Sabtu, 25 April 2020

Menyoal Komisaris BUMN


Opini   :
Menyoal Komisaris BUMN


Oleh : Kardi Pakpahan*
          Dalam waktu belakangnan ini salah satu simpul informasi  tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)  yang mengemuka di media massa adalah perihal komisaris pada perusahaan pelat merah atau BUMN, seperti berita tentang perubahan susunan dewan komisaris pada PT Pelindo 1.
          Tak dapat dipungkiri upaya-upaya pembenahan BUMN  sudah banyak dilakukan, khususnya semenjak reformasi ekonomi bergulir pada tahun 1997/1998. Buah dari pembenahan itu, beberapa BUMN telah melakukan tranformasi dengan tata kelola,  kinerja dan daya saing yang relatif lebih baik,
          Diharapkan pembenahan yang dilakukan pada BUMN selama ini dapat terus berjalan kearah yang lebih maju, bukan sebaliknya. Termasuk tentunya tentang keberadaan dewan komisaris yang semakin baik pula, untuk mendukung peningkatan kinerja dan daya saing
          Perihal  persyaratan dewan komisaris BUMN diatur dalam Peraturan Menteri BUMN No.02/MBU/02/2015, yang dikelompokkan dalam  3 bagian. Pertama, persyaratan formal, yaitu a) orang perseorangan; b) cakap melakukan perbuatan hukum; c) tidak pernah dinyatakan pailit dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan; d) tidak pernah menjadi anggota direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan; e) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan.
          Kedua, persyaratan materil, seperti a) integritas; b) dedikasi; c) memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, d) memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha perseroan dimana yang bersangkutan dicalonkan; e) dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.
          Ketiga, persyaratan lain. Bagian yang masuk pada persyaratan   komisaris BUMN pada persyaratan ini : a)  bukan pengurus partai politik (Parpol) dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif.  Calon anggota legislatif atau anggota legislatif terdiri dari calon/anggota DPR, DPD, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II; b) bukan calon kepala/wakil kepala daerah dan/atau kepala/wakil kepala daerah; c) tidak menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris pada BUMN yang bersangkutan selama 2 periode berturut-turut; d) sehat jasmani dan rohani, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter.
          Disamping tiga bagian persyaratan tersebut, khususnya untuk komisaris BUMN di bidang usaha jasa keuangan, baik bank maupun non bank, harus memenuhi persyaratan fit & proper test pada OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
          Dikaitkan dengan calon komisaris BUMN dari instansi pelayanan publik, sebagaimana diatur pada UU No. 25/2009  ada juga batasan komisaris BUMN, sebagaimana diatur pada pasal 17 huruf a UU No.25/2009. Disana dikatakan Pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).  Artinya pelaksana yang terkait dengan pelayanan publik dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
          Untuk memahami batasan pelaksana pelayanan publik dapat diketahui dari ketentuan pasal 1 angka 5 UU No. 25/2009, yang menyebutkan :”Pelaksana pelayanan publik, yang selanjutnya disebut juga Pelaksana, adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik” .
       Dalam rangka memahami penyelenggara pelayanan publik, yang disebut juga penyelenggara,  dapat  dilihat pada pasal 1 angka 2 UU No.25/2009, yang menyatakan :”setiap institusi penyelenggara Negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan public, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik”.
          Berangkat dari hal tersebut, maka komisaris BUMN tidak dapat merangkap sebagai penyelengara Negara atau pelaksana yang terkait dengan pelayanan publik, baik dalam status Menteri/wakil Menteri, ASN/Polri/TNI, termasuk dosen Perguruan Tinggi Negeri. Bila perangkapan seperti itu dilakukan, maka berdasarkan pasal 54 ayat 7 UU No.25/2009,   dikenai sanksi pembebasan dari jabatan.
(*Penulis adalah Advokat dan Pengamat Hukum)