Senin, 09 September 2013

Kolom Kardi Pakpahan : Menyoal Kebijakan di Bidang Industri

Menyoal Kebijakan di Bidang Industri 

(Perlu, Mendukung Kestabilan Usaha Finansial)


Oleh : Kardi Pakpahan*
Sejatinya supaya dapat memberikan dampak yang signifikan kepada kegiatan pembangunan, sudah semestinya terjadi kesetimbangan pada kegiatan Pertanian sebagai bidang usaha primer dengan kegiatan  industri sebagai bidang usaha sekunder, dan   Kegiatan usaha  jasa sebagai bidang usaha tersier, seperti kegiatan usaha jasa finansial, baik bank maupun non bank.  Apapun jenis bidang usahanya, aspek finansial sangat perlu, ia bagai kaki meja yang keempat. Oleh karena itu, sangat diperlukan pertumbuhan dan perkembangan usaha finansial dengan tingkat kestabilan yang terkendali, termasuk tentunya dari bidang industri.
SEKTOR atau bidang Industri memiliki arti yang penting dan strategis dalam pembangunan, baik untuk saat ini maupun pada masa yang akan datang. Ada beberapa alasan dikatakan demikian, sebagian di antaranya akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, pemulihan dari gejolak krisis ekonomi. Kegiatan pembangunan di sektor industri dapat digunakan sebagai bagian yang penting dalam upaya pemulihan ekonomi dan menjaga kestabilan kegiatan ekonomi. Dikatakan demikian, dikarenakan kegiatan dalam bidang industri membutuhkan bergeraknya serta masuknya kegiatan investasi, terutama investasi langsung (direct investment). Lazimnya kegiatan investasi, disamping dapat meningkatkan akselerasi dalam pencapaian tujuan pembangunan, juga menghasilkan multiplier effect, seperti penyerapan tenaga kerja.
Kedua, meningkatkan pendapatan negara. Aktivitas kegiatan usaha di berbagai sektor industri bisa meningkatkan pendapatan negara, yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan. Kontribusi pendapatan negara dari sektor industri dapat dikatakan relatif besar, termasuk produk industri untuk tujuan ekspor.  Dengan demikian, pembenahan yang lebih baik di sektor industri, disamping dapat memulihkan dan menjaga kestabilan kegiatan ekonomi, juga bisa meningkatkan perolehan devisa bagi negara, baik melalui instrumen tata niaga ekspor, implementasi perpajakan maupun melalui instrumen lainnya.
Ketiga, meningkatkan daya saing. Bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, khususnya dengan negara yang ada di Asia Pasifik, daya saing negara kita masih termasuk lemah. Jika sektor industri bisa diberdayakan dan dikembangkan, maka akan besar artinya dalam upaya membangun daya saing negara kita.
Keempat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun tahun terakhir ini masih berada pada ukuran yang rendah. Melalui pembenahan sektor industri nasional, akan cenderung meningkatkan nilai dan volume ekspor dan menekan nilai dan volume impor. Volume dan nilai ekspor yang semakin meningkat, pada akhirnya akan bisa berpengaruh positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Kelima, meningkatkan pendapatan perkapita. Lazimnya,  kegiatan industri, akan mampu mendorong eskalasi pendapatan perkapita, yang pada akhirnya dapat mendorong kian tingginya kualitas kehidupan masyarakat.

Arah Kebijakan

                Tak dapat dipungkiri, kebijaksanaan sektor industri pada masa lalu, khususnya selama rezim orde baru, banyak yang kurang sepadan dengan upaya pengembangan industri nasional. Misalnya saja, pengembangan industri pesawat terbang, yang telah menelan mega dana dalam beberapa tahun , belum membuahkan hasil yang signifikan dalam pembangunan.
                Contoh lain dari kebijaksanaan industri pada masa lalu yang kurang mendukung pada pengembangan industri nasional adalah industri pembuatan mobil nasional (mobnas), yang diatur melalui Keppres No. 42/1996. Pembuatan mobnas,, disamping diduga tidak melaksanakan ketentuan program pembuatan mobnas yang sebenarnya, juga disinyalir sarat dengan dugaan praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan dugaan pelanggaran hukum perpajakan. Akhirnya, kebijakan pembuatan mobnas itu tidak membuahkan hasil bagi pembangunan nasional, dan keberadaan Keppres No. 42/1996 telah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui Keppres No. 20/1998.
                Kebijaksanaan sektor industri pada masa lalu, khususnya selama rezim orde baru, menggunakan pendekatan Broad Base Spectrum (BBS). Prioritas BBS didasarkan atas pencapaian peningkatan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan tenaga kerja seoptimal atau semurah mungkin dan upaya yang dilakukan menggerakan sektor industri bertumpu pada pemasukan devisa sebanyak mungkin (melalui ekspor) untuk kepentingan pembangunan nasional, termasuk  memperkuat struktur industri yang dirasa masih lemah.
                Benar memang pendapat yang menyatakan bahwa Kebijakan BBS mungkin tepat pada masa lalu, dimana sumber daya nasional memadai atau stabil, sedang globalisasi dan persaingan belum menggejala. Namun, dengan semakin tajamnya persaingan perdagangan dunia dan maraknya isu globalisasi, seperti melalui implementasi APEC, AFTA, WTO, perlu dilakukan perubahan kebijakan. Mengingat hal tersebut, maka pendekatan kebijakan BBS yang telah diimplementasikan beberapa waktu yang lalu, perlu digantikan dengan kebijakan baru yang menggunakan pendekatan klaster industri, yaitu pengelompokan industri yang saling terkait intensif secara vertikal dan horizontal, serta merupakan aglomerasi perusahaan-perusahaan yang membentuk positive partnership, baik dengan supporting industry maupun related industry. Sedangkan manfaat dari kluster industri adalah untuk mendorong keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, yaitu dengan cara meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya transportasi dan transaksi, memanfaatkan aset sumber daya untuk mendorong diversifikasi produk dan meningkatkan terciptanya inovasi.  
                Mengingat masih diperlukannya kebijakan baru di sektor industri, maka diperlukan pengkajian terhadap berbagai kebijakan industri yang ada saat ini. Kebijakan yang masih relevan diteruskan, dan jika sebaliknya perlu direvisi dan/atau memformulasikan kebijakan yang baru. Proses formulasi kebijaksanaan di sektor industri, disamping bertujuan untuk merealisasikan akselerasi tujuan-tujuan pembangunan nasional yang diharapkan dari sektor industri, juga perlu untuk keperluan kualitas pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana telah diatur pada UU No.22/1999.
                Pada era pelaksanaan otonomi daerah, institusi pemerintah pusat yang terkait dengan sektor industri, seperti instansi Menteri Perindustrian, sangat  besar peranannya pada aspek kekuasaan pembuatan atau formulasi kebijaksanaan (policy making power), sedangkan proses budget allocation dan proses perizinan di sektor industri sudah sebaiknya dialihkan ke Pemerintah Daerah. Hanya saja, Pemerintah Daerah perlu mempersiapkannya secara baik, supaya bisa melahirkan akselerasi dalam kegiatan usaha atau investasi di bidang industri.
                Proses formulasi pembuatan kebijakan di sektor industri adalah  termasuk dalam wilayah  kebijakan publik. Oleh karenanya, berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan di sektor industri haruslah memperhatikan kepentingan publik atau kedaulatan masyarakat banyak. Sedangkan produk-produk kebijakan publik di sektor industri, dapat diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Pemerintah (PP), Undang-undang maupun bentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan.
                Formulasi kebijakan di sektor industri supaya berdampak positif dan efektif terhadap tujuan pembangunan nasional, haruslah dipersiapkan secara baik. Untuk itu, pembuatan kebijaksanaan (publik) yang baik disektor industri perlu memperhatikan lima hal berikut ini.
                Pertama, pembuatan kebijakan di sektor industri haruslah bisa mengakomodir seluruh peserta atau komponen dan pelaku perindustrian dalam perencanaan. Formulasi atau pembuatan kebijaksanaan sektor industri yang berfokus  demi kepentingan keluarga penguasa, kroni penguasa, seperti kerap terjadi di rezim orde baru, sudah tidak tepat lagi saat ini.  Bila hal-hal seperti itu masih terjadi, maka cenderung terjadi perlambatan dalam pencapaian tujuan-tujuan pembangunan di sektor industri, padahal sebagai konsekuensi dari rencana implementasi liberalisasi perdagangan dan investasi, serta untuk pemulihan ekonomi dari dampak krisis yang dibutuhkan adalah percepatan atau akselerasi. Oleh karena, itu pembuatan kebijakan publik di bidang industri yang berorientasi kepada kepentingan kroni penguasa atau penguasa tertentu haruslah dihindari.
                Kedua, pengembangan sumber daya manusia. Supaya kebijakan di bidang industri dapat efektif terhadap pencapaian tujuan pembangunan, maka perlu melaksanakan pengembangan sumber daya manusia, baik pada institusi yang menformulasikan kebijakan maupun pada institusi yang melaksanakan dan mengawasi kebijakan itu. Pengembangan SDM ini, perlu juga diikuti dengan pembenahan institusi yang terkait langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, hambatan-hambatan yang mungkin ada pada suatu institusi berarti dapat dihindari.
                Ketiga, pendekatan holistik atau tinjauan lintas sektoral. Formulasi kebijakan di bidang industri haruslah menggunakan pendekatan holistik atau tinjauan lintas sektoral. Artinya, kebijakan di bidang industri perlu memperhatikan beberapa aspek sekaligus, seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik.
                Keempat, implementasi kebijakan. Pada tataran pelaksanaan kebijakan di bidang industri haruslah diikuti dengan koordinasi, sinkronisasi, dan konsistensi oleh institusi-institusi yang terkait, seperti Menteri Perindustrian,  Menteri Perdagangan,  Menteri Pertanian, Menteri Tenaga Kerja, BPKM/BKPMD, Menteri Keaungan, Menteri Perekonomian, unsur Pemerintahan Daerah terkait, BI (Perbankan).
                Kelima, pelaksanaan fungsi pengawasan, evaluasi dan law enforcement. Fungsi pengawasan, evaluasi dan law enforcement pada  kebijakan di bidang industri memiliki arti yang penting dalam upaya mengefektifkan kebijakan terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang diharapkan. Fakta empirik menyatakan, lemahnya pengawasan, evaluasi maupun law enforcement terhadap sebuah kebijakan di bidang industri pada masa lalu, seperti kebijakan mobnas dan beberapa kebijakan di bidang industri lainnya, membuat kebijakan-kebijakan itu tidak bisa berpengaruh positif terhadap pencapaian tujuan pembangunan, malahan diantaranya ada yang sampai berpengaruh secara negatif.
                Keenam, upaya kemitraan. Untuk mendukung pertumbuhan dan sekaligus pemerataan serta dapat menjadi kondusif pada implementasi kebijakan peningkatan pendapatan negara, termasuk dalam menekan eskalasi pinjaman luar negeri/penerbitan Surat Utang Negara,  dan  termasuk melalui penerapan kebijakan fiskal yang efektif, maka kebijakan industri dalam format klaster sudah sepantasnya mengakomodir untuk dapat melahirkan sembiosa mutualisma (kemitraan) di bidang usaha yang terlibat, baik antara usaha besar, menengah dan kecil pada satu atau lebih klaster industri. Seperti kemitraan yang terpola pada industri otomotif di Jepang, antara pelaku industri utama dan pendukung, seperti penyedia suku cadang sudah berada rantai nilai yang baik dan serasi .
                Akhirnya, supaya kebijakan di bidang industri semakin bermakna bagi kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam mendukung kestabilan kegiatan ekonomi, termasuk tentunya kelangsungan usaha finansial, maka perlu juga didukung dengan deregulasi dan debirokratisasi kegiatan investasi serta dukungan dari pengembangan teknologi oleh institusi terkait yang dapat dipergunakan untuk kegiatan industri.

( *Penulis adalah Alumnus FHUI, Training Leader pada JFI dan CTC, serta Praktisi Hukum di Bidang Keuangan. Email = kardipakpahan@gmail.com; PIN BB = 24EC43D2  )