Senin, 16 Desember 2019

Perihal Eksekusi Hak Tanggungan

Catatan Eksekusi Jaminan : 
Perihal Eksekusi Hak Tanggungan


Oleh : Kardi Pakpahan*
                Bagian dari persyaratan persetujuan fasilitas kredit adalah collateral atau jaminan, diantara persyaratan kredit lainnya, seperti capacity, capital, condition of economic, dan character.  Salah satu bentuk pengikatan jaminan kredit yang banyak diterapkan pada penyaluran kredit oleh Penyelenggara Jasa Keuangan, selaku Kreditur, baik perbankan maupun non perbankan, adalah Hak Tanggungan.
                Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, menurut pasal 1 angka 1 UU No.4 Tahun 1996, yang juga disebut UUHT, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
            Dilipilihnya Hak Tanggungan sebagai bentuk jaminan kredit, karena kekhususan dalam menguasai obyek jaminan oleh Kreditur dan 3 alternatif eksekusi hak tanggungan. Tiga alternatif eksekusi hak tanggungan yang dimaksudkan, pertama,   eksekusi parat atau eksekusi langsung atau parate eksekusi (pasal 20 ayat 1a UUHT  jis Pasal 6 dan pasal 11 ayat 2e UUHT. Pada pasal 20 ayat 1a UUHT disebutkan :”Apabila Debitor cidera janji, maka berdasarkan : hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT”. Sedangkan pada pasal 6 UUHT dinyatakan :”Apabila debitor cidera janji, pemegang HakTanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Sementara itu, pada pasal 11 ayat 2e UUHT :” Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain : janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji”. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi langsung hak tanggungan pada bagian ini tidaklah melalui fiat eksekusi ketua Pengadilan Negeri yang berwewenang, tetapi langsung lelang umum melalui KPKNL atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, sesuai  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan PMK No.90/PMK.06/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang dengan Penawaran secara Tertulis tanpa Kehadiran Peserta Lelang melalui Internet.
            Pada pasal 5 PMK No.27/PMK.06/2016 dinyatakan bahwa jenis lelang terdiri dari : a) lelang eksekusi; b) lelang non eksekusi wajib; c) lelang noneksekusi sukarela. Sedangkan menurut pasal 6e PMK No.27/PMK.06/2016  lelang eksekusi terdiri : lelang eksekusi pasal 6 UUHT.
            Kedua, eksekusi melalui titel eksekutorial atau eksekusi melalui pertolongan hakim/fiat eksekusi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 1b UUHT jo pasal 14 ayat 2 dan pasal 14 ayat (3) UUHT. Pada pasal 20 ayat 1b UUHT disebutkan :”Apabila Debitor cidera janji, maka berdasarkan : titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya”.
            Dasar hukum titel eksekutorial diatur  pada pasal 14 ayat 2 UUHT, yang menyebutkan :” Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Menurut pasal 14 ayat 3 UUHT, sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah”. Adapun hukum acara yang terkait dengan eksekusi pada bagian ini saat ini masih menggunakan ketentuan pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herzeiene Indonesisch Reglement/HIR, S.1941 : 44) dan Pasal 258 Reglement Acara Hukum untuk daerah Luar Jawa dan Madura, S.1927 : 227). Adapun tahapan sita eksekutorial hak tanggungan pada bagian ini, Ketua Pengadilan terlebih dahulu melakukan penetapan anmaning dan penyitaan (Vide : pasal 196 sd 200 HIR), dan kemudian Ketua Pengadilan membuat penetapan lelang dan selanjutnya mengajukan permohonan lelang kepada KPKLN.
Sedangkan proses pelelangan obyek hak tanggungan pada eksekusi dengan title eksekutorial ini juga  dilakukan melalui KPKNL (Vide : pasal 6b  PMK No.27/PMK.06/2016).
Ketiga, eksekusi atas kesepakatan Kreditur dan Debitur ( Pasal 20 ayat 2 UUHT dan Pasal 20 ayat 3 UUHT). Pada pasal 20 ayat 2 UUHT dinyatakan :”Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat 2 UUHT, menurut pasal 20 ayat 3 UUHT hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Dari ketiga jenis eksekusi hak tanggungan yang diatur pada pasal 20 UUHT, yang membutuhkan bantuan ketua pengadilan negeri adalah eksekusi hak tanggungan dengan titel eksekutorial, sedangkan eksekusi langsung atau parat dan eksekusi kesepakatan tidaklah membutuhkan fiat ketua pengadilan.   
(*Penulis adalah Advokat & Trainer, Telp/WA : 0813-2895-0019)

Sabtu, 26 Oktober 2019

Perihal Masalah Klaim Simpanan Nasabah pada Bank dalam Likuidasi


Rubrik Opini :
Perihal Masalah Klaim Simpanan Nasabah 
pada Bank dalam Likuidasi
Oleh : Kardi Pakpahan*
            Coba dibayangkan, sudah bertahun-tahun seorang nasabah penyimpan dana dengan total saldo simpanan Rp 200 juta menjadi nasabah di sebuah bank, tetapi di suatu waktu  tiba giliran dicabut izin usaha bank yang terkait dan masuk status Bank dalam Likuidasi (BDL), nasabah penyimpan dana tersebut tidak mendapatkan hasil klaim dari Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), dengan alasan bahwa suku bunga simpanan nasabah tersebut melampaui suku bunga penjaminan yang ditetapkan LPS, padahal Nasabah penyimpan Dana tersebut tidak pernah meminta bunga khusus atau special rate kepada Bank terkait. Bagian paparan di awal ini adalah kasus posisi, tetapi mungkin saja sudah pernah dialami oleh nasabah perbankan.
            Seluruh bank yang ada di sini wajib atau harus mengikuti program penjaminan simpanan nasabahnya. Institusi atau lembaga yang melakukan penjaminan simpanan nasabah perbankan berdasarkan Undang-Undang (UU) No.24/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No.7/2009 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan atau yang disebut juga UU LPS, adalah LPS. Pertanyaan sekarang apakah fungsi, wewenang dan tugas LPS dalam rangka penjaminan simpanan semata-mata menerima dana kontribusi dan premi penjaminan dari perbankan dan melakukan penggantian simpanan nasabah yang memenuhi syarat ketika ada bank yang dicabut izin usahannya ?
            Kalau dicermati peraturan perundang-undangan yang terkait maka dapat dikatakan tidaklah demikian. Institusi LPS selaku penyelenggarapa penjaminan mengendalikan resiko operasional penjaminan sebelum terjadi transaksi simpanan di perbankan, yaitu setiap bank peserta penjaminan menjelaskan produk penjaminan simpanan kepada nasabah sebelum transaksi pembukaan rekening simpanan disetujui bank, seperti persyaratan penjaminan, juga selama menjadi nasabah  dan juga setelah ada bank yang dicabut izin usahannya atau menjadi BDL.
            Untuk persyaratan simpanan yang dijamin LPS itu dapat dilihat pada pasal 19  UU LPS. Disana dikatakan  3 (tiga) syarat penjaminan simpanan, yaitu 1) Tercatat di Bank; 2) Nasabah Penyimpam bukan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar atau suku bunga simpanan tidak melampau suku bunga penjaminan dari LPS; 3) Nasabah Penyimpan bukan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat, misalnya nasabah tidak memiliki kredit macet pada bank yang terkait. Disamping ketiga syarat tersebut, jumlah simpanan untuk setiap nasabah yang dijamin LPS saat ini berdasarkan pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66/2008 adalah sebesar Rp 2 Milyar. 
            Untuk melihat ketentuan yang terkait pengelolaan resiko operasional penjaminan simpanan tersebut, pada bagian berikut dikedepankan beberapa ketentuan penting. Pertama, LPS bertugas menjamin simpanan pada bank, seperti yang diatur pada  pasal 5 ayat 1 huruf b UU LPS. Disana dikatakan :”LPS mempunyai tugas melaksanakan penjaminan simpanan.
            Kedua, wewenang LPS menetapkan dan memungut premi penjaminan. Hal tersebut diatur pada pasal 6 ayat 1 huruf a UU LPS. Disitu disebutkan:”LPS mempunyai wewenang menetapkan dan memungut premi penjaminan.
            Ketiga, kewajiban bank memberikan data, informasi dan dokumen yang penjaminan ke LPS. Ketentuan yang terkait hal tersebut diatur pada pasal 9 huruf d UU LPS. Disana dikatakan  :”Sebagai peserta Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, setiap Bank wajib memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan”. Dengan demikian seluruh data yang terkait dengan program penjaminan simpanan di bank, seperti data atau informasi dan/atau dokumen yang terkait dengan persyaratan penjaminan dapat diperoleh oleh LPS.
            Keempat, dalam rangka pelaksanaan program penjaminan simpanan.  LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank. Hal tersebut sudah jelas dan tegas diatur pada pasal 42 UU No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Disana dikatakan :”LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”.
            Apa saja ruang lingkup pemeriksaan bank yang dapat dilakukan oleh LPS  ?  Kaedah hukum atau uraianya sudah jelas dimuat  pada bagian penjelasan pasal 42 UU No.21/2011. Disitu disebutkan :” lingkup pemeriksaan LPS kepada bank meliputi : pemeriksaan premi, posisi simpanan bank, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank bermasalah, kualitas aset dan kejahatan di sektor perbankan”. Dengan demikian ketika LPS, menjalankan ketentuan pasal 42 UU No.21/201, maka data yang lengkap terkait dengan program penjaminan simpanan, termasuk seluruh persyaratan penjaminan yang diatur pasal 19 ayat 1 UU LPS, dapat diperoleh LPS.
            Data yang terkait setelah dilakukan pemeriksaan LPS pada sebuah bank pada periode tertentu misalnya, ditemukan ada nasabah yang tercatat dengan suku bunga simpanan diatas suku bunga penjaminan LPS. Terhadap temuan seperti hal tersebut perlu dilakukan identifikasi, verifikasi atau rekonsiliasi apakah masalah tersebut murni kesalahan operasional bank (baik yang mungkin diakibatkan masalah karyawan, teknologi/aplikasi dan/atau sistem dan prosedur)  atau atas kesepakatan bank dengan nasabah.
            Jika dalam pemeriksaan LPS terhadap bank misalnya ditemukan bahwa pencatatan suku bunga yang melampauai suku bunga penjaminan LPS adalah karena kelemahan atau masalah dari operisasional bank (baik masalah SDM, teknologi/aplikasi, sistem dan prosedur) maka sudah seharusnya salah satu satu jalan keluarnya adalah melakukan upaya perbaikan atau jurnal koreksi, supaya nasabah yang beritikat baik mendapat perlindungan.
Jika dalam pemeriksaan  LPS di bank  yang masih beroperasi bahwa ditemukan  persetujuan suku bunga di atas suku bunga penjaminan LPS adalah karena kesepakatan bank dan nasabah yang didukung dengan bukti yang kuat atau otentik. Maka terhadap temuan yang terakhir ini maka dapat dibuat 2  (dua) jalan keluarnya, yaitu  dilakukan koreksi supaya masuk dalam program penjaminan atau jika tidak mau dilakukan koreksi setidak-tidaknya Nasabah harus membuat Surat Pernyataan dari awal bahwa simpanannya tidak masuk dalam program penjaminan simpanan LPS. Terhadap temuan masalah kekurangan pembayaran premi penjaminan simpanan dari suatu bank misalnya, maka lazimnya dilakukan koreksi yaitu bank yang terkait harus membayar kekurangan pembayaran premi kepada LPS.
Pada dasarnya semua bank peserta penjaminan perlu diperiksa oleh LPS,  tetapi dapat dibuat skala prioritas Bank yang musti diperiksa oleh LPS dalam rangka program penjaminan simpanan, seperti 1) bank status pengawasan intensif; 2) bank dalam pengawasan khusus; 3) bank dengan nilai resiko keseluruhan atau akumulatif pada level tinggi atau sangat  tinggi; 4) bank yang diindikasikan ada terjadi modus kejahatan perbankan yang diperkirakan sangat berpengaruh pada permodalan dan/atau cash rasio bank.   
Sehubungan dengan uraian diatas, untuk kegiatan penetapan status simpanan nasabah pada bank yang telah dicabut izin usahannya atau sudah termasuk dalam Bank Dilikuidasi, maka ketika dilakukan identifikasi rekonsiliasi atau verifikasi (Vide pasal 19 UU LPS) apakah sebuah simpanan nasabah masuk dalam kategori layak bayar atau tidak layak bayar, maka perlu dilakukan LPS secara mendalam dan cermat. Jika tidak terpenuhinya syarat penjaminan simpanan misalnya karena kelalaian atau kesalahan LPS, atau bukan karena kesalahan Nasabah Penyimpan, maka LPS jangan lah sampai memasukkan simpanan tersebut sebagai simpanan yang tidak layak bayar, supaya nasabah penyimpan dana yang beritikat baik jangan sampai dirugikan.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan penjaminan simpanan pada perbankan, disamping LPS perlu meningkatkan kualitas pemeriksaannya kepada Bank dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang sehubungannya dengan pelaksanaan program penjaminan, juga perlu meningkatkan dan menyempurnakan format untuk mendapatkan data, informasi dan dokumen dari perbankan, sehingga pengendalian resiko operasional penjaminan dari awal sudah semakin terkendali dengan baik. Semoga.  (*Penulis adalah Alumni FHUI, Advokat, WA=0813-2895-0019, IG= kardi_pakpahan)

