FORUM FINANSIAL
KOMUNITAS LEMBAGA USAHA KEUANGAN, BAIK BANK MAUPUN NON-BANK.
Selasa, 16 Mei 2023
Selasa, 10 November 2020
Sisi Kontrol dalam SOP Tabungan Bank (Berangkat dari Kasus Maybank-Winda Lunardi)
Catatan Perbankan :
Sisi Kontrol dalam SOP Tabungan Bank
(Berangkat dari Kasus Maybank-Winda
Lunardi)
Oleh : Kardi Pakpahan*
Salah satu simpul informasi yang hangat dibicarakan
akhir-akhir ini adalah masalah tabungan Winda Lunardi di Maybank Cipulir. Sudah
banyak informasi yang mengalir di media massa untuk memberitakan kasus
tersebut. Kasus tersebut perlu dicermati dari sisi Kontrol dalam SOP Tabungan
Bank yang lazim berlaku. Perlu dikedepankan, sebelum member izin operasional
pembukaan kantor cabang bank, biasanya otoritas pengawasan dan pembinaan perbankan, seperti OJK, sudah memastikan kecukupan
sistem operasional prosedur (SOP), termasuk SOP tabungan bank.
Apa saja substansi sisi control dalam SOP tabungan bank ? Pertama, pemisahan fungsi. Berdasarkan SOP tabungan pada perbankan tak mungkin pembukaan rekening tabungan dilakukan satu orang petugas. Pembukaan rekening tabungan dilakukan mulai dari identifikasi dan verifikasi informasi serta dokumen nasabah pada Customer Service (CS), baik nasabah umum maupun nasabah prioritas. Ada standar informasi yang harus diterima CS dalam penerimaan nasabah, antara lain namun tidak terbatas pada : a) Nama; b) alamat; c) Nomor Identitas; d) Nomor Telp; e) Pekerjaan; f) Sumber Dana; g) Penghasilan Rata-rata; h) tujuan pembukaan rekening. Pada prinsipnya 3 fungsi formulir penerimaan nasabah di awal pembukaan rekening tabungan, yaitu untuk mendapatkan nomor rekening; Customer Identification File (CIF) – yaitu data yang diperlukan untuk masuk ke aplikasi atau sistem bank; untuk kepentingan identifikasi dan verifikasi KYC (Know Your Customer) atau pelaksanaan APU & PPT (Anti Pencucian Uang & Pencegahan Pendanaan Terorisme).
Ketika dalam identifikasi dan verifikasi pada proses pembukaan rekening, nasabah misalnya belum bekerja, karena status nasabah adalah mahasiswa atau ibu rumah tangga, maka lazimnya CS melakukan identifikasi dan verifikasi BO (Beneficial Owner), yaitu pengendali transaksi, dan mengisi form BO pada formulir pembukaan rekening. Disamping, melakukan identifikasi dan verifikasi informasi atau data penabung, CS juga melakukan identifikasi dan verifikasi dokumen nasabah seperti identitas dan contoh tanda tangan nasabah serta membuat dokumentasi foto nasabah pada aplikasi Bank.
Lazimnya, kalau produk tabungan murni untuk investasi atau kegiatan kantor, ada juga nasabah yang tidak memerlukan ATM. Biasanya ATM dalam produk tabungan adalah bersifat fakultatif, jadi tidak imperatif.
Administrasi transaksi tabungan pada CS adalah Formulir Pembukaan Tabungan; Foto Copy KTP; Surat Kuasa (jika ada); Persedian : Form, Kartu Contoh Tanda Tangan, buku tabungan, slip setoran dan penarikan. Kalau penerbitan buku Tabungan pada suatu bank diwajibkan sebagai tanda penggunaan produk bank, maka CS musti proaktif menghubungi nasabah penabung untuk mengambil buku tabungan atau mengantar buku tabungan ke alamat nasabah jika nasabah belum memperolehnya ketika membuka rekening tabungan.
