.
                Keempat, ketrampilan komunikasi. Diperlukan ketrampilan komunikasi yang baik, supaya dapat melakukan penjualan produk yang adaptif, seperti kemampuan berkomunikasi yang efektif, kemampuan komunikasi dua arah walapun ada hambatan dan jarak (misalnya pakai masker dan menjaga jarak ketika komunikasi tatap muka), kemampuan komunikasi yang empatik.
(*Penulis adalah Trainer Perbankan dan Seorang Advokat).       

Minggu, 03 Mei 2020

Relaksasi Restrukturisasi Kredit Menghadapi Pandemi Covid-19

Catatan Restrukturisasi  :

Relaksasi Restrukturisasi Kredit Menghadapi Pandemi Covid-19


Oleh : Kardi Pakpahan*

                Dalam rangka menghadapi pandemi covid-19, pada 16 Maret 2020 OJK memberlakukan POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai kebijakan Countercyclical Dampak Penyebab Covid-19, yang diberlakukan untuk Bank Umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah. POJK yang mengatur relaksasi restrukturisasi  ini diberlakukan dari 16 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021.
                Adapun latar belakang diundangkanya POJK No.11/POJK.03/2020 adalah sebagai berikut, pertama, perkembangan penyebaran Covid-19  secara global telah berdampak secara langsung ataupun secara tidak langsung terhadap kinerja dan atau kapasitas debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran kredit.
                Kedua, dampak terhadap kinerja dan kapasitas debitur tersebut akan meningkatkan resiko kredit yang berpotensi mengganggu kinerja perbankan dan stabilitas sistem keuangan sehingga dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
                Ketiga,  untuk mendorong optimalisasi kinerja perbankan, khususnya fungsi intermediasi , menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian  perlu diambil kebijakan stimulus perekonomian sebagai countercyclical  dampak covid-19, yaitu POJK No.11/POJK.03/2020.
Substansi
                Fasilitas kredit yang dapat dimasukkan dalam relaksasi restrukturisasi ala POJK No.11/POJK.03/2020  haruslah memenuhi kriteria, yaitu terdampak pandemi Covid-19, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk UMKM, yaitu Debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada Bank karena Debitur atau usaha debitur terdampak dari penyebaran Covid-19, baik secara langsung atau tidak langsung pada sektor ekonomi antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, manufaktur, pertanian dan pertambangan.
Apa saja subtansi relaksasi restrukturisasi kredit dalam POJK No.11/POJK.03/2020 ? Pertama, Kualitas kredit yang direstrukturisasi ditetapkan lancar sejak dilakukan retrukturisasi ( Vide : Pasal 5 ayat 1 POJK No.11/POJK.03/2020). Ketentuan restrukturisasi dalam pedoman akuntansi dan POJK terkait sebelumnya, misalnya kolektibilitas setelah restrukturisasi paling tinggi Kurang Lancar (KL) bila kredit yang diretrukturisasi sebelumnya kualitasnya Diragukan (D) atau Macet (M),  sedangkan kalau kredit yang direstrukturisasi dengan kualitas Lancar (L), Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar (KL) maka kualitas aset setelah restrukturisasi adalah tetap.
Kedua,    restrukturisasi kredit dapat dilakukan terhadap kredit yang diberikan sebelum maupun setelah Debitur terkena dampak penyebaran Covid-19 (Vide : Pasal 5 ayat 2 POJK No.11/POJK.03/2020).  Berbicara mengenai  kredit yang terdampak penyebaran pandemi covid-19 pada recovery kredit, tentu baik kredit lancar (perform) maupun pada recovery kredit non lancar (non perform). Hanya saja untuk kredit dengan kualitas non lancar,  ada syarat khususnya, yaitu setelah direstrukturisasi dapat mendukung kinerja Bank, yang biasanya syarat khususnya Debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit dan Debitur memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi. Misalnya, pak Anto (bukan nama sebenarnya), Debitur sebuah Bank dengan kolektilitas atau kualitas aset Diragukan (D) terhitung  Februari 2020, dengan bidang usaha jahit Baju, dan setelah mulai Maret 2020 mengembangkan usahanya juga untuk menjahit Masker kain untuk mencegah penyebaran pandemi covid-19, omset usaha dan sisa penghasilan semakin positif, tetapi belum dapat menyelesaikan seluruh  tunggakan bunga dan belum mampu membayar angsuran seperti yang terdapat pada Perjanjian Kredit awal. Tentu, bila debitur Anto, terdampak covid-19, baik secara lanngsung dan tidak langsung, terbuka dimasukkan dalam relaksasi restrukturisasi kredit sesuai dengan POJK No.11/POJK.03/2020 .
Ketiga, Kredit BPR yang direstrukturisasi berdasarkan POJK No.11/POJK.03/2020 dikecualikan dari  penerapan perlakuan akuntansi restrukturisasi kredit, baik yang terdadapat pedoman akuntansi muapun pada POJK terkait, seperti misalnya pada pembentukan CKPN atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai, termasuk juga tentunya dalam kemungkinan mengoreksi kelebihan PPAP (Penyisisan Penghapusan Aktiva Produktif) setelah kredit yang diretrukturisasi mulai dilakukan pembayaran angsuran oleh Debitur. Pada pasal 5 ayat 3 POJK No.11/POJK.03/2020 disebutkan :”Kredit bagi BPR atau pembiayaan bagi BPRS yang direstrukturisasi dikecualikan dari penerapan perlakuan akuntansi restrukturisasi kredit atau pembiayaan”.
Sedangkan cara retrukturisasi kredit menurut POJK No.11/POJK.03/2020 dapat dilakukan dengan : 1) penurunan suku bunga; 2) perpanjangan jangka waktu; 3) pengurangan tunggakan pokok; 4) pengurangan tunggakan bunga; 5) penambahan fasilitas kredit; 6) penundaan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga (grace periode); 7) konversi kredit menjadi penyertaan modal (yang hanya berlaku untuk bank umum, untuk BPR tidak berlaku karena BPR tidak dapat melakukan penyertaan).
Mengingat dampak negatif pandemi covid-19 pada bank, maka untuk meningkatkan kinerja bank dan mendukung pertumbuhan ekonomi, maka bank perlu menerapkan POJK No.11/POJK.03/2020 dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. Dalam pada itu, Bank yang melakukan restrukturisasi kredit menyampaikan Laporan Stimulus Kredit atau  Pembiayaan Restrukturisasi, sesuai dengan format yang terdapat pada POJK No.11/POJK.03/2020, yang substansi utamanya antara lain : a) Nama Debitur; b) CIF; c) Sektor Ekonomi; d) Plafon; e) Baki Debet; f) Kualitas Aset sebelum Direstrukturisasi (Misalnya, 1 1 (lancar); 2 (Dalam Perhatian Khusus); 3(Kurang Lancar); 4 (Diragukan); atau 5 (Macet).
(*Penulis adalah Trainer Perbankan, Advokat dan Alumnus Program Kekhususan Hukum Kegiatan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia)