Cacatan Hukum :
Konsekuensi Tergugat Meninggal Dunia sebelum
Tahap Kesimpulan pada Perkara Perdata
Oleh : Kardi Pakpahan*
Pada Hukum Acara Perdata sudah
dikedepankan serangkaian tahapan hingga
sampai pada tahap putusan, mulai dari pengajuan gugatan, pemanggilan para
pihak, pelaksanaan mediasi, pembacaan gugatan, jawaban, Replik, Duplik, Pembuktian,
Kesimpulan. Salah satu kemungkinan
terjadinya sebuah peristiwa hukum pada tahapan gugatan adalah kemungkinan
meninggalnya Tergugat sebelum tahap Kesimpulan. Sengaja dikedepankan sebelum
tahapan kesimpulan pada tulisan ini, karena tahap itu sudah termasuk bagian akhir dari sebuah perkara perdata,
karena sesudahnya akan memasuki tahap putusan perkara.
Sebelum sampai tahap kesimpulan pada
perkara perdata biasanya sudah melampaui waktu sekitar 5 sampai dengan 8 bulan,
dan lazimnya sumber dana yang digunakan Penggugat, selaku pihak yang dirugikan atau
yang merasa haknya dilanggar, pada sebuah perkara perdata, baik pada pokok
perkara ingkar janji (wanprestasi) maupun perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan juga pihak Tergugat, baik untuk membayar
jasa hukum Advokat, maupun menghadirkan saksi-saksi, baik saksi fakta maupun
saksi ahli, sudah relatif besar.
Untuk menjawab konsekuensi jika
Tergugat meninggal dunia sebelum masuk ke tahap kesimpulan, tentu pihak-pihak
terkait dengan perkara harus memahami dan menerapkan seluruh kaidah hukum yang
berlaku pada domain Hukum Acara Perdata, seperti HIR/RIB, RBg, Rv,
Undang-undang (UU) tentang Mahkamah Agung, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer), UU Perkawinan, UU Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA), Yurisprudensi, doktrin.
Misalnya saja, pada yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia (MARI) No.322/K/SIP/1971 menyebutkan :”Dalam hal sebelum perkara diputuskan, Tergugatnya meninggal
dunia, haruslah ditentukan terlebih dahulu siapa-siapa yang menjadi ahli warisnya dan terhadap siapa
selanjutnya gugatan itu diteruskan, karena bila tidak, putusannya tidak dapat
dilaksanakan”.
Dalam bukunya M. Yahya Harahap, SH, Hukum
Acara Perdata (2005, 131-132) menyebutkan :”Meninggalnya salah satu pihak, tidak mengakhiri maupun menggugurkan
gugatan. Pemeriksaan berjalan terus, sampai sengketa dapat dituntaskan
penyelesaiannya. Tergugat meninggal dunia, digantikan oleh Ahli warisnya.
Apabila pihak Tergugat meninggal selama proses persidangan berlangsung seperti pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri….maka
kedudukan Tergugat digantikan oleh ahli warisnya. Peralihan penggantian itu
berdasarkan titel umum, oleh karena itu terjadi dengan sendirinya menurut
hukum. Berarti penggantian kedudukan tersebut, tidak memerlukan persetujuan dari
Penggugat, sebab tampilnya ahli waris menggantikan pewaris sebagai Tergugat
bukan merupakan hak, tetapi kewajiban hukum bagi ahli waris yang bersangkutan.
Dengan demikian Penggugat tidak perlu memperbaiki atau memperbaharui (renewal)
gugatan”.
Salah satu contoh Yurisprudensi, yang diperiksa dan diputuskan
sebelum tahap Kesimpulan dalam perkara perdata adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor : 904/Pdt.G/2007. Kedudukan Tergugat I yang meninggal dunia dalam
gugatan tersebut digantikan oleh para ahli warisnya, setelah lebih dulu
dilakukan panggilan kepada ahli waris dari Tergugat I.
Urgensi penggantian Tergugat (asal)
yang meninggal oleh ahli warisnya, karena lazimnya ganti rugi atau obyek
sengketa pada gugatan adalah menjadi bagian dari atau budle warisan atau obyek warisan. Dalam pada itu, baik dalam pokok gugatan
wanprestasi, seperti yang diatur pada pasal 1243 KUHPer yang menyebutkan :”Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena
tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah
dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu
yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya
dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”, maupun pokok gugatan perbuatan melawan hukum, seperti
yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyebutkan :”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut”, Tergugat biasanya dituntut Penggugat
(asal) dalam Petitum gugatan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh
Penggugat, selaku pihak yang merasa haknya dilanggar.