Fungsi lain dalam SOP Tabungan adalah Teller, Kepala Bagian/Pimpinan Cabang, Internal Audit. Teller akan melakukan transaksi keuangan setoran dan penarikan tabungan. Untuk transaksi keuangan pada Teller, sekaligus menjadi bagian dari kontrol, ada limit Teller, misalnya untuk penarikan tabungan dalam jumlah tertentu diwajibkan Teller otorisasi kepada kepala bagian atau pimpinan cabang bank. Sebelum Teller menerima setoran atau melayani penarikan tabungan, wajib verifikasi nasabah yang melakukan transaksi, termasuk dengan verifikasi slip dan tandatangan, penggunaan surat kuasa, harus terlebih dahulu diverifikasi sebelum transaksi dilakukan. Jika Teller menerima setoran tunai dalam jumlah minimal Rp 500 juta, segera menyampaikan informasi terkait kepada unit kerja APU & PPT supaya dibuat Laporan Transaksi Keuangan Tunai kepada PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan), begitu juga ketika Teller menemukan adanya transaksi keuangan yang tidak sesuai dengan profi atau karakteristik atau kebiasaan nasabah penabung, maka Teller menyampaikan informasi terkait kepada unit kerja APU dan PPT supaya dimasukkan dalam Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Aspek Administrasi tabungan pada Teller adalah Kartu Contoh Tanda Tangan atau spesimen tanda tangan, Laporan-laporan (seperti blokir Tabungan).
Setelah transaksi tabungan selesai dilakukan melalui Teller, baik masih pakai manual dan/atau dengan sistem, maka selanjutnya seluruh transaksi Teller akan diverifikasi oleh Kepala Bagian (Kabag) atau atasan Teller, dan terakhir di sore hari sebelum berakhir hari kerja (end of day), seluruh transaksi keuangan tabungan setelah diverifikasi Kabag/Pimpinan Cabang, maka selanjutnya akan diverifikasi oleh Internal Audit sekaligus mendokumentasikan slip/dokumen transaksi keuangan Tabungan, baik penyetoran atau penarikan.
Kedua, slip transaksi keuangan bernomor. Slip transaksi keuangan, baik penarikan maupun penyetoran, pada Tabungan dibuat bernomor. Dengan demekian, kecil kemungkinan dipalsukan.
Ketiga, verifikasi tanda tangan. Verifikasi penerimaan nasabah dilakukan CS dengan verifikasi tanda tangan, begitu juga ketika pelayanan transaksi keuangan Tabungan di Teller, juga diverifikasi lewat tanda tangan.
Keempat, konfirmasi Saldo. Pada seluruh jaringan kantor bank terkait, seperti melalui pencetakan pada buku tabungan atau pencetakan Rekening Koran atau melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri), dapat dilakukan konfirmasi saldo tabungan.
Kelima, laporan-laporan. Sehubungan transaksi tabungan pada suatu bank, ada beberapa laporan, seperti Laporan Daftar Nominatif Tabungan, Laporan Profil Resiko Penabung, Laporan Resiko Operasional Tabungan, dan lain-lain. Tentu, seluruh laporan-laporan tersebut dapat dilakukan untuk control pada SOP Tabungan.
Keenam, fungsi Internal Audit atau Internal Control. Dari fungsinya Internal Audit atau Internal Control memiliki fungsi yang penting dan strategis pada SOP Tabungan. Oleh karena itu, fungsi unit kerja ini harus berlangsung pada seluruh jaringan kantor Bank terkait.
Ketujuh, pengkinian data. Seluruh nasabah penabung lazimnya akan dikelompokkan pada 3 tingkatan resiko, yaitu resiko rendah, resiko menengah dan resiko tinggi. Biasanya untuk mengetaui tingkat resiko nasabah terkini dilakukan pengkinian data. Pengkinian data nasabah berisiko tinggi biasanya dilakukan per 6 bulan, untuk pengkinian data nasabah berisiko menengah biasanya dilakukan per 12 bulan, sedangkan pengkinian data nasabah penabung besiko rendah dilakukan per 18 bulan.
Berangkat dari sisi kontrol SOP Tabungan dan dikaitkan dengan kasus Maybank-Winda Lunardi, maka dapat dikatakan diduga seluruh sisi kontrol pada SOP Tabungan belum sepenuhnya diterapkan. Sehingga untuk masa berikutnya, ada baiknya seluruh sisi kontrol pada SOP Tabungan perlu dilaksanakan. Dikatakan demikian, karena hal tersebut juga merupakan bagian dari perlindungan nasabah atau konsumen perbankan. Semoga.
(*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Trainer Perbankan)
Senin, 19 Oktober 2020
Mengantisipasi Resiko Hukum pada Pelaksanaan Lelang Pasal 6 UUHT bagi Perbankan
Catatan
Hukum :
Mengantisipasi Resiko Hukum pada
Pelaksanaan
Lelang Pasal 6 UUHT bagi Perbankan
Oleh : Kardi Pakpahan*
Pelaksanaan lelang dengan menggunakan
ketentuan pasal 6 Undang-undang No.4/1996 hak tanggungan, yang disebut juga
Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) merupakan salah satu pilihan utama dalam recovery atau penyelesaian kredit
bermasalah bagi perbankan dikarenakan prosesnya yang lebih praktis, siderhana,
sistematis, transparan dan ekonomis. Adapun ketentuan pasal 6 UUHT yang
dimaksudkan :”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut”.
Adapun prosedur atau tata cara
pelaksanaan dan persyaratan lelang pasal 6 UUHT diatur di dalam beberapa
peraturan pelaksana, seperti 1) Peraturan
Direktorat Kekayaan Negara No.2/KN/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang; 2)
Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) No. 27/PMK.06/2016 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang; 3) PMK No.90/PMK.06/2016 tentang Pedoman
Pelaksanaan Lelang dengan Penawaran secara Tertulis tanpa Kehadiran Peserta
Lelang melalui internet.
Dari
peraturan pelaksana tersebut, ada beberapa syarat lelang pasal 6 UUHT. Syarat-syarat
tersebut sebaiknya dipersiapkan secara baik pada periode pra lelang supaya
dapat mengantisipasi resiko hukum, baik secara perdata maupun secara pidana.
Resiko
hukum bagi perbankan merupakan resiko akibat tuntutan hukum dan atau kelemahan
aspek yuridis. Adapun sumber resiko hukum terjadi dikarenakan kelemahan aspek yuridis
yang disebabkan oleh lemahnya perikatan, ketiadaan dan/atau perubahan peraturan
perundang-undangan, yang menyebabkan suatu transaksi
yang telah dilakukan perbankan menjadi tidak sesuai
dengan ketentuan yang akan ada, dan proses litigasi baik yang timbul dari
gugatan pihak ketiga terhadap
perbankan maupun perbankan dengan pihak Ketiga, dan kemungkinan adanya laporan perkara pidana
yang ditujukan pihak ketiga kepada komisaris, direksi maupun perbankan karena
diduga telah melakukan delik pidana.
Salah satu
syarat pada pelaksanaan lelang pasal 6 UUHT misalnya Surat Peringatan atau
Somasi dari Bank kepada Debitur, yang biasanya dituangkan dalam Surat
Peringatan I, II dan III. Pada surat peringatan itu tidak sekedar menyampaikan
total tunggakan atau kewajiban nasabah. Pada pasal 20 ayat 1e UUHT dikatakan :” ”Apabila Debitor cidera janji, maka
berdasarkan : hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT”.
Pada Surat
Peringatan dalam rangka pelaksanaan lelang pasal 6 UUHT, sesuai dengan pasal
1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) Debitur haruslah dinyatakan oleh Bank telah
lalai atau cidera janji atau dinyatakan telah wanprestasi. Beginilah ketentuan
pasal 1243 KUHPer selengkapnya :” :”Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan mulai diwajibkan, bila Debitur, walapun
telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”. Untuk
membuktikan bahwa Debitur telah lalai atau wanprestasi Bank atau Kreditur harus
menyatakan Debitur telah wanprestasi secara tertulis terlebih dahulu, yang
lazimnya dituangkan dalam surat peringatan. Dengan demikian, surat peringatan
yang menyatakan bahwa debitur telah wanprestasi harus sampai kepada Debitur.
Bagaimana seadannya permohonan lelang
pasal 6 UUHT belum memenuhi surat peringatan sesuai ketentuan yang berlaku (Vide
: pasal 6 UUHT jo 1243 KUHPer) ? Maka permohonan lelang atau penetapan jadual
lelang seharusnya belum dapat dilakukan KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang).
Bagaimana jika Penetapan lelang pasal
6 UUHT sudah ditetapkan oleh KPKNL
padahal belum memenuhi surat peringatan tersebut dari Bank kepada Debitur ?
Dalam hal ini, Debitur terbuka menyampaikan keberatan kepada KPKNL supaya
pelaksanaan lelang tidak dilaksanakan. Karena pada surat penetapan lelang
kepada Bank, biasanya pernyataan ini dari KPKNL disampaikan :”Meskipun jadwal lelang sudah ditetapkan,
namun lelang dapat tidak dilaksanakan, apabila tidak memenuhi legalitas formal
subyek atau obyek lelang karena terdapat perbedaan data pada dokumen lelang
ataupun ada sebab lain yang ditemukan setelah evaluasi detail terhadap
persyaratan lelang”.
Dalam pada itu, terbuka juga Debitur mengajukan permohonan blokir sertifikat kepada Kantor Pertanahan/BPN makakala ada syarat lelang, seperti Surat Peringatan yang belum memenuhi persyaratan tersebut, sebagaimana yang diatur pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPNRI No.13/2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita, sehingga Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) tidak dikeluarkan BPN dalam rangka lelang pasal 6 UUHT. Dan yang memberitahukan Setelah pencatatan blokir disahkan adalah Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang mempunyai tugas di bidang hubungan hukum keagrariaan secara tertulis melalui surat resmi kepada pemohon blokir dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan secara patut (Vide : pasal 12 ayat 5 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPNRI No.13/2017).
Pertanyaan
berikutnya, lelang pasal 6 UUHT sudah dilaksanakan dan sudah ada pemenang
lelang, dalam konteks persyaratan lelang, tidak memenuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti Surat Peringatan tidak memenuhi
persyaratan seperti yang diatur pada pasal 1243 KHUPer. Dalam hal demikian
Debitur terbuka melakukan upaya hukum perdata, melalui gugatan perbuatan
melawan hukum atau onrechtmatige daad (Vide : pasal 1365 KUHPer).
Dalam pada itu, dalam menghadapi
hal tersebut untuk memulihkan rasa keadilan, Debitur terbuka juga menempuh
upaya hukum Pidana dengan membuat Laporan Polisi adanya dugaan tindak pidana
seperti yang diatur pada pasal 49 ayat 2 hurif b UU No.10/1998 yang menyatakan
:”Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau
Pegawai Bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
undang-undang ini dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp 5 Milyar paling banyak Rp 100 miliar”.
Mengingat
hal tersebut, maka pada masa pra lelang pasal 6 UUHT, salah satu hal yang perlu
dipersiapkan oleh Bank adalah Surat Peringatan yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(*Penulis adalah
Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
#LelangPasal6UUHT #Blokiir #TundaLelang #ResikoHukum #PMH #SanksiPidana
Minggu, 13 September 2020
Catatan Hukum : Konsekuensi Tergugat Meninggal Dunia sebelum Tahap Kesimpulan pada Perkara Perdata
Cacatan Hukum :
Konsekuensi Tergugat Meninggal Dunia sebelum
Tahap Kesimpulan pada Perkara Perdata
Oleh : Kardi Pakpahan*
Pada Hukum Acara Perdata sudah
dikedepankan serangkaian tahapan hingga
sampai pada tahap putusan, mulai dari pengajuan gugatan, pemanggilan para
pihak, pelaksanaan mediasi, pembacaan gugatan, jawaban, Replik, Duplik, Pembuktian,
Kesimpulan. Salah satu kemungkinan
terjadinya sebuah peristiwa hukum pada tahapan gugatan adalah kemungkinan
meninggalnya Tergugat sebelum tahap Kesimpulan. Sengaja dikedepankan sebelum
tahapan kesimpulan pada tulisan ini, karena tahap itu sudah termasuk bagian akhir dari sebuah perkara perdata,
karena sesudahnya akan memasuki tahap putusan perkara.
Sebelum sampai tahap kesimpulan pada
perkara perdata biasanya sudah melampaui waktu sekitar 5 sampai dengan 8 bulan,
dan lazimnya sumber dana yang digunakan Penggugat, selaku pihak yang dirugikan atau
yang merasa haknya dilanggar, pada sebuah perkara perdata, baik pada pokok
perkara ingkar janji (wanprestasi) maupun perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan juga pihak Tergugat, baik untuk membayar
jasa hukum Advokat, maupun menghadirkan saksi-saksi, baik saksi fakta maupun
saksi ahli, sudah relatif besar.
Untuk menjawab konsekuensi jika
Tergugat meninggal dunia sebelum masuk ke tahap kesimpulan, tentu pihak-pihak
terkait dengan perkara harus memahami dan menerapkan seluruh kaidah hukum yang
berlaku pada domain Hukum Acara Perdata, seperti HIR/RIB, RBg, Rv,
Undang-undang (UU) tentang Mahkamah Agung, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer), UU Perkawinan, UU Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA), Yurisprudensi, doktrin.
Misalnya saja, pada yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia (MARI) No.322/K/SIP/1971 menyebutkan :”Dalam hal sebelum perkara diputuskan, Tergugatnya meninggal
dunia, haruslah ditentukan terlebih dahulu siapa-siapa yang menjadi ahli warisnya dan terhadap siapa
selanjutnya gugatan itu diteruskan, karena bila tidak, putusannya tidak dapat
dilaksanakan”.
Dalam bukunya M. Yahya Harahap, SH, Hukum
Acara Perdata (2005, 131-132) menyebutkan :”Meninggalnya salah satu pihak, tidak mengakhiri maupun menggugurkan
gugatan. Pemeriksaan berjalan terus, sampai sengketa dapat dituntaskan
penyelesaiannya. Tergugat meninggal dunia, digantikan oleh Ahli warisnya.
Apabila pihak Tergugat meninggal selama proses persidangan berlangsung seperti pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri….maka
kedudukan Tergugat digantikan oleh ahli warisnya. Peralihan penggantian itu
berdasarkan titel umum, oleh karena itu terjadi dengan sendirinya menurut
hukum. Berarti penggantian kedudukan tersebut, tidak memerlukan persetujuan dari
Penggugat, sebab tampilnya ahli waris menggantikan pewaris sebagai Tergugat
bukan merupakan hak, tetapi kewajiban hukum bagi ahli waris yang bersangkutan.
Dengan demikian Penggugat tidak perlu memperbaiki atau memperbaharui (renewal)
gugatan”.
Salah satu contoh Yurisprudensi, yang diperiksa dan diputuskan
sebelum tahap Kesimpulan dalam perkara perdata adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor : 904/Pdt.G/2007. Kedudukan Tergugat I yang meninggal dunia dalam
gugatan tersebut digantikan oleh para ahli warisnya, setelah lebih dulu
dilakukan panggilan kepada ahli waris dari Tergugat I.
Urgensi penggantian Tergugat (asal)
yang meninggal oleh ahli warisnya, karena lazimnya ganti rugi atau obyek
sengketa pada gugatan adalah menjadi bagian dari atau budle warisan atau obyek warisan. Dalam pada itu, baik dalam pokok gugatan
wanprestasi, seperti yang diatur pada pasal 1243 KUHPer yang menyebutkan :”Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena
tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah
dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu
yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya
dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”, maupun pokok gugatan perbuatan melawan hukum, seperti
yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyebutkan :”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut”, Tergugat biasanya dituntut Penggugat
(asal) dalam Petitum gugatan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh
Penggugat, selaku pihak yang merasa haknya dilanggar.
Untuk penggantian Tergugat yang
meninggal dunia oleh ahli warisnya, didasarkan pada ketentuan hukum waris, yang
menyatakan seluruh harta maupun kewajiban si Pewaris beralih kepada ahli waris
(pasal 833 KUHPer jo 1318 KUHPer). Pada pasal 833 KUHPer disebutkan :”Para ahli waris, dengan sendirinya karena
hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang
yang meninggal” dan pada pasal 1318 KUHPer disebutkan :”Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan
perjanjian untuk diri sendiri dan untuk ahli warisnya dan orang yang memperoleh
hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau telah nyata dan
sifat persetujuan itu bahwa bukan itu maksudnya”.