Rabu, 09 Oktober 2019

Impact of the Trade War for Indonesia : Strengthening Internally, Facing Global Uncertainty

A Scenario Planning : Impact of the Trade War for Indonesia

Strengthening Internally, Facing Global Uncertainty


By : Kardi Pakpahan *
One of the effects of trade war between “Negeri Paman Sam” (US) and the “Negeri Tirai Bambu” (Chinese People's Republic), most likely is the problem of global uncertainty or recession, especially those that are increasingly apparent and felt at the end of 2019 and entering 2020, both at the second side of the State involved in trade wars, and trade wars can also attract countries in certain regions, such as the European region experiencing uncertainty or slowdown, especially countries that have high levels of trade with the United States and China.
Due to uncertainty / slowdown or weakening external conditions, from the internal side of Indonesia, some changes are needed. If the aforementioned changes are not made then it is possible to trigger a slowdown in domestic economic activity, and potentially lead to a recession. Possible internal changes, some of which are put forward in the following description.
First, financial service providers, both banking and non-banking, need to avoid business models that are too concentrated in certain fields that can lead to an escalation of concentrated risk. Aside from continuing to explore the existing market potential, financial service providers need to remain consistent in carrying out governance and carrying out overall risk control. In the meantime, the business of financial providers needs to continue to support the financing of export commodities that are feasible to be financed.
Second, trade. To overcome the deficit in trade transactions, while adequate commodities are available domestically, it is necessary to avoid imports. Changes in export orientation also need to be made, especially to countries or to new regions. Representatives of the Indonesian government, such as embassies or consulates in foreign countries, should be proactive in formulating various commodities that become export markets.
Third, management of the government budget. Management of government budgets, both at the APBD and APBN levels, needs to be managed healthier with a very minimal level of abuse. At the APBD level, allegedly the financial statements of the Regional Government (Pemda) can be rated WTP (Fair without exceptions), but sometimes corruption is suspected to still occur. In view of this, the BPK (Audit Board of the Republic of Indonesia) audit has really been able to continue to improve the quality of its audit or audit. In an audit activity, for example, do not focus too much on finding out who is wrong, but really examine or audit what is wrong and build commitment on how to correct it, so that it does not recur over the next audit process.
Fourth, investment conditions are increasingly conducive. To strengthen internal conditions, it is necessary to prioritize conducive investment conditions, such as in licensing services, export trading systems, and others. Conducive investment activities, both for domestic orientation and for export purposes, aside from being able to improve the trade balance deficit, can also overcome current account deficits or Current Account Deficit.
Fifth, politics. To strengthen internally, political stability is needed. Therefore, differences in political attitudes among the components of the nation, especially between political parties, it should be resolved through the mechanism of the constitution or legislation in force. Opposition camps should make corrections or criticisms positively and constructively, lest anything is destructive.
Sixth, security. To strengthen Internal in facing the possibility of global uncertainty, the level of internal security should always be maintained in all regions. For this reason, every existing security institution needs to be proactive in taking action, both in preventing and overcoming every security threat. In the meantime, every social disease in the community, such as the problem of drug distribution, gambling, etc., needs to be fully anticipated by law enforcement institutions.
Seventh, food security. Related institutions need to prepare more for domestic food security policies and less dependence on imported food commodities.
Eighth, tourism. The domestic tourism market must continue to be driven, and at the same time create a tourism program that can attract foreign tourists to visit domestic. To attract tourists from the Middle East region into the country for example, can open direct flight access to tourist destinations that still have opportunities, such as to the Southeast Southeast Nusantara / NTB region or other tourist destinations in the country.
Ninth, positive sentiment. Positive sentiment or news should continue to be rolled out to encourage economic activity, especially in supporting investment and new economic growth. For example, some time ago the Labuhan Bajo area, the Lake Toba region, was relatively not very busy, now with positive news being rolled out, this region and several other regions have been throbbing in economic activity.
The plan to relocate the capital of the Republic of Indonesia to the East Kalimantan region, initiated by President Jokowi, needs to be responded positively, especially in preparing the regulation side of each related institution. Many positive effects of the planned relocation of the capital region, such as creating equity and equity in development, creating new areas of economic growth, encouraging investment and capital flows because the newly announced capital region development model requires private participation.
Tenth, transportation. To strengthen the internal side, in the face of slowing global economic growth, all transportation routes need to be improved so that they are more efficient and do not become drivers of higher inflation. Air transportation routes, which were once expensive, need to be modified in new business models, so that they are more affordable to the general public and can support the throbbing economic activities throughout the archipelago.
Eleventh, domestic product care program. In a condition of global slowdown, a program to care for domestic products, both goods and services, needs to be done. In the field of education service products, for example, it is necessary to put forward policies that can improve national education services, both in short-term and long-term educational programs.
Twelfth, from infrastructure to HR. The use of APBN (State budget) funds, even under certain conditions, such as the Current Account Deficit, but is also used for infrastructure development and HR development does not always have a negative impact, because the results will be positive in the next period or period. Therefore, including in facing global uncertainty, the infrastructure development that has been proclaimed by President Jokowi needs to be continued with the next articulation on human resource development, so that it can trigger the increase in national productivity and more and more Indonesian human resources can work abroad in a good position .
In all of that, hopefully the scenario planning is that the trade war of “Paman Sam” (US) with the “Negeri Tirai Bambu” (China) will quickly subside, and increasingly create a more positive level of global and internal certainty. However. although faced with increasingly high uncertainty, it is necessary to continue to be optimistic with relevant changes in actions. It is said so, because in every crisis there are also opportunities, each company is formed with opportunity, everyone is born with opportunity, every country, including the Republic of Indonesia - is established or proclaimed with opportunity.
(* The author is an Advocate and Trainer, FH-UI alumnus, WA = 0813-2895-0019)

Minggu, 06 Oktober 2019

Mencermati Akselerasi Pertumbuhan Usaha Fintech P2P Lending

Rubrik  Opini :
Mencermati Akselerasi Pertumbuhan Usaha Fintech P2P Lending


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Bila dicermati pertumbuhan  usaha Financial Technology (Finctech), khususnya Peer to Peer Lending  atau P2P Lending, yang juga dikenal dengan istilah pinjaman dalam jaringan (Pindar),  dapat dikatakan berada pada zona akselerasi, yang pertumbuhannya berada di atas rata-rata industri penyelenggara jasa keuangan lainnya. Sebagai contoh, penyaluran Pinjaman melalui Fintech P2P Lending pada Juli 2018 sebesar Rp 9,21 Triliun, sedangkan pada bulan Juli 2019  total penyaluran pinjaman melalui 127 institusi Fintech P2P Lending sudah mencapai  Rp 49,79 Triliun.  Sampai Juli 2019, sekitar 70% nasabah pembiyaan Fintech P2P Lending berusia 19 sd 34 tahun.
            Beberapa faktor turut mendukung akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending. Sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, pengaturan. Pada tanggal 28 Desember 2016 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Peraturan OJK atau POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Setelah POJK tersebut diberlakukan atensi untuk menyelenggarakan usaha Fintech P2P Lending relatif besar dan sampai bulan Juli 2019 sudah 127  usaha Fintech P2P Lending yang telah  terdaftar di OJK. Pengaturan lain yang sifatnya mendukung usaha Fintech P2P Lending adalah POJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) di sektor Jasa Keuangan.
            Kedua, perizinan.  Mekanisme kegiatan perizinan usaha Fintech P2P Lending dimulai dari proses pendaftaran pada Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK,  setelah memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan POJK No.77/POJK.01/2016, maka izin diberikan oleh OJK. Setelah terdaftar di OJK, Fintech P2P Lending sudah dapat menjalankan kegiatan usahanya.
            Ketiga, modal besar. Berdasarkan data yang dirilis oleh OJK belum lama ini, mengedepankan bahwa Indonesia memiliki modal besar untuk mendukung perkembangan Fintech. Indikator modal tersebut, sebagian diantaranya adalah a) 52 juta orang terkategori sebagai middle class, yang disebut juga dengan ungkapan consuming class dan menikmati bonus demografi pada tahun 2030; b) total pengguna internet 150 juta atau tumbuh 13% (yoy) dengan penetrasi mencapai 56%; c) persentase pengguna mobile banking mencapai 61%; d) jumlah milenial semakin banyak, yang saat ini sudah mencapai 88 juta.
            Keempat, kebijakan strategis OJK. Salah satu Kebijakan strategis OJK  tahun 2019 dari 5 pilar utama, yang dapat dikatakan turut mendukung akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending adalah mempersiapkan industri jasa keuangan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, yang didukung dengan program  : a)  digitalisasi produk dan layanan keuangan; b) fasilitas pengembangan start up Fintech P2P Lending dan equity crowdfunding; c) pengaturan yang mendorong inovasi dan perlindungan konsumen; d) peningkatan literasi masyarakat terhadap fintech; e) penegakan hukum bagi start up.
            Kelima, belum wajib SLIK. Sebagai penyelenggara jasa keuangan melalui penyediaan pinjaman dalam jaringan, Fintech P2P Lending belum diwajibkan mengikuti Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). SLIK merupakan pengganti dari SID (Sistem Informasi Debitur). SLIK digunakan untuk pengecekan calon Debitur apakah memiliki pinjaman non lancar atau fasilitas kredit bermasalah pada lembaga keuangan lainnya. Cenderung lebih banyak calon peminjam menggunakan aplikasi Fintech P2P Lending karena belum menerapkan SLIK.  
            Keenam, dukungan investor. Walapun usia masih relatif mudah, namun mengingat akselerasi pertumbuhan Fintech P2P Lending minat investor relatif besar. Tentu hal tersebut penting, karena modal bagi Fintech P2P Lending, ibaratnya sebagai kaki meja yang keempat. Untuk pengembangan usaha Fintech P2P Lending supaya efisien, serta memiliki kinerja dan daya saing tinggi memerlukan modal yang relatif besar.
            Akselerasi pertumbuhan Fintech P2P Lending perlu dipelihara supaya  terbuka kesempatan semakin banyak anggota masyarakat menikmati jasa keuangan dan dapat mendorong berbagai kegiatan ekonomi. Untuk memelihara atau meningkatkan pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending,  maka pihak-pihak yang terkait perlu mengupayakan beberapa upaya. Sebagian dari beberapa upaya yang dimaksudkan akan dikedepankan pada uraian berikut.
            Pertama, dukungan regulasi. Mengingat kecenderungan pertumbuhan Fintech P2P Lending pada masa yang akan datang, maka perlu pengaturan dalam Undang-undang (UU), yang dapat diwujudkan dalam UU Fintech atau UU Perkreditan – termasuk pengaturan pinjaman atau kredit dalam jaringan. Dengan UU yang dimaksudkan, disamping mengedepankan substansi pengaturan yang terkait dengan penyelenggaraan usaha Fintech,  juga sekaligus mengakomodir upaya mengantisipasi dan mengatasi praktek Fintech Ilegal, yang dalam beberapa waktu terakhir sempat meresahkan masyarakat di berbagai tempat di Nusantara.
            Kedua, rekruitmen SDM unggul dari perbankan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada struktur usaha Fintech P2P Lending  selama ini, baik pada posisi puncak (top management) maupun pada jajaran lini tengah organisasi (middle management),  maupun pada sisi lini pertama (first management) tidaklah semua memiliki latar belakang dari usaha jasa keuangan/perbankan. Untuk memelihara atau meningkatkan akselarasi pertumbuhan usaha, maka perlu dilakukan rekruitmen  SDM yang unggul yang relatif masih usia muda serta menguasai teknologi informasi dari perbankan untuk membantu Fintech P2P Lending untuk penyusunan dan pelaksanaan rencana bisnis/model bisnis, pengendalian resiko, cost & pricing untuk penghitungan pengenaan dasar bunga pinjaman sehingga mendapatkan hasil optimal dengan tetap menjaga keseimbangan aktiva dan pasiva.
            Ketiga, kerjasama antara Fintech P2P Lending dengan penyelenggara jasa keuangan lainnya. Supaya kehadiran Fintech P2P Lending semakin positif maka perlu digalang kerjasama dengan penyelenggara jasa keuangan lainnya. Kolaborasi  dengan Bank Umum dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) misalnya dapat diwujudkan dalam penyaluran kredit sindikasi (syndicated loan) maupun pola penerusan kredit (Channeling). Kerjasama Fintech P2P Lending  dengan usaha asuransi misalnya dapat diwujukan dalam pengadaan jasa asuransi jiwa kredit atau asuransi benda jaminan kredit.
            Keempat, peningkatkan kualitas perlindungan nasabah.  Baik dari sisi regulasi maupun upaya dari penyenggara Fintech P2P Lending perlu dilakukan peningkatan kualitas perlindungan kepada nasabah atau konsumen jasa Pindar atau Fintech Lending. Relevan dengan upaya ini, maka ada baiknya RUU Data Pribadi perlu segera diundangkan atau diberlakukan.  Kehadiran UU Data Pribadi perlu untuk mendukung perlindungan nasabah Fintech, sekaligus menjadi pegangan bagi otoritas pengawas dan penyelenggara Fintech P2P Lending
            Kelima, perluasan pasar.   Fokus pemasaran Fintech P2P Lending selama ini dapat dikatakan masih lebih dominan di pulau jawa. Mengingat hal tersebut, perlu perluasan pasar  dan penyelenggara Fintech P2P Lending ke wilayah lainnya di nusantara, untuk semakin membuka akses yang lebih luas jasa keuangan ke masyarakat atau memperluas inklusi keuangan.
            Keenam. Pengembangan SDM. Untuk mendukung  dan memelihara akselerasi pertumbuhan uasaha, maka  perlu dilakukan program pengembangan SDM, baik yang diselenggarakan perusahan Fintech P2P Lending secara mandiri maupun melalui asosiasi.  Belum lama ini, AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) telah melakukan pelatihan sertifikasi kompetensi untuk pemegang saham, direksi dan komisaris. Untuk mendukung pengembangan SDM pada perusahaan Fintech P2P Lending di lini tengah (middle management), AFPI perlu memprakarsai, merencanakan dan menyelenggarakan  program pelatihan untuk pengembangan kompetensi SDM di lini tengah.
            Ketujuh, peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Untuk memastikan akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending, maka perlu ditingkatkan kualitas pelayanan perizinan, seperti dalam percepatan penyelesaian izin mulai dari pendaftaran.  Jika peningkatan kualitas perizinan dapat diwujudkan, maka investor yang tertarik pada Fintech P2P Lending, baik dalam kegiatan investasi langsung ataupun investasi tidak langsung (seperti pembelian saham), akan cenderung semakin besar.
            Kedelapan, standar laporan keuangan Fintech P2P Lending.  Dalam rangka mengwujudkan transparansi dalam penyelenggaraan usaha Fintech P2P Lending, yang karenanya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, terutama para Investor,   maka perlu didepankan standar laporan keuangan. Untuk mendukung hal tersebut maka AFPI perlu melakukan kordinasi dengan OJK dan IAI untuk penyusunan standar akuntansi atau laporan keuangan Fintech P2P Lending.
            Kesembilan, keseimbangan dalam memelihara pertumbuhan usaha. Sebagai usaha rintisan atau startup, usaha Fintech P2P Lending, perlu menjaga keseimbangan unsur pengembangan usaha, seperti aspek financial, customer, internal proses, pengembangan organisasi, supaya dipastikan sustainability atau going concern dapat diwujudkan. Misalnya saja, pertumbuhan volume usaha yang relatif tinggi, perlu  diikuti dengan realisasi target yang seimbang di bidang rasio profitabilitas, baik di sisi Return on Aset (ROA) maupun Return on Equity (ROE). Dalam hal akselerasi program customer acquisition misalnya,  perlu diikuti dengan program customer retention, customer value maupun customer satisfaction. Jika meningkatkan teknologi platform aplikasi dalam meningkatkan mutu internal proses usaha Fintech P2P Lending, perlu dijaga keseimbangan antara keandalan, keterpaduan dan kesinambungan. Untuk pengembangan organisasi misalnya, ketika sudah menerima SDM, maka jangan lupa mengembangkannya. Semoga
(*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Advokat, Trainer & Pengamat Fintech, WA = 0813-2895-0019, IG = kardi_pakpahan)