Untuk penggantian Tergugat yang
meninggal dunia oleh ahli warisnya, didasarkan pada ketentuan hukum waris, yang
menyatakan seluruh harta maupun kewajiban si Pewaris beralih kepada ahli waris
(pasal 833 KUHPer jo 1318 KUHPer). Pada pasal 833 KUHPer disebutkan :”Para ahli waris, dengan sendirinya karena
hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang
yang meninggal” dan pada pasal 1318 KUHPer disebutkan :”Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan
perjanjian untuk diri sendiri dan untuk ahli warisnya dan orang yang memperoleh
hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau telah nyata dan
sifat persetujuan itu bahwa bukan itu maksudnya”.
Dalam pada itu, dengan meninggalnya
Tergugat dalam perkara perdata, yang biasanya memberikan surat kuasa kepada
Advokatnya, maka Surat kuasa tersebut
berakhir (Vide : pasal 1813 KUHPer). Pada pasal 1813 KUHPer disebutkan :” Pemberian kuasa berakhir: dengan penarikan
kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh
penerima kuasa; dengan meninggalnya,
pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan
kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa”. Dengan demikian,
kalau persidangan diteruskan pada tahap selanjutnya hingga putusan, tanpa
mengganti posisi Tergugat yang meninggal dunia dengan ahli warisnya, maka putusan
tidak dapat dijalankan atau gugatan menjadi kurang pihak, sehingga putusanya dapat
menjadi NO (Niet Ontvankelijk Verklaard)
atau gugatan tidak diterima.
Pada kondisi meninggalnya Tergugat
sebelum tahap kesimpulan, maka setelah Majelis Hakim membuka persidangan dan mendapatkan
pemberitahuan tentang meninggalnya salah satu Tergugat dari Penggugat atau dari
Tergugat lain atau sumber lainnya, maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara
tersebut memberikan waktu kepada Penggugat untuk menyampaikan nama ahli waris Tergugat
itu kalau sudah ada untuk dipanggil pada persidangan berikutnya, menggantikan posisi Tergugat yang meninggal
dunia. Tata cara pemanggilan tersebut didasarkan pada Pasal 390 (2) HIR/ 718
(2) R.Bg jo Pada Pasal 7 RV. Pada pasal Pasal 390 (2) HIR/ 718 (2) R.Bg disebutkan :”Jika orang itu sudah meninggal dunia, maka surat juru sita itu
disampaikan pada ahli warisnya, jika ahli warisnya tidak dikenal maka
disampaikan pada kepala desa ditempat tinggal terakhir dari orang yang
meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku menurut aturan yang disebut di
atas ini. Jika orang yang meninggal dunia itu masuk golongan orang asing maka
surat juru sita itu diberitahukan dengan surat tercatat pada balai harta
peninggalan”.
Pada pasal 7 RV (Reglement of de
Rechtsvordering) dinyatakan :”Terhadap
orang-orang yang telah meninggal dunia, pemberitahuan gugatan atau
pemberitahuan lainnya dilakukan terhadap semua ahli waris dan sekaligus, tanpa
menyebut nama dan tempat tinggalnya,
ditempat tinggal terakhir almarhum dan tidak boleh melebihi waktu 6 bulan
setelah meninggalnya”.
Adalah keliru bila Majelis Hakim yang
memeriksa perkara perdata yang Tergugatnya ada yang meninggal dunia sebelum Tahap
Kesimpulan, setelah Penggugat menyampaikan usul kepada Majelis Hakim yang
memeriksa perkara tersebut supaya dilakukan panggilan kepada ahli waris
Tergugat yang meninggal dunia, selanjutnya Majelis Hakim menghimbau supaya Penggugat
mencabut gugatan atau menyampaikan Kesimpulan tanpa melakukan penggantian
posisi Tergugat dengan ahli warisnya.
Untuk mencegah sikap seperti itu, maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara
tersebut ada baiknya benar-benar menjalankan 2 azas hukum yang terkait, yaitu Pertama, azas ius curia novit, yaitu azas yang menyatakan hakim tahu akan
Hukum, seperti seluruh ketentuan hukum yang terkait dengan Hukum Acara Perdata,
seperti HIR/RIB, RBg, Rv, Undang-undang (UU) tentang
Mahkamah Agung, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), UU Perkawinan, UU
Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Yurisprudensi, doktrin.
Kedua,
azas peradilan yang sederhana, cepat dam biaya ringan, sebagaimana yang diatur
dalam pasal 2 angka 4 UU No.48/2009,
yang berarti penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan
efektif.