Sabtu, 26 Oktober 2019

Perihal Masalah Klaim Simpanan Nasabah pada Bank dalam Likuidasi


Rubrik Opini :
Perihal Masalah Klaim Simpanan Nasabah 
pada Bank dalam Likuidasi
Oleh : Kardi Pakpahan*
            Coba dibayangkan, sudah bertahun-tahun seorang nasabah penyimpan dana dengan total saldo simpanan Rp 200 juta menjadi nasabah di sebuah bank, tetapi di suatu waktu  tiba giliran dicabut izin usaha bank yang terkait dan masuk status Bank dalam Likuidasi (BDL), nasabah penyimpan dana tersebut tidak mendapatkan hasil klaim dari Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), dengan alasan bahwa suku bunga simpanan nasabah tersebut melampaui suku bunga penjaminan yang ditetapkan LPS, padahal Nasabah penyimpan Dana tersebut tidak pernah meminta bunga khusus atau special rate kepada Bank terkait. Bagian paparan di awal ini adalah kasus posisi, tetapi mungkin saja sudah pernah dialami oleh nasabah perbankan.
            Seluruh bank yang ada di sini wajib atau harus mengikuti program penjaminan simpanan nasabahnya. Institusi atau lembaga yang melakukan penjaminan simpanan nasabah perbankan berdasarkan Undang-Undang (UU) No.24/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No.7/2009 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan atau yang disebut juga UU LPS, adalah LPS. Pertanyaan sekarang apakah fungsi, wewenang dan tugas LPS dalam rangka penjaminan simpanan semata-mata menerima dana kontribusi dan premi penjaminan dari perbankan dan melakukan penggantian simpanan nasabah yang memenuhi syarat ketika ada bank yang dicabut izin usahannya ?
            Kalau dicermati peraturan perundang-undangan yang terkait maka dapat dikatakan tidaklah demikian. Institusi LPS selaku penyelenggarapa penjaminan mengendalikan resiko operasional penjaminan sebelum terjadi transaksi simpanan di perbankan, yaitu setiap bank peserta penjaminan menjelaskan produk penjaminan simpanan kepada nasabah sebelum transaksi pembukaan rekening simpanan disetujui bank, seperti persyaratan penjaminan, juga selama menjadi nasabah  dan juga setelah ada bank yang dicabut izin usahannya atau menjadi BDL.
            Untuk persyaratan simpanan yang dijamin LPS itu dapat dilihat pada pasal 19  UU LPS. Disana dikatakan  3 (tiga) syarat penjaminan simpanan, yaitu 1) Tercatat di Bank; 2) Nasabah Penyimpam bukan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar atau suku bunga simpanan tidak melampau suku bunga penjaminan dari LPS; 3) Nasabah Penyimpan bukan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat, misalnya nasabah tidak memiliki kredit macet pada bank yang terkait. Disamping ketiga syarat tersebut, jumlah simpanan untuk setiap nasabah yang dijamin LPS saat ini berdasarkan pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66/2008 adalah sebesar Rp 2 Milyar. 
            Untuk melihat ketentuan yang terkait pengelolaan resiko operasional penjaminan simpanan tersebut, pada bagian berikut dikedepankan beberapa ketentuan penting. Pertama, LPS bertugas menjamin simpanan pada bank, seperti yang diatur pada  pasal 5 ayat 1 huruf b UU LPS. Disana dikatakan :”LPS mempunyai tugas melaksanakan penjaminan simpanan.
            Kedua, wewenang LPS menetapkan dan memungut premi penjaminan. Hal tersebut diatur pada pasal 6 ayat 1 huruf a UU LPS. Disitu disebutkan:”LPS mempunyai wewenang menetapkan dan memungut premi penjaminan.
            Ketiga, kewajiban bank memberikan data, informasi dan dokumen yang penjaminan ke LPS. Ketentuan yang terkait hal tersebut diatur pada pasal 9 huruf d UU LPS. Disana dikatakan  :”Sebagai peserta Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, setiap Bank wajib memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan”. Dengan demikian seluruh data yang terkait dengan program penjaminan simpanan di bank, seperti data atau informasi dan/atau dokumen yang terkait dengan persyaratan penjaminan dapat diperoleh oleh LPS.
            Keempat, dalam rangka pelaksanaan program penjaminan simpanan.  LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank. Hal tersebut sudah jelas dan tegas diatur pada pasal 42 UU No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Disana dikatakan :”LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”.