Dalam pada itu, dengan meninggalnya
Tergugat dalam perkara perdata, yang biasanya memberikan surat kuasa kepada
Advokatnya, maka Surat kuasa tersebut
berakhir (Vide : pasal 1813 KUHPer). Pada pasal 1813 KUHPer disebutkan :” Pemberian kuasa berakhir: dengan penarikan
kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh
penerima kuasa; dengan meninggalnya,
pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan
kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa”. Dengan demikian,
kalau persidangan diteruskan pada tahap selanjutnya hingga putusan, tanpa
mengganti posisi Tergugat yang meninggal dunia dengan ahli warisnya, maka putusan
tidak dapat dijalankan atau gugatan menjadi kurang pihak, sehingga putusanya dapat
menjadi NO (Niet Ontvankelijk Verklaard)
atau gugatan tidak diterima.
Pada kondisi meninggalnya Tergugat
sebelum tahap kesimpulan, maka setelah Majelis Hakim membuka persidangan dan mendapatkan
pemberitahuan tentang meninggalnya salah satu Tergugat dari Penggugat atau dari
Tergugat lain atau sumber lainnya, maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara
tersebut memberikan waktu kepada Penggugat untuk menyampaikan nama ahli waris Tergugat
itu kalau sudah ada untuk dipanggil pada persidangan berikutnya, menggantikan posisi Tergugat yang meninggal
dunia. Tata cara pemanggilan tersebut didasarkan pada Pasal 390 (2) HIR/ 718
(2) R.Bg jo Pada Pasal 7 RV. Pada pasal Pasal 390 (2) HIR/ 718 (2) R.Bg disebutkan :”Jika orang itu sudah meninggal dunia, maka surat juru sita itu
disampaikan pada ahli warisnya, jika ahli warisnya tidak dikenal maka
disampaikan pada kepala desa ditempat tinggal terakhir dari orang yang
meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku menurut aturan yang disebut di
atas ini. Jika orang yang meninggal dunia itu masuk golongan orang asing maka
surat juru sita itu diberitahukan dengan surat tercatat pada balai harta
peninggalan”.
Pada pasal 7 RV (Reglement of de
Rechtsvordering) dinyatakan :”Terhadap
orang-orang yang telah meninggal dunia, pemberitahuan gugatan atau
pemberitahuan lainnya dilakukan terhadap semua ahli waris dan sekaligus, tanpa
menyebut nama dan tempat tinggalnya,
ditempat tinggal terakhir almarhum dan tidak boleh melebihi waktu 6 bulan
setelah meninggalnya”.
Adalah keliru bila Majelis Hakim yang
memeriksa perkara perdata yang Tergugatnya ada yang meninggal dunia sebelum Tahap
Kesimpulan, setelah Penggugat menyampaikan usul kepada Majelis Hakim yang
memeriksa perkara tersebut supaya dilakukan panggilan kepada ahli waris
Tergugat yang meninggal dunia, selanjutnya Majelis Hakim menghimbau supaya Penggugat
mencabut gugatan atau menyampaikan Kesimpulan tanpa melakukan penggantian
posisi Tergugat dengan ahli warisnya.
Untuk mencegah sikap seperti itu, maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara
tersebut ada baiknya benar-benar menjalankan 2 azas hukum yang terkait, yaitu Pertama, azas ius curia novit, yaitu azas yang menyatakan hakim tahu akan
Hukum, seperti seluruh ketentuan hukum yang terkait dengan Hukum Acara Perdata,
seperti HIR/RIB, RBg, Rv, Undang-undang (UU) tentang
Mahkamah Agung, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), UU Perkawinan, UU
Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Yurisprudensi, doktrin.
Kedua,
azas peradilan yang sederhana, cepat dam biaya ringan, sebagaimana yang diatur
dalam pasal 2 angka 4 UU No.48/2009,
yang berarti penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan
efektif.
Selasa, 08 September 2020
Rubrik Opini : Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di Bawah Tangan pada Transaksi Pengalihan Tanah dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan
Opini :
Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di
Bawah Tangan
(Transaksi Pengalihan Tanah dan Pendaftaran
Tanah pada Kantor Pertanahan)
Oleh : Kardi Pakpahan, SH*
Penggunaan Cap Jempol dalam berbagai pembuatan
dokumen di bawah tangan masih sering dilakukan. Dokumen yang dimaksudkan
misalnya pada Surat Perjanjian, Surat
Pernyataan, Surat Persetujuan, dan lain-lain. Sebagai contoh, penulis pernah
temukan sebuah dokumen perjanjian pengalihan tanah yang belum terdaftar (masih
status girik), dari pihak yang mengalihkan menggunakan cap jempol tanpa
dilegaslisasi Notaris, yang kemudian digunakan untuk pendaftaran tanah sampai
dikeluarkan status Sertifikat Hak Milik (SHM) pada sebuah kantor pertanahan.
Dari sisi hukum supaya cap jempol sah,
memerlukan syarat tertentu sebagaimana diatur pada pasal 1874 ayat 2 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KHUPer) jo pasal 286 ayat 2 RBg. Pada pasal 1874
ayat 2 KUHPer disebutkan :” Dengan
penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap
jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau
seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuhan
cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa di
akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol
tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan.
Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut”. Sedangkan
pada pasal 286 ayat 2 RBg atau Reglement
Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura dinyatakan
:”Cap jari atau cap jempol yang
dibubuhkan di bawah surat di bawah tangan disamakan dengan tanda tangan asal
disahkan dengan suatu surat keterangan yang bertanggal oleh notaris atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan menerangkan bahwa ia mengenal
pemberi cap jari atau cap jempol yang diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi
akta itu telah dijelaskan kepada si pembubuh cap jari dan bahwa cap jari
tersebut dibubuhkan di hadapannya”. Dengan demikian, supaya dokumen di
bawah tangan - yang bukti persetujuannya melalui cap jempol disamakan dengan
tanda tangan manakala pembubuhan cap cempol dilaksanakan di hadapan notaris
atau pejabat lain yang diatur oleh Undang-undang dan tanggal pembubuhan cap jempol pada
dokumen tersebut di hadapan notaris, dihitung tanggal mulai berlakunya dokumen
di bawah tangan tersebut. Proses pengesahan tanda tangan atau cap jempol di
hadapan notaris, saat ini dikenal dengan istilah Legalisasi.
Notaris,
dalam jabatannya, berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian
tanggal surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan
ini, merupakan pengertian legalisasi terhadap akta di bawah tangan, yang dibuat
sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di atas kertas yang
bermaterai cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus, yang disediakan
oleh Notaris. Ringkasnya, inti dari legalisasi ini adalah, para pihak membuat
suratnya, dibawa ke Notaris, lalu menandatanganinya di hadapan Notaris,
kemudian dicatatkan dalam Buku Legalisasi. Tanggal pada saat penandatanganan
dihadapan Notaris itulah, sebagai tanggal terjadinya perbuatan hukum, yang
melahiran hak dan kewajiban antara para pihak sebagaimana diatur pada pasal 15
ayat 2 hurtuf a UU No.30/2004 yang
diubah dengan UU No.2/2014 tentang UU Jabatan Notaris.
Legalisasi tentu berbeda dengan warmerking atau legalisir. Warmerking dilakukan Para Pihak
manakala atas perjanjian di bawah tangan yang sudah
ditandatangani beberapa hari atau waktu sebelumnya, dibawa ke Notaris untuk didaftarkan
dalam Buku Pendaftaran Surat di Bawah Tangan (Vide : pasal 15 ayat 2
huruf b UU Jabatan Notaris).
Legalisir adalah kewenangan
Notaris pada proses pencocokan dokumen fotocopy dengan dokumen asli di bawah
tangan. Notaris akan memberikan cap atau stempel dan paraf di setiap halaman
fotocopy dan pada halaman paling belakang, Notaris akan memberikan tanda tangan
serta keterangan bahwa dokumen fotocopy tersebut sama dengan dokumen asli yang
diperlihatkan di hadapan Notaris (Vide : Pasal 15 ayat 2 huruf c UU Jabatan
Notaris).
Dengan
demikian, bagaimana sisi hukum bagi pihak ketiga yang dirugikan pada pengalihan
tanah, yang disinylair merupakan budel waris Pihak Ketiga dan belum terdaftar,
yang dilakukan dengan cap jempol yang dari pihak yang mengalihkan dan tidak
dilegalisasi Notaris, kepada pihak yang menerima pengalihan, dan digunakan sebagai
dokumen permohonan pendaftaran tanah pertama di kantor pertanahan sampai terbit
sertifikat Hak Milik ? Sisi Hukum
utamanya dapat dilihat dari 3 hal.
Pertama, tentang keabsahan dan kekuatan
mengikat perjanjian. Supaya sebuah Perjanjian, seperti Perjanjian di bawah
tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar, supaya sah dan mengikat
(Vide : pasal 1320 KUHPer jo 1338 KUHPer) harus memenuhi 4 syarat, yaitu 2
syarat subyektif yaitu a) adanya kata sepakat; b) pihak yang melakukan perjanjian
sudah Dewasa dan 2 syarat obyektif, yaitu a) hal tertentu; b) sesuatu yang halal atau
yang diperjanjikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika syarat
subyektif Perjanjian tidak dipenuhi, misalnya pihak yang mengalihkan lagi sakit keras dipaksa membubuhkan cap
jempolnya pada perjanjian pengalihan tanah maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan bila syarat obyektif tidak dipenuhi, misalnya terhadap
perjanjian di bawah tangan pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan cap
jempol dari pihak yang mengalihkan tidak
dilegalisasi Notaris, maka Perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi
hukum, yang karenanya sertifikat hak milik, yang diperoleh dari perjanjian
pengalihan tersebut dapat dikatakan tidak sah atau tidak mengikat serta dapat
dimintankan pembatalannya.
Kedua, perbuatan melawan
hukum. Rangkaian peristiwa membuat Perjanjian di bawah tangan atas pengalihan
tanah yang belum terdaftar dengan menggunakan cap jempol dari pihak yang
mengalihkan dan tidak dilegalisasi Notaris, yang sesungguhnya masih obyek
sengketa waris dan menggunakannya sebagai dasar permohonan hak pada pendaftaran
tanah pertama sekali dan merugikan pihak ketiga, dapat dinyatakan adalah sebuah
perbuatan melawan hukum atau onrechmatige
daad, sebagaimana yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyatakan :”Tiap perbuatan yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian
tersebut“. Ada 4 unsur dari perbuatan
melawan hukum yaitu : a) ada perbuatan melawan hukum; b) ada kesalahan; c) ada hubungan
sebab akibat antara kerugian dan perbuatan; d) ada kerugian.
Dalam
konteks perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar
dengan penggunaan cap jempol oleh pihak yang mengalihkan tanpa dilegalisasi
Notaris, dan digunakan untuk mendaftarkan tanah di kantor pertanahan sehingga
terbit sertifikat Hak Milik dan merugikan pihak ketiga dapat dikatakan adalah
termasuk dalam perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam pasal 1365
KUHPer, sehingga pihak-pihak yang terkait atau melakukan perbuatan melawan
hukum tersebut haruslah mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
Ketiga,
jaminan ganti rugi dari sebuah perbuatan melawan hukum. Landasan perikatan
untuk melakukan ganti rugi dari pihak atau para pihak yang melakukan perbuatan
melawan hukum kepada pihak yang dirugikan tentu didasarkan sumber perikatan seperti yang
diatur pada pasal 1233 KUHPer, yaitu 1) karena perjanjian (Vide : pasal 1313
KUHPer) dan karena Undang-undang (Vide : pasal 1352 KUHPer). Dalam hal ini sumber perikatan untuk
melakukan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum oleh pihak atau para pihak
yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365
KUHPer, adalah perikatan karena undang-undang akibat perbuatan orang. Dengan
demikian, jaminan yang bisa didapatkan oleh pihak yang dirugikan dalam sebuah
perbuatan melawan hukum, disamping pengembalian obyek yang dipersengkatakan
atau berupa pembayaran, adalah seluruh
aset (baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak) dari pihak yang
melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPer,
yang dapat diperoleh dengan menempuh upaya gugatan perbuatan melawan hukum
dengan memohonkan penetapan atau putusan sita jaminan atas pihak atau para
pihak melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).
Tentu disamping tiga sisi hukum utama di atas, pihak yang dirugikan dari sebuah peristiwa hukum pada pelaksanaan perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah ( yang belum terdaftar) dengan menggunakan cap jempol tanpa dilegalisasi Notaris, seperti yang disampaiakan pada uraian sebelumnya, maka sisi hukum yang masih dapat digunakan adalah pada sisi pidana, manakala pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, diduga juga menggunakan keterangan atau dokumen palsu (Vide : pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP), atau sisi hukum Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dalam hal ada cacat yuridis pada penerbitan sertifikat terkait.(*Penulis adalah seorang Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)