Minggu, 08 September 2019

Perlu, Dipersiapkan Merger Bank Pelat Merah

Wacana Perbankan :

Perlu, Dipersiapkan Merger Bank Pelat Merah


Oleh : Kardi Pakpahan*

            Berbagai posisi unit kerja pada   perbankan di era revolusi industri 4.0 akan digantikan dengan aplikasi digital dan sebagian porsi segmen pasar unit bisnis atau jasa perbankan, seperti payment point dimungkinkan diakusisi sebagian oleh Fintech Payment, begitu juga sebagian Nasabah Peminjam ada peluangnya masuk program customer acquisition oleh Fintech P2P Landing. Sementara kebutuhan modal untuk pencadangan pengendalian resiko dan pengembangan usaha, seperti untuk investasi di bidang teknologi, pengembangan pasar akan cenderung semakin besar. Modal itu tidak cukup hanya dari akumulasi hasil usaha atau right issue, tetapi juga dari sumber-sumber lain yang memungkinkan.  
            Berangkat dari hal tersebut, penggabungan usaha, seperti merger/konsolidasi, merupakan salah satu pilihan yang penting. Begitu juga tentunya dengan bank pelat merah, Bank BRI, BankMandiri, BNI dan BTN, salah satu pilihan yang mungkin dapat ditempuh adalah melalui merger, seperti antara Bank Mandiri dengan BNI atau Bank BRI dengan BTN, karena kemampuan menyetor modal dari pesaham adalah kadang kala ada batasnya, karena banyak kegiatan pembangunan yang harus dibiayai Pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM yang unggul, dan juga untuk bidang-bidang lainnya.   
Ada beberapa manfaat konsolidasi atau merger bank pelat merah atau bank milik pemerintah. Sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, untuk modernisasi teknologi.  Tak dapat dipungkiri, kegiatan perbankan di era revolusi Industri 4.0 sudah sangat mengandalkan teknologi digital dalam kegiatan usahannya, dan cenderung. teknologi tersebut memiliki life cycle yang relatif tidak begitu lama, sehingga membutuhkan sumber daya dana yang relatif besar.
            Kedua, meningkatkan kinerja dan daya saing. Dengan rampingnya bank pelat merah melalui merger atau konsolidasi, melalui dukungan sumber daya manusia yang unggul, sumber daya dana dan teknologi yang memadai maka akan dapat memiliki kinerja dan daya saing yang tinggi. Dengan demikian, dana yang menganggur di bank pelat merah, yang ditandai dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang relatif besar atau undisbursed loan yang masih besar akan semakin dapat ditekan, sehingga rasio profitabilitas bank pelat merah, seperti Return on equity maupun Return on Aset akan semakin baik.  
            Ketiga, adaptif. Melalui merger yang dilakukan, bank pelat merah dapat lebih adaptif karena juga didukung dengan struktur organisasi dan strategi yang koheren untuk mentrasformasikan visi dan misi.
            Keempat, mendukung efektivitas pengawasan. Melalui merger bank pelat merah, yang juga menjadi sebuah pilihan bagi beberapa penyelenggara jasa keuangan lainnya, seperti BPR, Multifinance, asuransi, maka pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terbuka semakin efektif.
            Untuk mendukung proses merger atau konsolidasi bank pelat merah tentu memerlukan persiapan yang matang, supaya ketika merger dilakukan tidak menimbulkan banyak masalah. Fakta mengatakan, akibat kekurangsiapan pra merger atau pra konsolidasi, bisa menimbulkan friksi, yang dapat berpengaruh pada kinerja paska merger. Apa saja persiapan yang perlu dilakukan ? Pertama, dalam manajemen SDM (Sumber Daya Manusia). Pada Bank hasil merger perlu evaluasi dan ditetapkan sistem benefit dan konvensasi,  struktur organisasi, standar imbal kerja, standar kompetensi, evaluasi kenerja, strategi peningkatan kepuasan dan produkvitas kera, budaya perusaraan, dan lain-lain.
            Kedua, Internal Proses. Untuk mendukung internal proses bank hasil merger perlu ditetapkan beberapa teknologi atau aplikasi untuk mendukung digital perbankan dengan karakteristik reliability, integrity dan continuity yang tinggi.
            Ketiga, cakupan pasar. Rencana bisnis bank hasil merger atau konsolidasi di samping menangani pasar keuangan seluruh nusantara, juga mulai pasar regional, seperti Asean, Asia, terutama Negara-negara yang relatif tinggi transaksi bisnis dengan Indonesia.
            Keempat, proyeksi target finansial. Proreksi target finansial bank pelat merah hasil penggabungan, disamping dibuat optminis, tetatapi tetap dapat tercapai, terukur dan sehat.
            Dalam pada itu ide merger atau konsolidasi bank pelat merah juga tetap seirima dengan pembentukan holding bank pelat merah, yang dapat sebetulnya diikuti dengan rencana  konsolidasi atau merger antar Bank Pembangunan Daerah (BPD). Misalnya, dari seluruh Bank Pembangunan Daerah di nusantara dilakukan merger atau konsolidasi dengan menghasilkan 3 Bank, contohnya 1 di kawasan  Indonesia Bagian Barat, 1 di kawasan Indonesia Bagian Tengah, 1 di kawasan Indonesia Bagian Barat,  yang sahamnya juga dapat dimiliki oleh Holding Bank Pelat merah.   
(*Pengamat Perbankan, Advokat & Trainer Perbankan, Alumnus FH-UI)      

Senin, 02 September 2019

Memperkuat Internal, Menghadapi Ketidakpastian Global


Sebuah Scenario Planning : 
Memperkuat Internal, Menghadapi Ketidakpastian Global


Oleh: Kardi Pakpahan*
                Salah satu Dampak perang dagang antara Negara Paman Sam (AS) dengan Negeri Tirai Bambu (Republik Rakyat Tionghoa), kemungkinan besar adalah pada masalah ketidakpastian global atau resesi, khususnya yang dimungkinkan kian kentara dan terasa di  penghujung tahun 2019 dan memasuki tahun 2020, baik pada sisi kedua Negara yang  terlibat perang dagang, dan perang dagang tersebut juga dapat menarik negara-negara di kawasan tertentu, seperti kawasan Eropa  mengalami ketidakpastian atau perlambatan, terutama negara-negara yang selama ini tinggi tingkat perdagangannya dengan dengan Amerika Serikat maupun China.
                Akibat ketidakpastian/perlambatan atau kondisi eksternal yang melemah, dari sisi internal Indonesia maka diperlukan beberapa perubahan. Bila perubahan yang dimaksud tidak dilakukan maka kemungkinan dapat memicu perlambatan kegiatan ekonomi di dalam negeri, dan berpotensi menjadi resesi. Perubahan internal yang memungkinkan dilakukan, sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut.
                Pertama, penyelenggara jasa keuangan, baik perbankan maupun non perbankan, perlu menghindari dari model bisnis yang terlalu terkonsentrasi ke bidang tertentu yang dapat mengakibatkan eskalasi resiko terkonsentrasi. Disamping tetap menggali potensi pasar yang ada, penyelenggara jasa keuangan perlu tetap konsistesn menjalankan tata kelola dan melakukan pengendalian resiko secara keseluruhan. Dalam pada itu, usaha penyelenggara keuangan perlu terus mendukung pembiayaan komoditi ekspor yang layak dibiayai.
                Kedua, perdagangan. Untuk mengatasi dalam defisit transaksi perdagangan, maka selagi tersedia komiditi yang memadai dalam negeri, perlu dihindari impor. Perubahan orientasi ekspor perlu juga dilakukan, khususnya ke negara-negara atau ke kawasan yang baru. Perwakilan pemerintah Indonesia, seperti Kedubes atau Konsulat di mancanegara sudah sebaiknya proaktif memformulasikan berbagai komoditi yang menjadi pasar ekspor.
                Ketiga, pengelolaan anggaran pemerintah. Pengelolaan anggaran pemerintah, baik dalam tingkat APBD maupun APBN perlu dikelola semakin sehat dengan tingkat penyalahgunaan yang sangat minim. Ditingkat APBD, disinyalir laporan keuangan Pemerintah Daerah (Pemda) dapat predikat WTP, tetapi kadang kala korupsi diduga masih terjadi. Mengingat hal tersebut, maka audit BPK, sudah benar-benar dapat terus meningkatkan kualitas pemeriksaan atau auditnya. Dalam kegiatan audit misalnya, jangan terlalu terfokus mencari siapa yang salah, tetapi benar-benar memeriksa atau mengaudit tentang apa yang salah dan membangun komitmen cara memperbaikinya, sehingga tidak muncul lagi hal yang berulang pada proses audit berikutnya.
                Keempat,  kondisi investasi yang semakin kondusif. Untuk memperkuat kondisi intenal, maka perlu dikedepankan kondisi investasi yang semakin kondusif, seperti dalam pelayanan perizinan, tata niaga ekspor, dan lain-lain. Kegiatan investasi yang kondusif, baik untuk orientansi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor, disamping dapat memperbaiki defisit neraca perdagangan, juga sekaligus dapat mengatasi defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit.
                Kelima,  politik. Untuk memperkuat internal, maka diperlukan kestabilan di bidang politik. Oleh karena itu, perbedaan sikap politik diantara komponen bangsa, terutama antar partai politik,  maka sudah sebaiknya diselesaiakan  melalui mekanisme konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Kubu oposisi sudah sebaiknya melakukan koreksi ataun kritik secara positif dan kontruktif, jangan sampai ada yang destruktif.
                Keenam, keamanan. Untuk memperkuat Internal dalam menghadapi kemungkinan ketidakpastian global, tingkat keamanan dalam negeri  sudah sebaiknya selalu terjaga di seluruh wilayah. Untuk itu, setiap institusi keamanan yang ada perlu proaktif melakukan aksi, baik dalam pencegahan maupun mengatasi setiap ancaman keamanan. Dalam pada itu, setiap penyakit sosial dalam masyarakat, seperti masalah peredaran narkoba, perjudian, dan lain-lain, perlu benar-benar diantisipasi institusi penegak hukum.
                Ketujuh, ketahanan pangan. Lembaga-lembaga yang terkait, perlu lebih mempersiapkan kebijakan ketahanan pangan dalam negeri dan semakin sedikit tergantung pada komoditi pangan impor.
                Kedelapan, pariwisata. Pasar pariwisata dalam negeri harus tetap dipacu, dan saat yang sama membuat program pariwisata yang dapat menarik wisatawan manca negara untuk berkunjung ke dalam negeri. Untuk menarik wisatawan dari kawasan Timur Tengah ke dalam negeri misalnya, dapat dengan membuka akses penerbangan langsung ke destinasi wisata yang masih ada peluangnya, seperti ke wilayah Nusantara Tenggara Barat/NTB atau destinasi wisata lainnya di dalam negeri.
                Kesembilan, sentiment positif. Perlu terus digulirkan sentimen atau berita positif untuk mendorong bergeraknya kegiatan perekonomian, khususnya dalam mendukung investasi dan pertumbuhan ekonomi baru. Misalnya, beberapa waktu lalu kawasan Pelabuhan Bajo, Kawasan Danau Toba, adalah relatif tidak begitu ramai, sekarang dengan berita positif yang digulirkan, kawasan ini dan beberapa kawasan lainnya sudah semakin berdenyut kegiatan ekonominya.
                 Rencana pemindahan ibukota Republik Indonesia ke kawasan Kaltim, yang diprakarsai oleh  Presiden Jokowi, perlu direspon secara positif, terutama dalam mempersiapkan sisi regulasinya oleh setiap institusi terkait. Banyak dampak positif dari rencana pemindahan wilayah ibukota tersebut, seperti menciptakan keadilan dan pemerataan dalam pembangunan, menciptakan wilayah baru pertumbuhan ekonomi, mendorong masuknya investasi dan arus modal karena model pembangunan wilayah ibukota yang baru dicanangkan memerlukan partisipasi swasta.
                Kesepuluh, transportasi. Untuk memperkuat sisi internal, dalam menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, maka  seluruh jalur transportasi, perlu dibenahi supaya semakin efisien dan tidak menjadi pendorong semakin tingginya inflasi. Jalur transportasi udara yang sempat mahal, perlu dilakukan modifikasi model bisnis baru, supaya semakin terjangkau masyarakat umum dan dapat mendukung semakin berdenyutnya kegiatan ekonomi di seluruh Nusantara.
                Kesebelas, program perduli produk dalam negeri. Dalam kondisi perlambatan global, maka program perduli produk dalam negeri, baik barang dan jasa, perlu dilakukan. Dalam bidang produk jasa pendidikan misalnya, perlu dikedepankan kebijakan yang dapat meningkatkan jasa pendidikan nasional, baik dalam  program pendidikan jangka pendek maupun jangka panjang.
                Keduabelas, dari infrastruktur  ke SDM. Penggunaan Dana APBN, walapun dalam kondisi tertentu, seperti Current Account Deficit,  tetapi digunakan juga untuk pembangunan infrastruktur dan pembangunan SDM maka tidaklah selalu berdampak negatif, karena hasilnya akan positif pada periode atau masa berikutnya. Oleh karena itu, termasuk dalam menghadapi ketidakpastian global, maka pembangunan infrastruktur yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi perlu dilanjutkan dengan asrtikulasi berikutnya pada pembangunan SDM, sehingga dapat memicu semakin meningkatkannya produktivitas nasional dan SDM Indonesia semakin banyak yang dapat bekerja di manca Negara pada posisi yang baik.
                Di dalam itu semua, semoga scenario planning-nya adalah perang dagang Paman Sam (AS) dengan Negeri Tirai Bambu (China) cepat reda, dan semakin tercipta tingkat kepastian global dan internal yang semakin positif. Namun. walapun diperhadapkan dengan ketidakpastian yang semakin tinggi, perlu terus optimis dengan berbagai aksi perubahan yang relevan. Dikatakan demikian, karena di setiap Krisis juga ada peluang, setiap perusahaan terbentuk bersama peluang, setiap orang lahir bersama peluang, setiap Negara, termasuk NKRI – didirikan atau diproklamasikan juga bersama peluang. 
(*Adalah Advokat dan Trainer, Alumnus FH-UI, WA = 0813-2895-0019)

Senin, 19 Agustus 2019

Usaha Finansial, Prosperity dan Poverty

Catatan Finansial :

Usaha Finansial,  Prosperity dan Poverty


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Usaha Finansial atau Penyelenggara Jasa Keuangan, baik perbankan (seperti, Bank Umum, Bank Pekreditan Rakyat/BPR) maupun non perbankan ( seperti Fintech P2P Lending, Multifinance, Perusahaan Asuransi, Pegadaian), jika dikelola dengan baik dapat menghasilkan kesejahteraan (prosperity) bagi nasabah/cutomer atau pengguna jasa, tetapi bila tidak dikelola dengan baik dapat pula mengakibatkan kemiskinan atau kemelaratan (Poverty). Tak dapat disangkal beberapa usaha finansial yang illegal, seperti institusi investasi, fintech illegal, telah banyak yang membuat customer menderita kerugian, dan beberapa diantaranya jadi miskin atau bertambah miskin.
            Supaya usaha finansial dapat mengetahui customernya semakin sejahtera atau bertambah miskin perlu dilakukan penelitian secara kontiniu dan konsisten. Misalnya, dalam publikasi Amartha sebagai salah satu perusahaan fintech P2P lending mengungkapkan bahwa sepanjang 2018,  data penurunan angka kemiskinan para mitranya atau customernya. Berdasarkan data Sustainable Accountability Report 2018, pendapatan perempuan desa mitra Amartha naik dari Rp 4,2 juta menjadi Rp 6,7 juta per bulan. Dari contoh yang mengemuka ini, maka dapat dikatakan bahwa Amartha dapat membawa customer-nya ke zona prosperity, bukan ke zona poverty.
            Prinsip mengelola customer secara seimbang perlu dilakukan supaya dapat membawa customer ke zona prosperity. Misalnya, Jangan sampai terlalu fokus ke sisi customer acquisition (mendapatkan customer baru) dan mempertahankan customer lama (customer retention), tetapi melupakan program Customer Satisfaction dan Customer Value.
            Customer Value didapatkan setelah dikalkulasi total manfaat yang diterima Customer, baik tangible maupun intangible dikurangi dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Semakin besar selisihnya maka kepuasaan customer atau customer satisfaction semakin tinggi dan index kesejahteraan atau prosperity customer pun dapat semakin tinggi karenanya.
            Untuk membawa customer memasuki zona prosperity, disamping Usaha Finansial, bisa menjalankan keseimbangan dalam mengelola Customer, juga perlu melakukan pembenahan internal, seperti, pengelolaan sumber daya manusia yang baik, penyempurnaan aplikasi transaksi, penerapan tata kelola, pengelolaan dan pengendalian seluruh resiko secara kontiniu dan konsisten.  
 (*Alumnus FH-UI, Advokat & Trainer, IG : kardi_pakpahan, WA : 0813-2895-0019)

Senin, 29 Juli 2019

Merdeka untuk Menjadi Unggul


Kolom Finansial  :
Merdeka untuk Menjadi Unggul



Oleh : Kardi Pakpahan*
          Apa yang terjadi kalau tidak merdeka ? Sudah dipastikan berbagai ketertinggalan akan mengemuka.  Untuk menghantarkan kemerdekaan. para pejuang, seperti pejuang  kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki karakteristik kemauan yang kuat untuk mencapai titik perjuangan  Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.  Karakteristik kemauan itu misalnya adalah tidak takut salah, tidak mengenal kata putus asa, selalu membangun emosi positif (seperti menghindari rasa takut, kuatir, stres) dan mengedepankan semangat kerjasama.
          Dalam  kegiatan berbagai usaha Penyelenggara Jasa Keuangan, baik perbankan (Bank Umum, BPR), maupun non perbankan (multifinance, fintech, dan lain-lain), di era kemerdekaan saat ini, salah satu tujuan yang dicapai adalah  mencapai keunggulan untuk merealisasikan fungsinya bagi NKRI. Sebagaimana telah diketahui, usaha Penyelenggara Jasa Keuangan dapat menjalankan dan merealisasikan tiga fungsi sekaligus, yaitu 1) pendorong pertumbuhan ekonomi, 2) pendorong pemerataan pembangunan; 3)   pendorong untuk terciptanya stabilitas ekonomi. usaha Penyelenggara Jasa Keuangan yang unggul adalah memiliki kinerja, daya saing dan going concern yang baik. Merdeka untuk menjadi unggul bagi  usaha Penyelenggara Jasa Keuangan, dapat diwujudkan  dengan menjalankan 4  karakteristik kemauan  pejuang kemerdekaan seperti dikedepankan di atas dan melalui proses pembelajaran  serta program pendukung.
          Bagi setiap Sumber Daya Manusia (SDM) usaha Penyelenggara Jasa Keuangan, malas atau enggan belajar adalah suatu jalan menuju kemunduran. Pilihannya Cuma dua, yaitu belajar atau mundur. Berbagai usaha Penyelenggara Jasa Keuangan selama ini telah banyak yang dicabut izin usahannya atau dilikuidasi. Salah satu faktor usaha Penyelenggara Jasa Keuangan ditutup atau bubar, sehingga tidak dapat mengwujudkan fungsinya adalah proses pembelajaran tidak dilakukan secara konsisten dan kontiniu. Supaya dapat menjadi unggul maka usaha Penyelenggara Jasa Keuangan sudah sebaiknya memacu proses pembelajaran bagi setiap SDM di semua lini, khususnya dalam mengdapai era revolusi industri 4.0.
          Program pendukung untuk usaha Penyelenggara Jasa Keuangan menjadi unggul di era kemerdekaan, yang segaligus dapat digunakan untuk mengatasi ketidakpastian dalam kegiatan usaha,   dapat diwujudkan dalam berbagai program, baik jangka pendek, menengah maupun program jangka panjang.  Salah satu bagian   aksi program jangka pendek di sini adalah memformulasikan dan menjalankan Program Merdeka  di bulan Agustus. Sebagian diantara Program Merdeka yang dimaksudkan akan diuraikan pada bagian berikut. Pertama, program merdeka dari hutang. Program ini misalnya ditujukan bagi nasabah yang ada dalam status kredit hapus buku, macet atau diragukan. Konten dari program ini misalnya memberi keringanan untuk penyelesaian hutang selama bulan Agustus, misalnya discount bunga dan denda 74%, discount bunga denda 45%, dan pilihan keringanan lainnya.
          Kedua, pada penyaluran kredit.  Untuk mendukung program ini dapat  diwujudkan melalui lapisan produk kredit, misalnya provisi 0% untuk pencairan kredit selama bulan agustus atau dapat hadiah  jika realisasi permohonan baru, perpanjangan  atau top up kredit  selama bulan Agustus.
          Ketiga, pada sisi simpanan. Untuk dapat mendukung minat masyarakat banyak pada produk simpanan usaha Penyelenggara Jasa Keuangan, dapat diwujudkan pada Program merdeka, seperti pada sisi pemberian suku bunga yang menarik atau berbagai program  hadiah selama periode bulan agustus atau waktu tertentu.
          Keempat, program literasi dan edukasi. Supaya usaha Penyelenggara Jasa Keuangan semakin dikenal masyarakat luas perlu juga menjalankan program literasi dan edukasi yang dapat dilaksakan sekaligus dengan agenda perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan.
          Seluruh program kemerdekan tersebut supaya semakin baik sudah seharusnya dilaksanakan setiap insan atau SDM  usaha Penyelenggara Jasa Keuangan dengan semangat para pejuang kemerdekaan, yaitu tidak takut salah, tidah mudah putus asa, mengedepankan emosi positif dan kerjasama tim yang kuat. Semoga.     
(*Penulis adalah seorang Trainer dan Advokat, Alumnus FH-UI, IG = kardi_pakpahan; WA = 0813-2895-0019)