            Apa saja ruang lingkup pemeriksaan bank yang dapat dilakukan oleh LPS  ?  Kaedah hukum atau uraianya sudah jelas dimuat  pada bagian penjelasan pasal 42 UU No.21/2011. Disitu disebutkan :” lingkup pemeriksaan LPS kepada bank meliputi : pemeriksaan premi, posisi simpanan bank, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank bermasalah, kualitas aset dan kejahatan di sektor perbankan”. Dengan demikian ketika LPS, menjalankan ketentuan pasal 42 UU No.21/201, maka data yang lengkap terkait dengan program penjaminan simpanan, termasuk seluruh persyaratan penjaminan yang diatur pasal 19 ayat 1 UU LPS, dapat diperoleh LPS.
            Data yang terkait setelah dilakukan pemeriksaan LPS pada sebuah bank pada periode tertentu misalnya, ditemukan ada nasabah yang tercatat dengan suku bunga simpanan diatas suku bunga penjaminan LPS. Terhadap temuan seperti hal tersebut perlu dilakukan identifikasi, verifikasi atau rekonsiliasi apakah masalah tersebut murni kesalahan operasional bank (baik yang mungkin diakibatkan masalah karyawan, teknologi/aplikasi dan/atau sistem dan prosedur)  atau atas kesepakatan bank dengan nasabah.
            Jika dalam pemeriksaan LPS terhadap bank misalnya ditemukan bahwa pencatatan suku bunga yang melampauai suku bunga penjaminan LPS adalah karena kelemahan atau masalah dari operisasional bank (baik masalah SDM, teknologi/aplikasi, sistem dan prosedur) maka sudah seharusnya salah satu satu jalan keluarnya adalah melakukan upaya perbaikan atau jurnal koreksi, supaya nasabah yang beritikat baik mendapat perlindungan.
Jika dalam pemeriksaan  LPS di bank  yang masih beroperasi bahwa ditemukan  persetujuan suku bunga di atas suku bunga penjaminan LPS adalah karena kesepakatan bank dan nasabah yang didukung dengan bukti yang kuat atau otentik. Maka terhadap temuan yang terakhir ini maka dapat dibuat 2  (dua) jalan keluarnya, yaitu  dilakukan koreksi supaya masuk dalam program penjaminan atau jika tidak mau dilakukan koreksi setidak-tidaknya Nasabah harus membuat Surat Pernyataan dari awal bahwa simpanannya tidak masuk dalam program penjaminan simpanan LPS. Terhadap temuan masalah kekurangan pembayaran premi penjaminan simpanan dari suatu bank misalnya, maka lazimnya dilakukan koreksi yaitu bank yang terkait harus membayar kekurangan pembayaran premi kepada LPS.
Pada dasarnya semua bank peserta penjaminan perlu diperiksa oleh LPS,  tetapi dapat dibuat skala prioritas Bank yang musti diperiksa oleh LPS dalam rangka program penjaminan simpanan, seperti 1) bank status pengawasan intensif; 2) bank dalam pengawasan khusus; 3) bank dengan nilai resiko keseluruhan atau akumulatif pada level tinggi atau sangat  tinggi; 4) bank yang diindikasikan ada terjadi modus kejahatan perbankan yang diperkirakan sangat berpengaruh pada permodalan dan/atau cash rasio bank.   
Sehubungan dengan uraian diatas, untuk kegiatan penetapan status simpanan nasabah pada bank yang telah dicabut izin usahannya atau sudah termasuk dalam Bank Dilikuidasi, maka ketika dilakukan identifikasi rekonsiliasi atau verifikasi (Vide pasal 19 UU LPS) apakah sebuah simpanan nasabah masuk dalam kategori layak bayar atau tidak layak bayar, maka perlu dilakukan LPS secara mendalam dan cermat. Jika tidak terpenuhinya syarat penjaminan simpanan misalnya karena kelalaian atau kesalahan LPS, atau bukan karena kesalahan Nasabah Penyimpan, maka LPS jangan lah sampai memasukkan simpanan tersebut sebagai simpanan yang tidak layak bayar, supaya nasabah penyimpan dana yang beritikat baik jangan sampai dirugikan.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan penjaminan simpanan pada perbankan, disamping LPS perlu meningkatkan kualitas pemeriksaannya kepada Bank dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang sehubungannya dengan pelaksanaan program penjaminan, juga perlu meningkatkan dan menyempurnakan format untuk mendapatkan data, informasi dan dokumen dari perbankan, sehingga pengendalian resiko operasional penjaminan dari awal sudah semakin terkendali dengan baik. Semoga.  (*Penulis adalah Alumni FHUI, Advokat, WA=0813-2895-0019, IG= kardi_pakpahan)

Rabu, 09 Oktober 2019

Impact of the Trade War for Indonesia : Strengthening Internally, Facing Global Uncertainty

A Scenario Planning : Impact of the Trade War for Indonesia

Strengthening Internally, Facing Global Uncertainty


By : Kardi Pakpahan *
One of the effects of trade war between “Negeri Paman Sam” (US) and the “Negeri Tirai Bambu” (Chinese People's Republic), most likely is the problem of global uncertainty or recession, especially those that are increasingly apparent and felt at the end of 2019 and entering 2020, both at the second side of the State involved in trade wars, and trade wars can also attract countries in certain regions, such as the European region experiencing uncertainty or slowdown, especially countries that have high levels of trade with the United States and China.
Due to uncertainty / slowdown or weakening external conditions, from the internal side of Indonesia, some changes are needed. If the aforementioned changes are not made then it is possible to trigger a slowdown in domestic economic activity, and potentially lead to a recession. Possible internal changes, some of which are put forward in the following description.
First, financial service providers, both banking and non-banking, need to avoid business models that are too concentrated in certain fields that can lead to an escalation of concentrated risk. Aside from continuing to explore the existing market potential, financial service providers need to remain consistent in carrying out governance and carrying out overall risk control. In the meantime, the business of financial providers needs to continue to support the financing of export commodities that are feasible to be financed.
Second, trade. To overcome the deficit in trade transactions, while adequate commodities are available domestically, it is necessary to avoid imports. Changes in export orientation also need to be made, especially to countries or to new regions. Representatives of the Indonesian government, such as embassies or consulates in foreign countries, should be proactive in formulating various commodities that become export markets.
Third, management of the government budget. Management of government budgets, both at the APBD and APBN levels, needs to be managed healthier with a very minimal level of abuse. At the APBD level, allegedly the financial statements of the Regional Government (Pemda) can be rated WTP (Fair without exceptions), but sometimes corruption is suspected to still occur. In view of this, the BPK (Audit Board of the Republic of Indonesia) audit has really been able to continue to improve the quality of its audit or audit. In an audit activity, for example, do not focus too much on finding out who is wrong, but really examine or audit what is wrong and build commitment on how to correct it, so that it does not recur over the next audit process.
Fourth, investment conditions are increasingly conducive. To strengthen internal conditions, it is necessary to prioritize conducive investment conditions, such as in licensing services, export trading systems, and others. Conducive investment activities, both for domestic orientation and for export purposes, aside from being able to improve the trade balance deficit, can also overcome current account deficits or Current Account Deficit.
Fifth, politics. To strengthen internally, political stability is needed. Therefore, differences in political attitudes among the components of the nation, especially between political parties, it should be resolved through the mechanism of the constitution or legislation in force. Opposition camps should make corrections or criticisms positively and constructively, lest anything is destructive.
Sixth, security. To strengthen Internal in facing the possibility of global uncertainty, the level of internal security should always be maintained in all regions. For this reason, every existing security institution needs to be proactive in taking action, both in preventing and overcoming every security threat. In the meantime, every social disease in the community, such as the problem of drug distribution, gambling, etc., needs to be fully anticipated by law enforcement institutions.
Seventh, food security. Related institutions need to prepare more for domestic food security policies and less dependence on imported food commodities.
Eighth, tourism. The domestic tourism market must continue to be driven, and at the same time create a tourism program that can attract foreign tourists to visit domestic. To attract tourists from the Middle East region into the country for example, can open direct flight access to tourist destinations that still have opportunities, such as to the Southeast Southeast Nusantara / NTB region or other tourist destinations in the country.
Ninth, positive sentiment. Positive sentiment or news should continue to be rolled out to encourage economic activity, especially in supporting investment and new economic growth. For example, some time ago the Labuhan Bajo area, the Lake Toba region, was relatively not very busy, now with positive news being rolled out, this region and several other regions have been throbbing in economic activity.
The plan to relocate the capital of the Republic of Indonesia to the East Kalimantan region, initiated by President Jokowi, needs to be responded positively, especially in preparing the regulation side of each related institution. Many positive effects of the planned relocation of the capital region, such as creating equity and equity in development, creating new areas of economic growth, encouraging investment and capital flows because the newly announced capital region development model requires private participation.
Tenth, transportation. To strengthen the internal side, in the face of slowing global economic growth, all transportation routes need to be improved so that they are more efficient and do not become drivers of higher inflation. Air transportation routes, which were once expensive, need to be modified in new business models, so that they are more affordable to the general public and can support the throbbing economic activities throughout the archipelago.
Eleventh, domestic product care program. In a condition of global slowdown, a program to care for domestic products, both goods and services, needs to be done. In the field of education service products, for example, it is necessary to put forward policies that can improve national education services, both in short-term and long-term educational programs.
Twelfth, from infrastructure to HR. The use of APBN (State budget) funds, even under certain conditions, such as the Current Account Deficit, but is also used for infrastructure development and HR development does not always have a negative impact, because the results will be positive in the next period or period. Therefore, including in facing global uncertainty, the infrastructure development that has been proclaimed by President Jokowi needs to be continued with the next articulation on human resource development, so that it can trigger the increase in national productivity and more and more Indonesian human resources can work abroad in a good position .
In all of that, hopefully the scenario planning is that the trade war of “Paman Sam” (US) with the “Negeri Tirai Bambu” (China) will quickly subside, and increasingly create a more positive level of global and internal certainty. However. although faced with increasingly high uncertainty, it is necessary to continue to be optimistic with relevant changes in actions. It is said so, because in every crisis there are also opportunities, each company is formed with opportunity, everyone is born with opportunity, every country, including the Republic of Indonesia - is established or proclaimed with opportunity.
(* The author is an Advocate and Trainer, FH-UI alumnus, WA = 0813-2895-0019)

Minggu, 06 Oktober 2019

Mencermati Akselerasi Pertumbuhan Usaha Fintech P2P Lending

Rubrik  Opini :
Mencermati Akselerasi Pertumbuhan Usaha Fintech P2P Lending


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Bila dicermati pertumbuhan  usaha Financial Technology (Finctech), khususnya Peer to Peer Lending  atau P2P Lending, yang juga dikenal dengan istilah pinjaman dalam jaringan (Pindar),  dapat dikatakan berada pada zona akselerasi, yang pertumbuhannya berada di atas rata-rata industri penyelenggara jasa keuangan lainnya. Sebagai contoh, penyaluran Pinjaman melalui Fintech P2P Lending pada Juli 2018 sebesar Rp 9,21 Triliun, sedangkan pada bulan Juli 2019  total penyaluran pinjaman melalui 127 institusi Fintech P2P Lending sudah mencapai  Rp 49,79 Triliun.  Sampai Juli 2019, sekitar 70% nasabah pembiyaan Fintech P2P Lending berusia 19 sd 34 tahun.
            Beberapa faktor turut mendukung akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending. Sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, pengaturan. Pada tanggal 28 Desember 2016 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Peraturan OJK atau POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Setelah POJK tersebut diberlakukan atensi untuk menyelenggarakan usaha Fintech P2P Lending relatif besar dan sampai bulan Juli 2019 sudah 127  usaha Fintech P2P Lending yang telah  terdaftar di OJK. Pengaturan lain yang sifatnya mendukung usaha Fintech P2P Lending adalah POJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) di sektor Jasa Keuangan.
            Kedua, perizinan.  Mekanisme kegiatan perizinan usaha Fintech P2P Lending dimulai dari proses pendaftaran pada Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK,  setelah memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan POJK No.77/POJK.01/2016, maka izin diberikan oleh OJK. Setelah terdaftar di OJK, Fintech P2P Lending sudah dapat menjalankan kegiatan usahanya.
            Ketiga, modal besar. Berdasarkan data yang dirilis oleh OJK belum lama ini, mengedepankan bahwa Indonesia memiliki modal besar untuk mendukung perkembangan Fintech. Indikator modal tersebut, sebagian diantaranya adalah a) 52 juta orang terkategori sebagai middle class, yang disebut juga dengan ungkapan consuming class dan menikmati bonus demografi pada tahun 2030; b) total pengguna internet 150 juta atau tumbuh 13% (yoy) dengan penetrasi mencapai 56%; c) persentase pengguna mobile banking mencapai 61%; d) jumlah milenial semakin banyak, yang saat ini sudah mencapai 88 juta.
            Keempat, kebijakan strategis OJK. Salah satu Kebijakan strategis OJK  tahun 2019 dari 5 pilar utama, yang dapat dikatakan turut mendukung akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending adalah mempersiapkan industri jasa keuangan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, yang didukung dengan program  : a)  digitalisasi produk dan layanan keuangan; b) fasilitas pengembangan start up Fintech P2P Lending dan equity crowdfunding; c) pengaturan yang mendorong inovasi dan perlindungan konsumen; d) peningkatan literasi masyarakat terhadap fintech; e) penegakan hukum bagi start up.
            Kelima, belum wajib SLIK. Sebagai penyelenggara jasa keuangan melalui penyediaan pinjaman dalam jaringan, Fintech P2P Lending belum diwajibkan mengikuti Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). SLIK merupakan pengganti dari SID (Sistem Informasi Debitur). SLIK digunakan untuk pengecekan calon Debitur apakah memiliki pinjaman non lancar atau fasilitas kredit bermasalah pada lembaga keuangan lainnya. Cenderung lebih banyak calon peminjam menggunakan aplikasi Fintech P2P Lending karena belum menerapkan SLIK.  
            Keenam, dukungan investor. Walapun usia masih relatif mudah, namun mengingat akselerasi pertumbuhan Fintech P2P Lending minat investor relatif besar. Tentu hal tersebut penting, karena modal bagi Fintech P2P Lending, ibaratnya sebagai kaki meja yang keempat. Untuk pengembangan usaha Fintech P2P Lending supaya efisien, serta memiliki kinerja dan daya saing tinggi memerlukan modal yang relatif besar.
            Akselerasi pertumbuhan Fintech P2P Lending perlu dipelihara supaya  terbuka kesempatan semakin banyak anggota masyarakat menikmati jasa keuangan dan dapat mendorong berbagai kegiatan ekonomi. Untuk memelihara atau meningkatkan pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending,  maka pihak-pihak yang terkait perlu mengupayakan beberapa upaya. Sebagian dari beberapa upaya yang dimaksudkan akan dikedepankan pada uraian berikut.
            Pertama, dukungan regulasi. Mengingat kecenderungan pertumbuhan Fintech P2P Lending pada masa yang akan datang, maka perlu pengaturan dalam Undang-undang (UU), yang dapat diwujudkan dalam UU Fintech atau UU Perkreditan – termasuk pengaturan pinjaman atau kredit dalam jaringan. Dengan UU yang dimaksudkan, disamping mengedepankan substansi pengaturan yang terkait dengan penyelenggaraan usaha Fintech,  juga sekaligus mengakomodir upaya mengantisipasi dan mengatasi praktek Fintech Ilegal, yang dalam beberapa waktu terakhir sempat meresahkan masyarakat di berbagai tempat di Nusantara.
            Kedua, rekruitmen SDM unggul dari perbankan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada struktur usaha Fintech P2P Lending  selama ini, baik pada posisi puncak (top management) maupun pada jajaran lini tengah organisasi (middle management),  maupun pada sisi lini pertama (first management) tidaklah semua memiliki latar belakang dari usaha jasa keuangan/perbankan. Untuk memelihara atau meningkatkan akselarasi pertumbuhan usaha, maka perlu dilakukan rekruitmen  SDM yang unggul yang relatif masih usia muda serta menguasai teknologi informasi dari perbankan untuk membantu Fintech P2P Lending untuk penyusunan dan pelaksanaan rencana bisnis/model bisnis, pengendalian resiko, cost & pricing untuk penghitungan pengenaan dasar bunga pinjaman sehingga mendapatkan hasil optimal dengan tetap menjaga keseimbangan aktiva dan pasiva.
            Ketiga, kerjasama antara Fintech P2P Lending dengan penyelenggara jasa keuangan lainnya. Supaya kehadiran Fintech P2P Lending semakin positif maka perlu digalang kerjasama dengan penyelenggara jasa keuangan lainnya. Kolaborasi  dengan Bank Umum dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) misalnya dapat diwujudkan dalam penyaluran kredit sindikasi (syndicated loan) maupun pola penerusan kredit (Channeling). Kerjasama Fintech P2P Lending  dengan usaha asuransi misalnya dapat diwujukan dalam pengadaan jasa asuransi jiwa kredit atau asuransi benda jaminan kredit.
            Keempat, peningkatkan kualitas perlindungan nasabah.  Baik dari sisi regulasi maupun upaya dari penyenggara Fintech P2P Lending perlu dilakukan peningkatan kualitas perlindungan kepada nasabah atau konsumen jasa Pindar atau Fintech Lending. Relevan dengan upaya ini, maka ada baiknya RUU Data Pribadi perlu segera diundangkan atau diberlakukan.  Kehadiran UU Data Pribadi perlu untuk mendukung perlindungan nasabah Fintech, sekaligus menjadi pegangan bagi otoritas pengawas dan penyelenggara Fintech P2P Lending
            Kelima, perluasan pasar.   Fokus pemasaran Fintech P2P Lending selama ini dapat dikatakan masih lebih dominan di pulau jawa. Mengingat hal tersebut, perlu perluasan pasar  dan penyelenggara Fintech P2P Lending ke wilayah lainnya di nusantara, untuk semakin membuka akses yang lebih luas jasa keuangan ke masyarakat atau memperluas inklusi keuangan.
            Keenam. Pengembangan SDM. Untuk mendukung  dan memelihara akselerasi pertumbuhan uasaha, maka  perlu dilakukan program pengembangan SDM, baik yang diselenggarakan perusahan Fintech P2P Lending secara mandiri maupun melalui asosiasi.  Belum lama ini, AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) telah melakukan pelatihan sertifikasi kompetensi untuk pemegang saham, direksi dan komisaris. Untuk mendukung pengembangan SDM pada perusahaan Fintech P2P Lending di lini tengah (middle management), AFPI perlu memprakarsai, merencanakan dan menyelenggarakan  program pelatihan untuk pengembangan kompetensi SDM di lini tengah.
            Ketujuh, peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Untuk memastikan akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending, maka perlu ditingkatkan kualitas pelayanan perizinan, seperti dalam percepatan penyelesaian izin mulai dari pendaftaran.  Jika peningkatan kualitas perizinan dapat diwujudkan, maka investor yang tertarik pada Fintech P2P Lending, baik dalam kegiatan investasi langsung ataupun investasi tidak langsung (seperti pembelian saham), akan cenderung semakin besar.
            Kedelapan, standar laporan keuangan Fintech P2P Lending.  Dalam rangka mengwujudkan transparansi dalam penyelenggaraan usaha Fintech P2P Lending, yang karenanya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, terutama para Investor,   maka perlu didepankan standar laporan keuangan. Untuk mendukung hal tersebut maka AFPI perlu melakukan kordinasi dengan OJK dan IAI untuk penyusunan standar akuntansi atau laporan keuangan Fintech P2P Lending.
            Kesembilan, keseimbangan dalam memelihara pertumbuhan usaha. Sebagai usaha rintisan atau startup, usaha Fintech P2P Lending, perlu menjaga keseimbangan unsur pengembangan usaha, seperti aspek financial, customer, internal proses, pengembangan organisasi, supaya dipastikan sustainability atau going concern dapat diwujudkan. Misalnya saja, pertumbuhan volume usaha yang relatif tinggi, perlu  diikuti dengan realisasi target yang seimbang di bidang rasio profitabilitas, baik di sisi Return on Aset (ROA) maupun Return on Equity (ROE). Dalam hal akselerasi program customer acquisition misalnya,  perlu diikuti dengan program customer retention, customer value maupun customer satisfaction. Jika meningkatkan teknologi platform aplikasi dalam meningkatkan mutu internal proses usaha Fintech P2P Lending, perlu dijaga keseimbangan antara keandalan, keterpaduan dan kesinambungan. Untuk pengembangan organisasi misalnya, ketika sudah menerima SDM, maka jangan lupa mengembangkannya. Semoga
(*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Advokat, Trainer & Pengamat Fintech, WA = 0813-2895-0019, IG = kardi_pakpahan)