Rubrik Opini :
Perihal Masalah Klaim Simpanan Nasabah
pada Bank dalam Likuidasi
pada Bank dalam Likuidasi
Oleh : Kardi Pakpahan*
Coba dibayangkan, sudah
bertahun-tahun seorang nasabah penyimpan dana dengan total saldo simpanan Rp
200 juta menjadi nasabah di sebuah bank, tetapi di suatu waktu tiba giliran dicabut izin usaha bank yang
terkait dan masuk status Bank dalam Likuidasi (BDL), nasabah penyimpan dana
tersebut tidak mendapatkan hasil klaim dari Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS),
dengan alasan bahwa suku bunga simpanan nasabah tersebut melampaui suku bunga
penjaminan yang ditetapkan LPS, padahal Nasabah penyimpan Dana tersebut tidak
pernah meminta bunga khusus atau special
rate kepada Bank terkait. Bagian paparan di awal ini adalah kasus posisi,
tetapi mungkin saja sudah pernah dialami oleh nasabah perbankan.
Seluruh bank yang ada di sini wajib
atau harus mengikuti program penjaminan simpanan nasabahnya. Institusi atau
lembaga yang melakukan penjaminan simpanan nasabah perbankan berdasarkan
Undang-Undang (UU) No.24/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No.7/2009
tentang Lembaga Penjaminan Simpanan atau yang disebut juga UU LPS, adalah LPS.
Pertanyaan sekarang apakah fungsi, wewenang dan tugas LPS dalam rangka
penjaminan simpanan semata-mata menerima dana kontribusi dan premi penjaminan
dari perbankan dan melakukan penggantian simpanan nasabah yang memenuhi syarat ketika
ada bank yang dicabut izin usahannya ?
Kalau dicermati peraturan
perundang-undangan yang terkait maka dapat dikatakan tidaklah demikian.
Institusi LPS selaku penyelenggarapa penjaminan mengendalikan resiko
operasional penjaminan sebelum terjadi transaksi simpanan di perbankan, yaitu setiap
bank peserta penjaminan menjelaskan produk penjaminan simpanan kepada nasabah
sebelum transaksi pembukaan rekening simpanan disetujui bank, seperti persyaratan
penjaminan, juga selama menjadi nasabah
dan juga setelah ada bank yang dicabut izin usahannya atau menjadi BDL.
Untuk persyaratan simpanan yang
dijamin LPS itu dapat dilihat pada pasal 19 UU LPS. Disana dikatakan 3 (tiga) syarat penjaminan simpanan, yaitu 1)
Tercatat di Bank; 2) Nasabah Penyimpam bukan merupakan pihak yang diuntungkan
secara tidak wajar atau suku bunga simpanan tidak melampau suku bunga
penjaminan dari LPS; 3) Nasabah Penyimpan bukan merupakan pihak yang
menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat, misalnya nasabah tidak memiliki
kredit macet pada bank yang terkait. Disamping ketiga syarat tersebut, jumlah
simpanan untuk setiap nasabah yang dijamin LPS saat ini berdasarkan pasal 1
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66/2008 adalah sebesar Rp 2 Milyar.
Untuk melihat ketentuan yang terkait
pengelolaan resiko operasional penjaminan simpanan tersebut, pada bagian
berikut dikedepankan beberapa ketentuan penting. Pertama, LPS bertugas menjamin simpanan pada bank, seperti yang
diatur pada pasal 5 ayat 1 huruf b
UU LPS. Disana dikatakan :”LPS mempunyai
tugas melaksanakan penjaminan simpanan”.
Kedua,
wewenang LPS menetapkan dan memungut premi penjaminan. Hal tersebut diatur pada
pasal 6 ayat 1 huruf a UU LPS. Disitu
disebutkan:”LPS mempunyai wewenang
menetapkan dan memungut premi penjaminan.
Ketiga, kewajiban
bank memberikan data, informasi dan dokumen yang penjaminan ke LPS. Ketentuan
yang terkait hal tersebut diatur pada pasal 9 huruf d UU LPS. Disana dikatakan :”Sebagai
peserta Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, setiap Bank wajib
memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka
penyelenggaraan Penjaminan”. Dengan demikian seluruh data yang terkait
dengan program penjaminan simpanan di bank, seperti data atau informasi
dan/atau dokumen yang terkait dengan persyaratan penjaminan dapat diperoleh
oleh LPS.
Keempat,
dalam rangka pelaksanaan program penjaminan simpanan. LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank.
Hal tersebut sudah jelas dan tegas diatur pada pasal 42 UU No 21 tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Disana dikatakan :”LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan
fungsi, tugas dan wewenangnya serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”.
Apa saja ruang lingkup pemeriksaan
bank yang dapat dilakukan oleh LPS ? Kaedah hukum atau uraianya sudah jelas dimuat pada bagian penjelasan pasal 42 UU No.21/2011.
Disitu disebutkan :” lingkup pemeriksaan
LPS kepada bank meliputi : pemeriksaan premi, posisi
simpanan bank, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank
bermasalah, kualitas aset dan kejahatan di sektor perbankan”. Dengan
demikian ketika LPS, menjalankan ketentuan pasal 42 UU No.21/201, maka data
yang lengkap terkait dengan program penjaminan simpanan, termasuk seluruh
persyaratan penjaminan yang diatur pasal 19 ayat 1 UU LPS, dapat diperoleh LPS.
Data yang terkait setelah dilakukan
pemeriksaan LPS pada sebuah bank pada periode tertentu misalnya, ditemukan ada
nasabah yang tercatat dengan suku bunga simpanan diatas suku bunga penjaminan
LPS. Terhadap temuan seperti hal tersebut perlu dilakukan identifikasi,
verifikasi atau rekonsiliasi apakah masalah tersebut murni kesalahan
operasional bank (baik yang mungkin diakibatkan masalah karyawan, teknologi/aplikasi
dan/atau sistem dan prosedur) atau atas kesepakatan
bank dengan nasabah.
Jika dalam pemeriksaan LPS terhadap
bank misalnya ditemukan bahwa pencatatan suku bunga yang melampauai suku bunga
penjaminan LPS adalah karena kelemahan atau masalah dari operisasional bank
(baik masalah SDM, teknologi/aplikasi, sistem dan prosedur) maka sudah
seharusnya salah satu satu jalan keluarnya adalah melakukan upaya perbaikan
atau jurnal koreksi, supaya nasabah yang beritikat baik mendapat perlindungan.
Jika
dalam pemeriksaan LPS di bank
yang masih beroperasi bahwa ditemukan
persetujuan suku bunga di atas suku bunga penjaminan LPS adalah karena
kesepakatan bank dan nasabah yang didukung dengan bukti yang kuat atau otentik.
Maka terhadap temuan yang terakhir ini maka dapat dibuat 2 (dua) jalan keluarnya, yaitu dilakukan koreksi supaya masuk dalam program
penjaminan atau jika tidak mau dilakukan koreksi setidak-tidaknya Nasabah harus
membuat Surat Pernyataan dari awal bahwa simpanannya tidak masuk dalam program
penjaminan simpanan LPS. Terhadap temuan masalah kekurangan pembayaran premi
penjaminan simpanan dari suatu bank misalnya, maka lazimnya dilakukan koreksi
yaitu bank yang terkait harus membayar kekurangan pembayaran premi kepada LPS.
Pada dasarnya semua bank peserta penjaminan
perlu diperiksa oleh LPS, tetapi dapat dibuat
skala prioritas Bank yang musti
diperiksa oleh LPS dalam rangka program penjaminan simpanan, seperti 1) bank
status pengawasan intensif; 2) bank dalam pengawasan khusus; 3) bank dengan
nilai resiko keseluruhan atau akumulatif pada level tinggi atau sangat tinggi; 4) bank yang diindikasikan ada terjadi
modus kejahatan perbankan yang diperkirakan sangat berpengaruh pada permodalan
dan/atau cash rasio bank.
Sehubungan
dengan uraian diatas, untuk kegiatan penetapan status simpanan nasabah pada
bank yang telah dicabut izin usahannya atau sudah termasuk dalam Bank
Dilikuidasi, maka ketika dilakukan identifikasi rekonsiliasi atau verifikasi
(Vide pasal 19 UU LPS) apakah sebuah simpanan nasabah masuk dalam kategori
layak bayar atau tidak layak bayar, maka perlu dilakukan LPS secara mendalam
dan cermat. Jika tidak terpenuhinya syarat penjaminan simpanan misalnya karena
kelalaian atau kesalahan LPS, atau bukan karena kesalahan Nasabah Penyimpan,
maka LPS jangan lah sampai memasukkan simpanan tersebut sebagai simpanan yang
tidak layak bayar, supaya nasabah penyimpan dana yang beritikat baik jangan
sampai dirugikan.
Dalam
pada itu, untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan penjaminan simpanan pada
perbankan, disamping LPS perlu meningkatkan kualitas pemeriksaannya kepada Bank
dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang sehubungannya dengan pelaksanaan
program penjaminan, juga perlu meningkatkan dan menyempurnakan format untuk
mendapatkan data, informasi dan dokumen dari perbankan, sehingga pengendalian
resiko operasional penjaminan dari awal sudah semakin terkendali dengan baik.
Semoga. (*Penulis adalah
Alumni FHUI, Advokat, WA=0813-2895-0019, IG= kardi_pakpahan)