Catatan Eksekusi Jaminan :
Perihal Eksekusi Hak Tanggungan
Oleh : Kardi Pakpahan*
Bagian dari persyaratan persetujuan fasilitas kredit
adalah collateral atau jaminan,
diantara persyaratan kredit lainnya, seperti capacity, capital, condition of economic, dan character. Salah satu bentuk pengikatan jaminan kredit yang
banyak diterapkan pada penyaluran kredit oleh Penyelenggara Jasa Keuangan,
selaku Kreditur, baik perbankan maupun non perbankan, adalah Hak Tanggungan.
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, menurut pasal 1 angka 1 UU No.4 Tahun 1996, yang juga disebut UUHT, adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Dilipilihnya
Hak Tanggungan sebagai bentuk jaminan kredit, karena kekhususan dalam menguasai
obyek jaminan oleh Kreditur dan 3 alternatif eksekusi hak tanggungan. Tiga
alternatif eksekusi hak tanggungan yang dimaksudkan, pertama, eksekusi parat atau eksekusi langsung atau
parate eksekusi (pasal 20 ayat 1a UUHT jis
Pasal 6 dan pasal 11 ayat 2e UUHT. Pada pasal 20 ayat 1a UUHT disebutkan :”Apabila Debitor cidera janji, maka
berdasarkan : hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek
HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT”. Sedangkan pada
pasal 6 UUHT dinyatakan :”Apabila debitor
cidera janji, pemegang HakTanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Sementara itu, pada
pasal 11 ayat 2e UUHT :” Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan
janji-janji, antara lain : janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila
debitor cidera janji”. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi langsung hak
tanggungan pada bagian ini tidaklah melalui fiat eksekusi ketua Pengadilan
Negeri yang berwewenang, tetapi langsung lelang umum melalui KPKNL atau Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.27/PMK.06/2016
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan PMK No.90/PMK.06/2016 tentang Pedoman
Pelaksanaan Lelang dengan Penawaran secara Tertulis tanpa Kehadiran Peserta
Lelang melalui Internet.
Pada
pasal 5 PMK No.27/PMK.06/2016 dinyatakan bahwa jenis lelang terdiri dari : a)
lelang eksekusi; b) lelang non eksekusi wajib; c) lelang noneksekusi sukarela.
Sedangkan menurut pasal 6e PMK No.27/PMK.06/2016 lelang eksekusi terdiri : lelang eksekusi
pasal 6 UUHT.
Kedua, eksekusi melalui titel eksekutorial
atau eksekusi melalui pertolongan hakim/fiat eksekusi, sebagaimana dimaksud
dalam pasal 20 ayat 1b UUHT jo pasal 14 ayat 2 dan pasal 14 ayat (3) UUHT. Pada
pasal 20 ayat 1b UUHT disebutkan :”Apabila Debitor cidera janji, maka
berdasarkan : titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak
mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya”.
Dasar
hukum titel eksekutorial diatur pada
pasal 14 ayat 2 UUHT, yang menyebutkan :” Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Menurut pasal 14 ayat 3 UUHT, sertifikat
Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas
tanah”. Adapun hukum acara yang terkait dengan eksekusi pada bagian ini
saat ini masih menggunakan ketentuan pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui
(Het Herzeiene Indonesisch Reglement/HIR, S.1941 : 44) dan Pasal 258 Reglement
Acara Hukum untuk daerah Luar Jawa dan Madura, S.1927 : 227). Adapun tahapan
sita eksekutorial hak tanggungan pada bagian ini, Ketua Pengadilan terlebih
dahulu melakukan penetapan anmaning dan penyitaan (Vide : pasal 196 sd 200 HIR),
dan kemudian Ketua Pengadilan membuat penetapan lelang dan selanjutnya
mengajukan permohonan lelang kepada KPKLN.
Sedangkan proses
pelelangan obyek hak tanggungan pada eksekusi dengan title eksekutorial ini
juga dilakukan melalui KPKNL (Vide :
pasal 6b PMK No.27/PMK.06/2016).
Ketiga, eksekusi atas kesepakatan Kreditur dan Debitur ( Pasal 20 ayat 2
UUHT dan Pasal 20 ayat 3 UUHT). Pada pasal 20 ayat 2 UUHT dinyatakan :”Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan
jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
semua pihak”. Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan sebagaimana
dimaksud pada pasal 20 ayat 2 UUHT, menurut pasal 20 ayat 3 UUHT hanya dapat
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak
ada pihak yang menyatakan keberatan.
Dari ketiga jenis
eksekusi hak tanggungan yang diatur pada pasal 20 UUHT, yang membutuhkan
bantuan ketua pengadilan negeri adalah eksekusi hak tanggungan dengan titel eksekutorial,
sedangkan eksekusi langsung atau parat dan eksekusi kesepakatan tidaklah
membutuhkan fiat ketua pengadilan.
(*Penulis adalah Advokat
& Trainer, Telp/WA : 0813-2895-0019)