Opini
:
Oleh : Kardi
Pakpahan*
Dalam waktu belakangnan ini salah satu
simpul informasi tentang Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang mengemuka di
media massa adalah perihal komisaris pada perusahaan pelat merah atau BUMN,
seperti berita tentang perubahan susunan dewan komisaris pada PT Pelindo 1.
Tak dapat dipungkiri upaya-upaya
pembenahan BUMN sudah banyak dilakukan,
khususnya semenjak reformasi ekonomi bergulir pada tahun 1997/1998. Buah dari
pembenahan itu, beberapa BUMN telah melakukan tranformasi dengan tata
kelola, kinerja dan daya saing yang
relatif lebih baik,
Diharapkan pembenahan yang dilakukan
pada BUMN selama ini dapat terus berjalan kearah yang lebih maju, bukan sebaliknya.
Termasuk tentunya tentang keberadaan dewan komisaris yang semakin baik pula,
untuk mendukung peningkatan kinerja dan daya saing
Perihal persyaratan dewan komisaris BUMN diatur dalam
Peraturan Menteri BUMN No.02/MBU/02/2015, yang dikelompokkan dalam 3 bagian. Pertama,
persyaratan formal, yaitu a) orang perseorangan; b) cakap melakukan perbuatan
hukum; c) tidak pernah dinyatakan pailit dalam waktu 5 tahun sebelum
pencalonan; d) tidak pernah menjadi anggota direksi atau dewan komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5
tahun sebelum pencalonan; e) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana yang merugikan keuangan Negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor
keuangan dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan.
Kedua,
persyaratan materil, seperti a) integritas; b) dedikasi; c) memahami
masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi
manajemen, d) memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha perseroan
dimana yang bersangkutan dicalonkan; e) dapat menyediakan waktu yang cukup
untuk melaksanakan tugasnya.
Ketiga,
persyaratan lain. Bagian yang masuk pada persyaratan komisaris BUMN pada persyaratan ini :
a) bukan pengurus partai politik
(Parpol) dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif. Calon anggota legislatif atau anggota
legislatif terdiri dari calon/anggota DPR, DPD, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat
II; b) bukan calon kepala/wakil kepala daerah dan/atau kepala/wakil kepala
daerah; c) tidak menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris pada BUMN yang
bersangkutan selama 2 periode berturut-turut; d) sehat jasmani dan rohani, yang
dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter.
Disamping tiga bagian persyaratan
tersebut, khususnya untuk komisaris BUMN di bidang usaha jasa keuangan, baik
bank maupun non bank, harus memenuhi persyaratan fit & proper test pada OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Dikaitkan dengan calon komisaris BUMN
dari instansi pelayanan publik, sebagaimana diatur pada UU No. 25/2009 ada juga batasan komisaris BUMN, sebagaimana
diatur pada pasal 17 huruf a UU No.25/2009. Disana dikatakan “Pelaksana pelayanan publik dilarang
merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang
berasal dari instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD)”. Artinya
pelaksana yang terkait dengan pelayanan publik dilarang merangkap jabatan
sebagai komisaris BUMN.
Untuk memahami batasan pelaksana
pelayanan publik dapat diketahui dari ketentuan pasal 1 angka 5 UU No. 25/2009,
yang menyebutkan :”Pelaksana pelayanan
publik, yang selanjutnya disebut juga Pelaksana, adalah pejabat, pegawai,
petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang
bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik” .
Dalam rangka memahami penyelenggara pelayanan
publik, yang disebut juga penyelenggara, dapat
dilihat pada pasal 1 angka 2 UU No.25/2009, yang menyatakan :”setiap institusi penyelenggara Negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk
kegiatan pelayanan public, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik”.
Berangkat dari hal tersebut, maka
komisaris BUMN tidak dapat merangkap sebagai penyelengara Negara atau pelaksana
yang terkait dengan pelayanan publik, baik dalam status Menteri/wakil Menteri, ASN/Polri/TNI,
termasuk dosen Perguruan Tinggi Negeri. Bila perangkapan seperti itu dilakukan,
maka berdasarkan pasal 54 ayat 7 UU No.25/2009, dikenai sanksi pembebasan dari jabatan.
(*Penulis adalah Advokat dan Pengamat Hukum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar